Permasalahan iuran JHT menjadi masalah yang kompleks terkait peraturan Permenaker 2 Tahun 2022 yang menimbulkan pro dan kontra terkait pencairan dana yang hanya bisa diambil pada usia pekerja dan buruh mencapai usia 56 tahun dengan beragam persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, disisi lain, hal ini harusnya menjadi solusi bagi komoditas pekerja dan buruh untuk mendapatkan hak kepesertaan dalam menikmati fasilitas negara melalui Permenaker No 2 Tahun 2022 yang diwadahi oleh Kementerian Ketenagakerjaan beserta BPJS dalam hal Sistem Jaminan Sosial Nasional yang berperan serta mengacu kepada UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Mengacu kepada metode penerimaan ini telah dijelaskan secara jelas dan detail kepada peserta JHT ketika menerima manfaat yang diatur di dalam beleid tersebut.
Simplifikasi aturan JHT mengalami banyak kemunduran dalam tafsiran hukum seperti kurangnya sosialisasi terhadap perbedaan manfaat JHT dan manfaat jaminan lainnya seperti contoh JKN, JKP, JKM atau JKN yang diproteksi untuk kepentingan pekerja dan buruh selaku penerima manfaat dari kepesertaan. Oleh karena itu, tinjauan hukum antara UU dan peraturan beserta turunannya harus mengacu kepada studi kasus (case study) dilapangan terkait supremasi hukum dengan masyarakat.
Lebih jauh lagi disebutkan, polemik seputar beleid Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2 Tahun 2022 semakin berkembang berdasarkan peraturan tersebut dimana manfaat seperti yang tertuang di pasal 3 yaitu huruf a sampai c yang berbunyi a. mencapai usia pensiun; b. mengalami cacat total tetap; atau c. meninggal dunia dan dikatakan bahwa harus sudah mencapai usia 56 tahun bagi usia pensiun. Namun, yang menarik bahwa bila mengalami cacat total tetap dapat mengambil iuran tersebut dengan catatan belum memasuki usia pensiun dan jika meninggal dunia diberikan kepada ahli waris baik yaitu istri/suami maupun anak. Polemik yang terjadi sebenarnya hanya kepada studi kasus usia pensiun yang mengacu kepada peraturan yang memang tujuan dari Permenaker ini khusus bagi usia pensiun. Sementara itu, jika kita menilik dari jaminan yang lebih menjamin atau menarik dari program jaminan lainnya dapat merujuk kepada JKK, JKP, JKM sampai JKN dimana untuk keselamatan kerja, kehilangan pekerjaan, kematian, dan kesehatan yang diatur dalam PP 37 Tahun 2021, Permenaker 5 Tahun 2021 maupun UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pernyataan Menteri Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pengelolaan ini mempunyai fungsi pengawasan internal dan eksternal baik itu diawasi secara eksternal oleh OJK, BPK, maupun DJSN sementara internal oleh Dewan Pengawas seperti dari unsur pemberi kerja, ahli, dan pemerintah yakni Kemenaker, Kemenkeu, dan Satuan Pengawas Internal. Polemik lainnya adalah persoalan dana yang dikelola oleh pemerintah akan dipakai untuk kepentingan dana pemerintah lainnya. Di sisi lain, dana ini dikelola secara transparan dengan prinsip kehati-hatian di mana pemberian imbalan hasil yang kompetitif yakni minimal setara rata-rata bunga deposito counter rate bank pemerintah. Untuk pengambilan dana juga hanya memerlukan identitas berupa KTP dan identitas lain serta kartu BPJS Ketenagakerjaan.
Penuturan Menteri Ketenagakerjaan juga mengatakan bahwa jika telah berhenti bekerja atau belum berusia 56 tahun maka dapat mengajukan pengambilan JHT. Para peserta bisa mengambil sebanyak 10 % untuk keperluan pensiun dan 30 % saldo JHT untuk keperluan kredit pengambilan rumah dengan ketentuan sesuai perundang-undangan yaitu minimal 10 tahun pada program JHT. Tentu, kesalahan pemerintah yang menuai pro dan kontra terjadi ketika belum adanya serta kurangnya sosialisasi JKP yang dimana memang diperuntukkan untuk jaminan kehilangan pekerjaan agar ketika di masa yang memang membutuhkan pencairan dana maka JKP menjadi solusi termasuk ketika terjadi tsunami pandemi Covid-19.
Perspektif JHT
Dalam kerangka hukum UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN memang dikatakan bahwa prinsip keterbukaan harus dikedepankan. Sosialisasi dari Permenaker No. 2 Tahun 2022 menimbulkan multitafsir bagi penerima JHT terutama serikat pekerja. Jika kita mengurai lebih dalam di UU No. 40 Tahun 2004 terlihat bahwa kaitan dengan Permenaker No. 2 Tahun 2022 memiliki mismatch dengan prinsip keterbukaan tanpa ada sosialiasi yang lebih jelas maka kebijakan pemerintah menjadi mengambang (floating) terhadap Permenaker. Spekulasi yang terjadi bisa adanya gugatan kepada Mahkamah Agung terkait ketidakpastian yang terjadi di masyarakat. Sejauh ini belum ada tuntutan untuk menggugat Kemenaker selaku pemerintah dalam pengambilan keputusan untuk merevisi Permenaker No. 2 Tahun 2022. Namun, dapat dipastikan beleid ini dapat dikatakan menjadi sasaran untuk direvisi maupun dibatalkan peraturannya di Mahkamah Agung. Lebih jauh lagi, Permenaker ini tentu punya manfaat yang lebih kompeten dan detail jika memang secara kepesertaan dapat dirasakan oleh pekerja atau buruh untuk menikmati usia pensiun atau memiliki kapasitas jika diperlukan diambil dalam rangka pensiun dini, cacat total, meninggal dunia atapun terkena dampak PHK.
Di samping itu, penilaian terhadap Permenaker ini untuk menghindari double manfaat antara JHT dengan bantuan tunai JKP sekaligus memfungsikan JHT untuk keperluan hari tua. Tujuan Permenaker menurut pemerintah memang mempertimbangkan hasil dan kajian serta diskusi secara komprehensif dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional, forum lembaga kerjasama tripartit nasional, dan rapat antar kementerian serta lembaga terkait. Kematangan ini harusnya juga mampu disosialisasikan secara menyeluruh terhadap perkembangan JHT untuk program yang memang ditujukan bagi kepastian penerima untuk menikmati hari tua ataupun dalam keadaan darurat seperti yang tertulis dalam Permenaker tersebut.
Solusi JKP sebagai pengganti JHT
Program JKP atau Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang menjadi bantalan atau back-up bagi para pekerja PHK dan kehilangan pekerjaan menjadi solusi jitu untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam pelindungan dan jaminan kesejahteraan pasca pensiun bagi pekerja dan buruh. Melalui program JKP menunjukkan pemerintah hadir untuk mengatur kesejahteraan pekerja dan buruh agar dapat menikmati pasca pensiun ataupun bila terkena dampak PHK. Oleh karena itu, sinergi Kemenaker untuk menjalankan program JHT perlu ada diseminasi antara serikat pekerja dan buruh untuk menjelaskan makna Permenaker No 2 Tahun 2022 untuk lebih dalam memahami isi dari beleid tersebut.
Perlunya komunikasi dan koordinasi akan informasi untuk menentukan ketepatan dan antara tujuan dan sasaran dari pelaksanaan Jaminan Hari Tua sehingga tidak memunculkan spekulasi mengenai beleid ini secara berkepanjangan. Tentu, perundingan antara pihak tripartit menjadi hal yang serius bagi keberlangsungan JHT dan tidak ada kesan negatif mengenai program JHT sehingga apabila diadakannya JKP pada masa pandemi menjadi solusi bersama untuk serikat pekerja dan buruh dan bagi kepentingan pengusaha serta pemerintah.
Ricky Donny Lamhot Marpaung (Pemerhati Hukum Tata Negara)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia