Filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam bukunya “De Legibus” menyebutkan “The Welfare of The People is The Supreme Law” atau dalam bahasa Latin maupun adagium yang menyebutkan sebagai “Salus Populi Suprema Est Lex”, yang diartikan “suara atau kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi”. Namun konsep ini banyak disalahartikan dengan menempatkan tujuan kesejahteraan atau keselamatan rakyat tanpa memperhatikan hukum dan konstitusi, namun lebih bergantung pada hak prerogatif kekuasaan atau pada kebajikan dari mereka yang memiliki kekuasaan. Benjamin Straumann menyatakan bahwa banyak yang salah memahami prinsip Cicero ini, pernyataan itu ditulis dalam bukunya "Crisis and Constitutionalism: Roman Political Though from the Fall of the Republic to the Age of Revolution” (2016) (Rowe et.al., 2001: 526-608).
Konsep yang banyak disalahartikan inilah yang turut melahirkan raison d’etat atau “alasan negara”. Konsep tersebut berpedoman pada alasan politis murni bagi tindakan pemerintah yang mendasarkan pada kepentingan nasional, namun seringkali melanggar prinsip-prinsip keadilan. Inilah yang terjadi sejak masa Niccolo Machiavelli (1469-1527) hingga Carl Schmitt (1888-1985), di mana para ahli teori kedaulatan dan keadaan darurat dari Italia dan Jerman abad ke-20 memandang bahwa pada masa krisis atau darurat, instrumen yang menjadi penting bukanlah tatanan hukum dan konstitusi, melainkan keputusan pemimpin. Akibatnya, tak mengejutkan apabila beberapa negara Eropa mengalami sejarah pahit di bawah kepemimpinan diktator. Penyebabnya, mereka memberikan kekuasaan sangat besar kepada pemimpinnya dengan alasan untuk memudahkan tercapainya tujuan negara.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia saat ini? Konsep Salus Populi Suprema Est Lex ini juga diejawantahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, terlebih dalam situasi pandemi ini negara dianggap sedang mengalami kondisi darurat, namun prosesnya masih banyak yang dikatakan kurang tepat bahkan sangat kontradiktif dengan konstitusi. Misalnya seperti menteri yang dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat atributif pada situasi darurat, padahal apabila kita merujuk pada Pasal 12 dan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dalam situasi darurat maka yang dapat membuka kewenangan kebijakan darurat adalah Presiden melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Alasannya yaitu Indonesia menganut sistem presidensil, yang mana presiden dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi yaitu pemilihan umum oleh rakyat secara langsung, maka presiden merupakan “kepercayaan rakyat” sebagai pengambil keputusan dalam pemerintahan yang mengutamakan kepentingan orang banyak dan bukan mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif harus bisa menjaga hubungan antara pemerintah dengan rakyat dan jangan sampai ada “gap” diantara keduanya. Namun di Indonesia sendiri sekarang realitanya justru kebijakan yang dikeluarkan eksekutif dan legislatif cenderung “mengecewakan” rakyat yang sejatinya rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi, kekecewaan rakyat tersebut beralasan karena pemerintah dan legislatif sekarang cenderung mengutamakan kebijakan yang berfokus pada sektor ekonomi, padahal sekarang sedang dalam situasi darurat kesehatan. Di saat negara lain sibuk memikiran keselamatan rakyatnya, di Indonesia justru sibuk memikirkan ekonomi yang bahkan cenderung ke penyelamatan ekonomi investor, misakan saja Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang bertujuan untuk menangani Pandemi Covid-19 yang orientasinya lebih ke penyelamatan ekonomi bukan keselamatan rakyat. Demikian juga UU Cipta Kerja yang orientasinya masih dipertanyakan untuk kepentingan ekonomi rakyat atau ekonomi investor? Dapat dikatakan kondisi pemerintah dan legislatif sekarang sudah hampir mirip dengan yang penulis sebutkan terkait raison d’état dan sejarah pahit kepemimpiman diktator di Eropa pada masa lampau.
Kemudian apabila kita merujuk pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, artinya bahwa sumber dari segala kekuasaan negara berasal dari kedaulatan rakyat, karena tanpa ada pemberian kedaulatan rakyat maka Negara tidak memiliki kekuasaan. Teori kedaulatan adalah “dari, oleh dan untuk rakyat” itulah prinsip demokrasi yang kita yakini hingga saat ini, namun ini justru berbanding terbalik dengan fakta yang ada, justru penulis melihat negara kita berada pada situasi yang cukup “abnormal” dalam proses penyelengaraan pemerintahan yang baik untuk tujuan mensejahterakan rakyat, karena kedaulatan itu berada di tangan rakyat, maka rakyatlah yang harus didengarkan dalam berbagai proses legislasi untuk tujuan kesejahteraan rakyat, apalagi untuk kepentingan publik secara umum. Para “wakil rakyat” dalam hal ini DPR yang diamanatkan melalui proses pemilu harus mempresentasikan kebutuhan dan suara rakyat, karena suara rakyat merupakan hukum tertinggi, jika melihat dalam prinsip negara hukum itu sendiri, ada 2 (dua) prinsip yang dikenal dalam konsep negara hukum, yaitu Subtantive Due Process of Law dan Procedural Due Process of Law, ketika dia menyentuh pada Procedural Due Process of Law (Harijanti, 2020). Partisipasi publik dalam konteks pembentukan undang-undang harus diperhatikan secara adil dan transparan karena itu adalah sendi demokrasi, yang menjadi pertanyaan dari “partisipasi publik” ini adalah, maka masyarakat mana yang harus didengar? Idealnya sesuai dengan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia, maka yang pertama didengarkan/diprioritaskan adalah mereka yang paling terkena dampak dari peraturan perundang-undangan, dalam kaitan dengan hak asasi manusia terutama Procedural Rights ada yang dikenal dengan “Rights To Be Heard” yaitu rakyat mempunyai hak untuk didengar. Mengapa demikian? Karena rakyat tersebutlah yang akan menerima dampak pada peraturan tersebut, namun tidak hanya sampai di situ saja, setelah memenuhi hak untuk didengar, maka ada lagi hak yang selanjutnya yaitu “Rights To Consideration” atau hak untuk dipertimbangkan, dan itu harus dipenuhi karena merupakan sendi demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari kedaulatan berada di tangan rakyat
Tanpa pemenuhan hak-hak Procedural Due Process of Law maka hak-hak Subtantive Due Process of Law tidak dapat dipenuhi. Fakta yang bisa kita lihat pada UU Cipta Kerja yang menurut Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, ada 3 (tiga) kesalahan utama dalam aturan ini, pertama, proses pembentukan rancangan UU-nya dirumuskan secara tidak transparan dan minim pastisipasi publik, kedua, teknik omnibus law tidak dikenal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dan yang terakhir secara substansi bahwa UU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. Ketiga hal inilah yang menurut penulis bermasalah dan berimbas pada “kekecewaan” rakyat atas pengingkaran wakil rakyatnya yang diakibatkan dari procedural due process of law yang berantakan.
Harusnya apabila memang kedaulatan berada di tangan rakyat dan suara rakyat adalah hukum tertinggi, maka legislatif harusnya memperhatikan procedural due process of law, kemudian pemerintah khususnya bagi eksekutif harus mempunyai konsep pemerintahan yang baik atau Good Governance, sebenarnya konsep ini telah ada diejawantahkan dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia, salah satunya pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sayangnya konsep ini tidak dijalankan dengan semestinya, Prof. Gunawan Sumodiningrat, menyatakan Good Governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptakannya, pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelengaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (Gunawan, 1999). Pernyataan Prof. Gunawan Sumodiningrat ini justru berbanding terbalik dengan UU Cipta Kerja ini, justru UU tersebut substansinya mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi sehingga kontradiktif dengan prinsip Good Governance yang seharusnya.
Kemudian apabila merujuk pada pengertian United Nation Development Program (UNDP), UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan Good Governance, yaitu: 1) Participation, yang menekankan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat mewakili aspirasinya, partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif, 2) Rule of Law, bahwa kerangka hukum itu harus adil bagi siapapun dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, 3) Transparency, dibangun atas dasar kebebasan memperoreh informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan, dan 4) Consensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas dan karakteristik lainya seperti Responsiveness, Equity, Efficiency and Effectiviness, Accountability,dan Strategic Vision (Samodra, 2005), namun konsep Good Governance ini sayangnya tidak dijalankan dengan baik di Indonesia sehingga dapat saya katakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia saat ini berada pada posisi yang “abnormal”.
Dari sisi politik hukum, pengaruh politik terhadap hukum sangat mempengaruhi proses dari perumusan kebijakan atau legislasi itu sendiri, dapat dikatakan tarik-menarik kepentingan antara eksekutif, legislatif, partai politik, maupun “golongan” tertentu dapat terjadi dalam proses perumusan kebijakan, dalam buku politik hukum yang ditulis oleh Prof. Dr. Mahfud MD, bahwa kekuasaan politik determinan terhadap hukum itu sendiri, di satu sisi politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah, yang di dalamnya mencakup pula bagaimana pengertian tentang politik yang mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang perumusan kebijakan atau dalam penegakan hukum itu (Mahfud, 2009:9). Beliau menyarankan agar menghindari kepentingan kelompok tertentu dan pemerintahan yang otoriter, maka rombak konfigurasi politik agar demokratis serta perlu melembagakan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Saran penulis dalam pembahasan di atas, mengutip kembali pernyataan Prof. Mahfud MD, “agar menghindari kepentingan kelompok tertentu dan mewujudkan kedaulatan rakyat, rombak konfigurasi politiknya agar demokratis”, maka prinsip Good Governance yang harusnya dikedepankan dengan dibuat regulasi komprehensif yang mengawasi kinerja eksekutif dan legislatif dengan diaturnya secara eksplisit mengenai konsekuensi hukum atau logis apabila tidak menjalankan prinsip Good Governance. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, pengaturan tersebut masih cenderung abstrak, tidak diatur mengenai konsekuensi logis terhadap eksekutif maupun legislatif apabila melanggar prinsip Good Governance. Kekuasaan eksekutif maupun legislatif harus mengedepankan prinsip ini karena Good Governance mengatur karakteristik yang sesuai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, serta pemenuhan hak-hak procedural due process of law dalam perumusan kebijakan agar hak-hak subtantive due process of law dapat dipenuhi. Konsep inilah menurut penulis yang tepat untuk dikedepankan agar dapat mewujudkan prinsip demokrasi dan kedaulatan berada di tangan rakyat seutuhnya.
Muhammad Fauzi (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia