Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat ini dipandang sebagai lembaga negara yang berkedudukan sederajat dengan lembaga-lembaga negara lainnya yang disebutkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945, seperti diantaranya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Presiden. Adapun, tugas dan wewenang MPR adalah untuk mengubah dan menetapkan undang-undang dasar; melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR; memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam sidang paripurna MPR; melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari; memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua paket calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari (mpr.go.id).
Beberapa waktu lalu, sempat mencuat polemik antara pimpinan MPR dengan Menteri Keuangan perihal keuangan dan kehormatan lembaga negara pada bulan Desember 2021 lalu (Tempo, 2021). Walaupun polemik singkat yang diakibatkan oleh kesalahpahaman ataupun miskomunikasi tersebut telah usai, namun telah mengilhami penulis untuk mengkaji bentuk kelembagaan MPR sebagai lembaga negara. Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Pernyataan ini, dan pasal lainnya dalam UUD 1945, tidak menjelaskan bahwa MPR harus berbentuk lembaga permanen dalam menjalankan peran sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, karena sejatinya lembaga yang menjalankan peran perwakilan rakyat dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih oleh rakyat sebagaimana diatur oleh undang-undang. Pun sebagaimana telah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, dilihat dari tugas dan wewenang tersebut tidak membutuhkan operasional harian secara berlanjut, melainkan hanya bersifat periodikal dan insidental. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa tidaklah tepat dan tidaklah perlu apabila MPR berbentuk lembaga permanen sebagaimana halnya organisasi.
Menimbang aspek leksikal dari Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri menyiratkan bahwa MPR merupakan suatu forum bersama (majelis) untuk memutuskan suatu permasalahan yang berkaitan dengan haluan negara dan pelaksana dari haluan negara tersebut. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), majelis itu sendiri dapat bermakna pertemuan (kumpulan) orang banyak; rapat; kerapatan; sidang. Oleh karena itu, penulis berpandangan bahwa MPR sebaiknya berbentuk sebagaimana adanya suatu forum. Forum yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagaimana forum Musyawarah Besar (Mubes) dalam suatu organisasi sipil, ataupun sebagaimana forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam suatu perusahaan. RUPS itu sendiri dapat berlangsung secara tahunan (annual) ataupun bilamana terjadi peristiwa mendesak yang mengharuskan diselenggarakannya forum secara insidental sesegera mungkin, yang disebut sebagai RUPS Luar Biasa (LB). Mubes dan RUPS itu sendiri merupakan organ dari suatu organisasi atau korporasi. Terhadap RUPS dapat dilihat pada Pasal 1 ayat 2 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa organ perseroan adalah RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris. Bab VI secara lebih lanjut menjelaskan bahwa RUPS merupakan suatu forum yang diselenggarakan oleh Direksi ataupun oleh Dewan Komisaris dalam bentuk acara rapat bersama pada setiap tahun atau berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan. Secara filosofis dalam hal ini, lembaga negara merupakan "organ" dari negara.
Oleh karena perhelatan forum, baik yang terjadi secara periodikal ataupun insidental, yang bersifat sementara, maka unsur pimpinan dan kelengkapan dari MPR pun sebaiknya bersifat sementara. Dalam hal ini, yaitu dipilih sebelum forum dimulai dan berakhir ketika pembahasan mencapai kata sepakat dan forum berakhir. Dengan demikian, tidak perlu dialokasikan anggaran secara khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alokasi terhadap unsur pimpinan, kelengkapan organisasi, ataupun kebutuhan operasional harian lainnya. Secara ringkas dapat diuraikan bahwa MPR merupakan suatu forum yang terdiri dari DPR dan DPD, dimana DPR dan DPD telah memiliki pimpinan lembaga masing-masing dan keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum secara demokratis yang mencerminkan perwakilan dari kedaulatan rakyat untuk memilih wakilnya. Pasca amandemen UUD 1945 keempat, MPR bukan lembaga negara tertinggi dan saat ini dipandang sejajar dengan lembaga lainnya termasuk dengan Presiden. Lebih daripada itu, MPR tidak bisa mengeluarkan peraturan yang mengikat keluar (erga omnes), namun hanya berupa tata tertib (tatib) yang mengikat ke dalam dirinya. Selain itu, fungsi dan tugas serta wewenang MPR terbatas diantaranya adalah untuk amandemen UUD ataupun untuk memberhentikan Presiden, yaitu suatu peristiwa khusus yang tidak berlangsung secara rutin. Dalam hal ini, MPR berlaku sebagaimana forum Mubes atau RUPS dan RUPSLB. Oleh karena itu, pimpinan MPR selayaknya bersifat ad-hoc, dan dipilih setiap kali ketika akan berlangsung gelaran forum sehingga eksistensi MPR setelah reformulasi tidak membutuhkan alokasi keuangan sebagaimana lembaga tersendiri. Oleh karena itu, adalah penting untuk memformulasikan bentuk MPR sebagai suatu forum dan bukan badan permanen.
Reformulasi ini penulis pandang perlu untuk mewujudkan reformasi ketatanegaraan dan pemerintahan, serta menempatkan lembaga negara sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, peran DPR dan bahkan DPD yang selama ini tidak terlihat ataupun serasa dianaktirikan dapat dioptimalkan karena memang berbentuk sebagai dewan yang merupakan representasi rakyat pemilih. Perubahan ini dapat dilakukan melalui praktik ketatanegaraan, karena konstitusi tidak terbatas pada tertulis sebagaimana UUD 1945, namun konstitusi juga dibentuk melalui konsensus dan kebiasaan praktik ketatanegaraan baru yang menggantikan kebiasaan lama. Namun, pengubahan ini sebaiknya dilakukan formal melalui kesepakatan politik dari sebagian besar (50 persen plus 1 dalam kuorum yang disepakati) anggota DPR dan DPD dalam Sidang MPR itu sendiri.
Gede Khrisna Kharismawan (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia