Pendahuluan
Pada bulan yang lalu kita dihadapkan pada suatu peristiwa hukum yaitu dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Putusan yang dibacakan pada 25 November 2021, dibacakan secara marathon oleh 9 Hakim Konstitusi dalam putusan yang bernomor 91/PUU-XVIII/2020. Setidaknya terdapat 4 hal penting yang terdapat dalam putusan tersebut yaitu:
Dengan adanya putusan tersebut tentu akan berpengaruh terhadap peraturan yang telah diubah oleh UU Cipta Kerja, salah satunya yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu Undang-Undang yang masuk ke dalam perubahan yang ada pada UU Cipta Kerja, walaupun UU Sisnas Iptek yang diundangkan pada 19 Agustus 2019 relatif baru, namun melalui UU Cipta Kerja telah dilakukan pengubahan terhadap 1 (satu) pasal saja yakni terkait dengan pembentukan badan riset dan inovasi di daerah.
Berangkat dari persitiwa hukum di atas, tulisan ini mencoba mengurai peluang (hukum) pembentukan badan riset dan inovasi daerah pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan relasinya dengan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah, yang merupakan salah satu tujuan pembentukan dari UU Sisnas Iptek.
Urgensi Pembentukan Badan Riset dan Inovasi Daerah
Pembentukan badan riset dan inovasi tidak terlepas dari tujuan pembentukan yang ada pada UU Sisnas Iptek berupa pemenuhan dan pemanfaatan akan hak atas ilmu pengetahuan teknologi, kemudian terkait dengan optimalisasi kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan nasional serta dalam upaya meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa.
Sebelum berlakunya UU Sisnas Iptek, telah terbit terlebih dahulu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, namun dalam kurun waktu kurang lebih 17 tahun pemberlakuan Undang-Undang tersebut, masih belum mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam pembangunan nasional, yang salah satu penyebabnya adalah dinamika globalisasi yang semakin intensif dalam mempengaruhi berbagai kehidupan masyarakat, selain itu masih terdapat beberapa kekurangan di dalam pengaturan yang ada pada Undang-Undang tersebut, salah satunya terkait aspek kelembagaan yang diharapkan dapat meng-koordinasikan dan mengintegrasikan pelaksanaan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan serta invensi dan inovasi secara nasional.
Dari aspek kelembagaan ini pada UU Sisnas Iptek di dalam Pasal 48 mengamanahkan pembentukan suatu badan untuk menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi dalam skala nasional. Badan ini akan dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam suatu Peraturan Presiden. Proses pembentukan BRIN dari 2019 hingga 2021 tidak dapat dipisahkan dari perubahan nomenklatur kementerian antara Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2019), Kemeristek sempat mengalami perubahan menjadi Kemenrsitekdikti dengan menarik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Kemendikbud dan menjadikannya bagian dari Kemenristek. Selanjutnya pada periode kedua pemerintahan presiden Joko Widodo (2014-2019), Dikti diletakkan kembali dibawah Kemendikbud, sehingga Kemenristek Kembali pada nama semula. Selanjutnya pada tahun 2019, BRIN dibentuk sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggungjawab kepada Presiden dan melekat pada Kemenristek dengan dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019. Namun kemudian melalui Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021, BRIN dipisahkan dari Kemenristek dan berdiri sendiri di bawah Presiden. Pemisahan BRIN ini diikuti dengan penggabungan Kemenristek dan Kemendikbud.
Kebutuhan untuk pembangunan dan pengembangan Iptek di daerah juga menjadi landasan adanya perubahan Pasal 48 UU Sisnas Iptek melalui UU Cipta Kerja, sehingga dasar hukum pemnbentukan BRIN yang merupakan lembaga dalam cakupan nasional dilengkapi dengan BRIDA yang ditujukan sebagai lembaga dalam skala regional (daerah) sebagaimana bunyi perubahan ketentuan dimaksud sebagai berikut:
Pasal 48
Terbitnya nya UU Cipta Kerja terkait dengan pemebntukan BRIDA sebetulnya telah di tindak lanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 yang kemudian di ubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (Perpres BRIN). Di dalam Perpres BRIN tersebut dalam kaitannya dengan BRIDA disebutkan bahwa BRIN melakukan tugas untuk melakukan monitoring, pengendalian, dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi BRIDA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut hemat penulis dalam melihat urgensi pembentukan sebuah lembaga BRIDA tentu dapat dilihat sejauh mana peran daerah dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan UU Sisnas Iptek beberapa peran daerah dalam pemajuan dan pengembangan Iptek antara lain yaitu:
Dari beberapa uraian di atas menunjukan bahwa Pemerintah Daerah memiliki peran penting dalam pemajuan dan pengembangan Iptek di daerahnya, oleh sebab itu pembentukan BRIDA sesungguhnya memiliki urgensi yang penting dalam hal mengkonsolidasi ketercapaian tujuan sebagaimana yang diharapkan dalam pembentukan UU Sisnas Iptek, dan melalui adanya kelembagaan BRIDA maka terjadi konektivitas serta pengintegrasian dalam pelaksanaan kebijakan Iptek secara keseluruhan baik yang dilaksanakan oleh BRIN maupun BRIDA itu sendiri.
Peluang Pembentukan BRIDA pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam UU Sisnas Iptek memang tidak menyebutkan adanya pembentukan BRIDA sebagaimana diatur dalam Pasal 48, dan amanah pembentukan BRIDA di dasarkan pada perubahan Pasal 48 sebagaimana di atur dalam UU Cipta Kerja, namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentunya akan berdampak pada pembentukan BRIDA di daerah, mengingat di dalam salah satu amar putusan MK tersebut berisi “menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja”, hal ini menurut penulis termasuk juga kebijakan dalam membentuk kelembagaan BRIDA.
Jika kita cermati konteks pembentukan BRIDA berdasarkan berdasarkan Pasal 66 Perpres BRIN disebutkan bahwa pembentukan BRIDA dapat diintegrasikan dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah atau perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penelitian dan pengembangan daerah. Dari Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa BRIDA tidak harus berbentuk Organisasi Perangkat Daerah mandiri, tetapi dapat menjadi bagian dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah. Pembentukan BRIDA diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah berdasarkan kemampuan dan karakteristik daerah, sehingga pembentukan BRIDA secara OPD tersendiri bukanlah suatu kewajiban bagi Pemerintah Daerah, hal ini mengingat bahwa setiap daerah memiliki karakteristik dan kemampuan yang beragam dalam pembentukan BRIDA sebagai OPD.
Sebagai contoh Provinsi Jawa Tengah yang telah membentuk suatu badan riset yang di integrasikan dengan OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah atau OPD yang menyelenggarakan urusan pemerintah daerah di bidang penelitian dan dan pengembangan, dan kebetulan kedua urusan tersebut pada OPD Provinsi Jawa Tengah dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah.
Karena pembentukan BRIDA sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, sehingga BRIDA merupakan bagian dari pelaksanaan tugas pemerintahan daerah, bukan organisasi struktural di bawah BRIN atau perwakilan BRIN di daerah. Namun dalam pelaksanaan tugas BRIDA tetap melakukan koordinasi dengan BRIN, yang mana dalam Perpres BRIN menyebutkan bahwa BRIN memiliki tugas untuk melakukan monitoring, pengendalian, dan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi BRIDA, termasuk melakukan pembinaan teknis terhadap BRIDA.
Sehingga dari aspek kelembagaan ada dua pilihan pendekatan, yaitu merupakan OPD yang berdiri sendiri atau OPD yang diintegrasikan dengan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah atau yang menyelenggarakan urusan pemerintah daerah di bidang penelitian dan dan pengembangan, kedua hal tersebut juga memiliki konsekuensi lanjutan bilamana dilakukan perubahan nama menjadi BRIDA maka perlu dilakukan perubahan Peraturan Daerah terkait karena pembentukan OPD melalui Peraturan Daerah sehingga wajib untuk disesuaikan, berbeda jika hanya terjadi perluasan fungsi dari sebuah OPD dengan memperkaya urusan di bidang riset dan inovasi hal ini hanya perlu mengubah SOTK OPD yang ada pada Peraturan Kepala Daerah.
Dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memberikan penekanan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, dalam hal ini menurut hemat penulis termasuk pembentukan BRIDA, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dalam hal ini menurut hemat penulis termasuk Perda pembentukan BRIDA maka peluang yang dimungkinkan adalah dengan melakukan pengayaan fungsi yang terkait dengan peran daerah dalam pemajuan dan pengembangan iptek ke dalam salah satu perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah atau perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penelitian dan pengembangan daerah, namun tidak dalam bentuk OPD mandiri.
Apri Listiyanto (Analis Hukum Ahli Madya, BPHN)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia