Tanggal 31 Maret 2020, akibat situasi pandemi COVID 19, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan oleh Presiden, guna menangani krisis dan instabilitas sistem keuangan. Perppu No. 1/2020 akhirnya sah ditetapkan menjadi undang-undang dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Salah satu asas hukum yang terkemuka adalah asas iktikad baik atau disebut bona fides dalam bahasa latin ataupun good faith dalam bahasa inggris. Asas iktikad baik pada awalnya dikenal dalam masa Romawi, dimana asas iktikad baik memainkan peranan besar dalam terselenggaranya Hukum Romawi dengan segala bentuk dan jenis sistem hukum yang berlaku di Republik/Kerajaan Roma. Asas ini kemudian dipakai dalam tiap aspek pengaturan hukum secara luas
Dalam konteks hukum di Indonesia maka dapat kita identifikasi penggunaan iktikad baik dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Tercatat dalam KUHPerdata istilah “iktikad baik” dipergunakan sebanyak 22 kali. Dalam Kitab UU Hukum Pidana maka iktikad baik muncul dalam Pasal 50 dan Pasal 51. Dalam beberapa Undang-Undang maka iktikad baik muncul dalam Pasal 45 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dari rentetan tersebut nampak bahwa penggunaan iktikad baik dalam hukum indonesia bukanlah hal yang baru dan persoalan
Iktikad baik bukanlah sesuatu yang patut dikhawatirkan sebagaimana sebagian kalangan mencoba mempermasalahkan substansi “iktikad baik” dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 2/2020 yang diduga akan rawan penyalahgunaan. Iktikad baik ternyata memiliki sejarah yang panjang dalam dunia ilmu hukum dan bahkan dipakai pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Persoalan apakah iktikad baik kemudian dapat diejawantahkan secara serius ketika ada perkara yang masuk ke ranah peradilan menyangkut Pasal 27 ayat (2) tersebut maka hal itu merupakan suatu tantangan yang seharusnya tidak dibebankan kepada penggunaan iktikad baik itu sendiri sebab ketika berbicara soal penegakan hukum maka akan menyangkut banyak faktor termasuk pula soal tafsiran suatu aturan, konsistensi, dan keputusan dari penegak hukum. Apabila yang dikuatirkan lebih berat karena iktikad baik itu ditempelkan kepada pejabat yang mengeksekusi langkah-langkah yang diatur dalam UU tersebut maka tidak beralasan sebab Pasal 50 dan 51 KUHPidana, Pasal 22 UU tentang Pengampunan Pajak, dan Pasal 45 UU Bank Indonesia pun menyasar pejabat, bahkan sudah pernah ada terpidana yang diputus perkaranya atas dasar Pasal 45 UU Bank Indonesia dalam perkara Bank Century. Lebih jauh lagi apabila yang dikuatirkan adalah karena iktikad baik seperti hendak melindungi pejabat maka perlindungan terhadap pejabat bukanlah hal baru di Indonesia. Selain KUHPidana, UU Bank Indonesia, dan UU Pengampunan Pajak maka sudah pernah ada pula ketentuan undang- undang lain yang memberikan semacam “perlindungan” terhadap pejabat yaitu terdapat dalam Pasal 10 UU tentang Ombudsman dan Pasal 224 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Jadi kesimpulannya adalah bobot kekuatiran para pihak ataupun sebagian kalangan yang mempermasalahkan frasa “iktikad baik” dalam Pasal 27 ayat (2) UU No. 2/2020 nampaknya bukanlah terhadap iktikad baik itu sendiri tetapi lebih terhadap penegakan hukum dalam kaitannya dengan oknum pejabat negara yang bisa saja dengan mudah lepas dari tuntutan hukum. Namun dengan adanya
Olsen Peranto (Tenaga Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan pada Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu