Sejak awal kemunculan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) dengan metode omnibus law, sangat banyak menuai beragam respon. Banyak pihak yang melakukan permohonan uji materi maupun formil (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Klaim dari Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa kehadiran UU CK akan membuka peluang investasi, memajukan pembangunan dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran menimbang UU CK. Dengan UU CK, diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.
UU CK menjadi isu aktual terlebih karena sebagain besar buruh/pekerja/tenaga kerja menentang UU CK ini. Cukup banyak pihak yang menilai sangat kurang partisipatif dan komunikatif dalam proses pembentukannya. Kekhawatiran yang muncul adalah akan hilang atau berkurangnya ketentuan terkait kesejahteraan buruh yang telah ada selama ini. Pada praktik penyusunan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR sering menimbulkan banyak interpretasi sehingga muncul pro dan kontra pada masyarakat karena lebih mengedepankan kepentingan politik dari pada kepentingan masyarakat.
Pembentukan undang-undang tersebut tidak mencerminkan produk hukum yang berkarakter responsif yang proses pembuatannya tidak melibatkan dan menyerap partisipasi masyarakat. Karena aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat merupakan salah alasan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur melalui UU harus disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada tanggal 25 November 2021, MK mengabulkan permohonan pemohon pada perkara Nomor 91/PUU-XVII/2020. Jika dilihat dalam risalah putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon pada perkara Nomor 91/PUU-XVII/2020 dan memutuskan bahwa:
Berdasarkan uraian diatas, secara materi memang tidak disinggung. Akan tetapi secara formil UU CK ini dinilai cacat formil. Namun, di sisi lain MK menyatakan menangguhkan penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU CK. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan hukum lainnya, di antaranya kebutuhan pembentukan peraturan turunan UU CK Dengan tidak diperkenankannya penerbitan peraturan pelaksana, maka ketentuan-ketentuan dalam UU CK tersebut menjadi tidak berfungsi, meskipun di sisi lain MK menyatakan undang-undang tersebut masih berlaku. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimana dengan peraturan pelaksana yang telah ada sebelum putusan ini dibacakan? Apakah tetap berlaku atau ikut ditangguhkan?
Poin putusan MK tersebut memberikan implikasi hukum terutama dalam hal jika dikaitkan dengan di kaitkan dengan Hukum dan Pembangunan. Persoalan adanya konsep omnibus law sebagai jalan keluarnya karena ada persoalan konflik antara penyelenggara negara dalam melakukan inovasi atau kebijakan yang kemudian berbenturan dengan peraturan perundang-undangan. Banyaknya peraturan perundang-undangan berbelit inilah yang menyebabkan perkembangan perekonomian negara belum dapat dikatakan membaik, akan tetapi Omnibus Law harus dibuat dalam tingkatan undang-undang.
Poin menarik yang perlu mendapatkan perhatian yaitu ketika membaca salah satu pendapat berbeda yang diajukan oleh Hakim Konsitusi Anwar Usman dan Arief Hidayat, diketahui bahwa terdapat materi muatan dalam UU CK yang berpotensi untuk dibatalkan secara materiil. Materi tersebut terkait ketenagakerjaan sehubungan dengan upah, pesangon, outsourcing, dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana permohonan uji materi dalam perkara nomor 103/PUU-XVIII/2020.
Catatan lainnya, yaitu terdapat celah ambiguitas terhadap makna "hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas", sehingga mengaburkan makna tindakan pelaksanaan apa yang tetap boleh dilakukan berdasarkan UU CK dan apa yang tidak boleh dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, putusan formil UU CK ini justru menunjukkan adanya permasalahan tarik ulur. Pada satu sisi menunda keberlakuan UU CK, namun di sisi lain justru masih membuka ruang keberlakuan dan pelaksanaan UU CK. Hal ini semakin menjauhkan semangat mewujudkan kepastian hukum oleh MK dalam memutus pengujian formil terhadap UU CK dan justru menciptakan potensi permasalahan hukum baru di tingkat pelaksanaannya.
Baik dalam tataran teoritis maupun pratktis penyelenggara negara memang diberikan kewenangan dalam melahirkan suatu peraturan perundangan-undangan dalam rangka merubah tatatan dan tertib sosial yang dikehendaki oleh negara. Tetapi tidak bisa serta merta melahirkan begitu saja dengan mengedepankan pembangunan tanpa mempertimbangkan kebutuhan hukum masyarakat. Kehadiran hukum menurut Satjipto Rahardjo, diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa berbenturan antara kepentingan yang satu dengan lainnya.
Untuk mengakhiri proses penyusunan undang-undang yang sarat kepentingan, menjauhkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan menjerat masyarakat untuk memasuki ranah proses hukum, maka filosofi yang terkandung dalam cita hukum (rechtsidee) Pancasila sebenarnya diwujudkan dalam model-model partisipasi dan aspirasi masyarakat, membuka ruang komunikasi dan mendorong untuk mampu melihat fakta sosial sehingga keputusan hukum yang dibuat pembentuk undang-undang mencerminkan keadilan sosial dan memberikan manfaat bagi rakyatnya.
Alfikri (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia