Indonesia sebagai negara berbentuk republik kesatuan, menjadi satu-satunya negara di dunia yang akan melaksanakan Pemilu terbesar di dunia pada tahun 2024 nanti. Bagaimana tidak, jika pada tahun 2024 nanti akan ada 5 (lima) jenis Pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak, yang meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta Pemilu anggota DPD. Kelima Pemilu ini akan digelar serentak dalam 1 (satu) hari. Jika jumlah pemilih pada tahun 2019 mencapai 192.838.520, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara menyediakan 964.192.600 surat suara. Jumlah ini belum termasuk dengan pertambahan Daftar Pemilihan Tetap (DPT) di tahun 2024 nanti serta 2% cadangan surat suara untuk tiap daerah pemilihan (Dapil).
Tidak berhenti pada surat suara saja, logistik Pemilu tentunya membutuhkan kotak suara, berita acara, dan sertifikat hasil penghitungan suara yang juga harus dicetak dan didistribusikan untuk setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia. Jika ada 813.000 TPS di seluruh Indonesia, dan ada lima jenis Pemilu yang akan dilaksanakan, maka diperlukan 4.065.000 lembar berita acara, dan 4.065.000 lembar sertifikat hasil penghitungan suara. Di samping itu, jika satu TPS terdiri atas 2 (dua) bilik suara, maka KPU harus menyiapkan 1.626.000 bilik suara. Belum lagi untuk pengadaan tinta Pemilu, honor Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dan lain sebagainya yang oleh pemerintah dianggarkan sebesar Rp. 86,2 T. Jumlah ini meningkat 3 (tiga) kali lipat dibandingkan Pemilu tahun 2019 yang lalu, yang hanya memerlukan dana Rp. 25,7 T.
Selain kelima jenis Pemilu tersebut, pada tahun 2024, Indonesia juga akan melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada). Tercatat ada 101 daerah yang akan melaksanakan Pilkada yang terbagi atas 7 (tujuh) pemilihan gubernur dan wakil gubernur, 76 Pilkada di tingkat kabupaten, serta 18 daerah yang akan melaksanakan Pilkada di tingkat kota. Walaupun pelaksanaannya tidak diserentakkan pada hari yang sama dengan pelaksanaan kelima jenis Pemilu tersebut sebelumnya, namun persiapan pelaksanaannya tentu menyita perhatian dan pendanaan juga.
Jika berbicara tentang penyelenggaraan Pemilu, tak bijak rasanya jika hanya menyorot dari sisi biaya dan penyelenggaraannya saja. Aktor pelaksana dan peserta Pemilu harus menjadi perhatian pula, mengingat besarnya jumlah pihak yang akan terlibat dalam proses demokrasi ini. Di tahun 2019 saja tercatat ada 36.005 orang anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 250.212 orang anggota Panitia Pemilihan Suara (PPS), dan 7.385.500 orang anggota KPPS yang turut menyukseskan jalannya Pemilu. Sedangkan untuk peserta Pemilu dari 34 provinsi, tercatat ada 9.200 calon anggota DPR di 80 Dapil. 1.392 calon anggota DPD yang memperebutkan 34 Dapil, dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, 19.817 kursi anggota DPRD (tingkat provinsi maupun kabupaten/kota). Keseluruhan angka ini belum termasuk dengan jumlah tim sukses masing-masing calon yang bekerja di balik layar demi menyukseskan jagoannya terpilih dalam Pemilu 2019 yang lalu.
Ketika Pemilu diselenggarakan di tahun 2019, di samping biaya yang besar dan banyaknya pihak yang terlibat, korban pun tak terelakkan. Tercatat 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit setelah menjalankan tugas dan kewajibannya. Beban kerja yang cukup besar menjadi penyebab utama banyaknya petugas yang sakit hingga meninggal dunia. Bagaimana tidak, jika petugas KPPS sejak beberapa hari sebelum pelaksanaan pemungutan suara sudah harus mempersiapkan segala perlengkapan TPS seperti membangun tenda, menata meja kursi, mengatur kotak suara dan bilik suara, serta membuat alur sirkulasi pemilih di masing-masing TPS. Pada hari pemilihan, para anggota KPPS harus bekerja dari pukul 06.00 untuk mengambil perlengkapan pemilihan dan memulai acara pemilihan di pukul 07.00 setelah saksi dan pemilih hadir dengan didahului oleh pengambilan sumpah ketua dan anggota KPPS.
Pada saat pemungutan suara akan dilangsungkan pun, anggota KPPS wajib memeriksa dan mengisi identitas surat suara untuk memastikan bahwa surat suara yang akan diberikan kepada pemilih tidak rusak dan cacat. Di akhir pemungutan suara, anggota KPPS akan melaksanakan penghitungan suara hingga selesai dibuatnya salinan berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan surat suara dari seluruh jenis Pemilu yang dilaksanakan. Setelah itu, anggota KPPS harus segera mengantarkan bukti pungut hitung tersebut ke tingkat kelurahan untuk diamankan. Semua perlengkapan pungut hitung tersebut, harus ditulis tangan dan ditandatangani oleh seluruh anggota KPPS dan harus selesai di hari yang sama. Perpanjangan waktu yang diberikan oleh undang-undang hanya hingga pukul 12.00 waktu setempat pada hari berikutnya dengan syarat dilaksanakan tanpa jeda. Meskipun ada waktu istirahat di sela-sela pelaksanaan pungut hitung, namun dengan beban kerja yang begitu besar serta tekanan yang cukup kuat, menjadi pertimbangan khusus untuk persiapan pelaksanaan Pemilu tahun 2024 nanti.
Berkaca dari pengalaman Pemilu di 2019 tersebut di atas tentunya membuat seluruh stakeholder harus berpikir ekstra keras demi membuat formula mengenai pelaksanaan Pemilu serentak ini. Ditambah lagi, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon yang berasal dari sejumlah penyelenggara Pemilu ad hoc yang meminta pembatalan ketentuan Pemilu serentak 2024 yang akan datang. Padahal, dalam permohonannya, para pemohon telah merefleksikan pelaksanaan Pemilu tahun 2019 yang begitu sarat akan beban dan tanggung jawab hingga mengakibatkan banyaknya korban anggota KPPS yang sakit hingga meninggal dunia. Namun sayangnya, dalam petitum Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk menentukan model keserentakan Pemilu. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kewenangan penentuan model tersebut terdapat pada DPR dan presiden sebagai pembuat undang-undang. Walaupun demikian, Mahkamah Konstitusi memberikan enam opsi model Pemilu serentak yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah, yaitu: (1) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; (2) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; (3) Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; (4) Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; (5) Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih Gubernur, DPRD kabupaten/kota dan memilih Bupati/Walikota; (6) Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih Gubernur, dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih Bupati dan Walikota.
Model keserentakan yang diusulkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut ditujukan untuk menjaga keserentakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Keenam opsi tersebut dapat menjadi pedoman maupun petunjuk bagi penyelenggara Pemilu, baik KPU, Bawaslu, maupun DKPP untuk menindaklanjuti putusan MK Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini.
Dengan berbagai pengalaman yang sudah pernah dilalui serta masukan dari pemerhati Pemilu, baik dari dalam maupun luar negeri, keputusan mengenai model keserentakan dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2024 harus dipikir ulang. Bukan saja pertimbangan mengenai dana yang sangat fantastis dalam pelaksanaan Pemilu di dunia, namun juga pihak yang terlibat serta yang paling penting adalah esensi dari keserentakan itu sendiri. Jika pemerintah kemudian memutuskan untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 2024 secara serentak sesuai dengan model awal yang diusulkan oleh pemerintah, kemudian ada sengketa hasil Pemilu dengan semua kandidat yang kalah akan menggugat, maka bisa dipastikan akan ada vacum of power dalam pemerintahan. Untuk itu, perbaikan mengenai model keserentakan Pemilu ini harus dibicarakan secara serius dan melibatkan banyak pihak sehingga formula baru mengenai model keserentakan Pemilu tahun 2024 nantinya mampu meminimalisir kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi di tahun 2019.
Ratih Listyana Chandra (Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia