Penyelesaian masalah secara politis sarat dengan muatan kepentingan dan ketidakpastian karena adanya tendensi pengaruh dan kekuasaan yang bermain. Oleh karena itu, kemudian berkembang paham ketatanegaraan untuk menyelesaikan persoalan yang ada melalui lembaga yang independen. Dalam hal ini salah satu cabang kekuasaan yang diberikan wewenang untuk menengahi dan menyelesaikan permasalahan adalah lembaga yudikatif. Penguatan mekanisme penyelesaian masalah melalui lembaga yudikatif ini terutama terjadi di negara yang mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke demokrasi, sebagaimana terjadi di negara-negara Balkan, Eropa Timur, dan juga Indonesia. Negara-negara tersebut masih memiliki trauma terhadap pola pemerintahan dan politik yang dilakukan oleh rezim pemerintah sebelumnya yang cenderung otoriter dan mengabaikan HAM warga negara. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat (confidence) terhadap negara, maka perlu ada suatu lembaga independen yang menegakkan aturan hukum secara konstitusional terhadap berbagai permasalahan politik umum dan mega politik.
Pemisahan Kekuasaan
Pembagian kekuasaan negara kepada lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan upaya sistematis untuk menjaga agar kekuasaan tidak dimonopoli oleh satu lembaga tunggal. Lembaga tunggal ini secara historis rawan disalahgunakan karena kekuasaan berlaku sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton bahwa “power tend to corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Sehingga secara struktural, dipisahkanlah (divisive) kekuasaan negara kepada tiga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dikenal sebagai Pemisahan Kekuasaan. Meskipun demikian, ketiga lembaga tersebut secara fungsional tetap berhubungan satu sama lain melalui Pembagian Kekuasaan. Bahwasanya, ketiga lembaga negara tersebut adalah lembaga yang berdaulat sehingga bebas dari campur tangan lembaga lain. Kebebasan masing-masing lembaga untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan koridor wewenang yang diberikan oleh konstitusi adalah yang disebut sebagai diskresi. Komposisi lembaga ini didesain sedemikian rupa mengalami ’deadlock’ sehingga para pihak saling mengawasi melalui mekanisme ‘check and balances’ dalam ‘status quo’. Namun, kondisi ‘status quo’ ini dapat berubah bila terjadi hal atau peristiwa yang ‘luar biasa’. Pada perkembangannya, terdapat upaya masing-masing lembaga untuk memperluas pengaruh kekuasaan (sphere of influence) dalam negara.
Yudisialisasi Politik
Fenomena global menunjukkan telah terjadi pergeseran kewenangan pengambilan kebijakan hukum dari pembentuk UU ke lembaga peradilan. Hal ini disebut dengan yudisialisasi politik. Indonesia pun termasuk negara yang menerapkan yudisalisasi politik melalui sistematika pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 melalui mekanisme judicial review oleh MK. Namun, dalam pelaksanaanya MK perlu mewaspadai resistensi dan perlawanan dari DPR sebagai pembentuk UU. Lembaga legislatif dapat menghambat proses pemilihan hakim konstitusi atau mengurangi kewenangan yang dimiliki MK atau menambah berat tugas dan fungsi MK tanpa memberi fasilitas atau sumber daya yang memadai. Dalam upaya mitigasi konflik ini, MK mengembangkan pertimbangan “Kebijakan Hukum Terbuka” atau (open legal policy). Pertimbangan ini sejatinya mengacu kepada konsep “judicial restraint” yang berkembang terhadap diskresi kewenangan lembaga negara. Konsep ini mempunyai parameter berupa “political question doctrine” untuk menentukan kapan lembaga peradilan harus bertindak dan kapan harus menahan diri atas dasar pemisahan kekuasaan lembaga negara. Lembaga eksekutif dan legislatif memiliki diskresi yang diberikan oleh Konstitusi, dan dalam lingkup persoalan yang menyangkut kewenangan diskresi maka selama ini terdapat konsensus bahwa penyelesaian yang dilakukan adalah secara politis dan bukan melalui jalur peradilan.
Kedaulatan Cabang Kekuasaan
A.V. Dicey (1914) memaparkan tentang doktrin Kedaulatan Parlemen, yang mengandung prinsip bahwa parlemen mempunyai hak untuk membuat atau membatalkan hukum apapun; dan tidak ada satu orang atau lembaga pun yang berhak menolak atau mengesampingkan legislasi parlemen. Disisi lain, Dicey memandang bahwa terdapat doktrin ‘preseden yudisial’ yang berlandaskan pada keinginan untuk melihat keadilan dan kejujuran dalam administrasi hukum dengan mengurangi kekuasaan penafsiran sewenang-wenang oleh pembuat UU. Doktrin ini adalah satu konsekuensi yang dikehendaki dari aturan yang memberikan kemandirian bagi hakim di pengadilan dan memberikan mereka kekebalan dari serangan politis Dalam konteks kenegaraan, konsitusi memberikan kewenangan yang bersifat limitatif kepada lembaga negara serta adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kekuasaan lembaga negara dalam menjalankan kewenangan operasionalnya agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara dan masyarakat. Meskipun terdapat tanggung-jawab negara terhadap kebijakan ataupun tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh organ dan lembaga negara. Adapun, mekanisme yang dapat dilakukan oleh warga negara atau masyarakat yang mengalami kerugian akibat dari kebijakan negara adalah melalui sarana lembaga peradilan seperti MK, PTUN, PN, dan Ombudsman. Panduan Kewenangan
Profesor Berriedale Keith (1938) memberikan panduan terhadap kewenangan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahwasanya aturan mengenai keputusan yudisial harus didasarkan pada prinsip-prinsip tetap yang telah mapan; sedangkan, legislasi harus sejalan dengan pembatasan kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk menangani hak-hak individu; dan pemerintah harus menghormati batas-batas hukum yang ada. Bagaimanapun, ketiga lembaga negara tersebut memiliki kebijakan politik tersendiri (policy) dalam menjalankan diskresi kebijakan yang ada, sepanjang hal itu sesuai dengan koridor wewenang masing-masing lembaga, yaitu tidak melanggar HAM; tidak sewenang-wenang; dan bukan tindakan ultra vires. Adapun, wewenang ini dapat berasal dari konstitusi, doktrin ahli hukum yang highly reputable, ataupun kebiasaan praktik kenegaraan yang baik. Dalam hal ini, yudisialisasi politik memperoleh momentum karena memiliki alasan pembenar dan traksi dibandingkan dengan politis, yaitu adanya kepastian, transparansi, dan otoritas yang memang memiliki kewenangan dalam memutus perkara. Oleh karena itu, kewenangan MK dalam melakukan yudisialisasi politik secara terbatas dapat dioptimalkan melalu beberapa cara, yaitu melalui constitutional dialogue (komunikasi kelembagaan) dan conditional decision (putusan bersyarat).
Peningkatan Efektivitas MK
Komunikasi kelembagaan (constitutional dialogue) merupakan upaya pemerintah atau DPR untuk merancang UU sebagai respon terhadap putusan yang dikeluarkan oleh MK, dan kedua lembaga yang terlibat secara intens melakukan komunikasi dua arah yang mengakomodasi putusan MK tersebut. Dalam hal ini, MK dapat bertindak sebagai lembaga advisory opinion dengan keterbatasan disclaimer terhadap pembuatan UU tersebut. Sedangkan, Putusan bersyarat (conditional decision) adalah putusan yang keberlakuannya tergantung kepada pemenuhan syarat yang ditetapkan dalam putusan tersebut dimana obyek putusan menjadi konstitusional atau tidak. Putusan ini selain menghindarkan adanya kevakuman hukum, juga dapat sebagai sarana penghalusan agar tidak terlalu bersifat konfrontatif terhadap pemerintah atau DPR. Dalam hal ini, syarat yang ada dapat condong kepada MK ataupun kepada Pemerintah atau DPR. Jika lebih condong kepada MK maka akan terkesan mendikte sehingga efektivitas putusan dapat tidak efektif. Menurut penulis sebaiknya MK tidak perlu mengemban tanggung-jawab persyaratan, melainkan cukup melimpahkan ‘bola panas’ berupa putusan syarat kepada pemerintah atau DPR. Syarat ini dapat berupa jangka waktu tertentu atau obyektif tertentu. Dengan demikian, marwah masing-masing lembaga negara dapat terjaga dan tidak ada yang kehilangan ‘muka’. Penghormatan terhadap kedaulatan dan wewenang lembaga negara ini pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas kerja MK bersama dengan pemerintah dan DPR untuk merevitalisasi dan mewujudkan tata kelola praktik bernegara yang baik (good governance).
Gede Khrisna Kharismawan (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia