Apakah amar putusan ataukah pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat menjadi acuan bagi pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu undang-undang merupakan suatu “perdebatan klasik” yang menarik bagi para pemerhati hukum. Bagi perancang peraturan perundang- undangan, khususnya Penulis sebagai perancang di DPR, juga seringkali menemukan dinamika semacam ini dalam sejumlah kondisi tertentu.
Adapun bila menggunakan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 23 Tahun 2003) jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 8 Tahun 2011), maka akan ditemukan bahwa hanya amar putusan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peranan pertimbangan putusan MK jika didasarkan kepada Pasal 45 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2003 berperan sebagai
Pertama, dalam Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, jika melihat amar putusan akan didapatkan bahwa para Pemohon permohonannya dikabulkan untuk sebagian, yakni kewenangan yang maksimal dalam hal merekrut pengawas Pemilihan Umum (Pemilu). Para Pemohon perkara dalam perkara ini, yakni Ketua dan Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Periode 2008-2012 pada waktu itu menguji Undang-Undang Nomor
Dalam amar putusannya, MK hanya mengabulkan mengenai kewenangan perekrutan pengawas Pemilu, sehingga tidak lagi berdasarkan usulan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan mengenai DK dalam amar Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 tidak dikabulkan. Hal yang menarik dalam Putusan MK tersebut adalah dihapus pertimbangan putusannya yang mengemukakan tafsir mengenai frasa “suatu komisi pemilihan umum” dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Tafsir ini menjadi penting karena UU No. 22 Tahun 2007 merupakan undang-undang mengenai penyelenggara Pemilu yang dasar hukum pembentukannya dari Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Menurut MK dalam pertimbangan Putusan tersebut, frasa “suatu komisi pemilihan umum” tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. MK menambahkan juga Poin [3.18] pertimbangan putusannya, maka penyelenggara Pemilu dapat diartikan menjadi KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Alhasil dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (UU No. 15 Tahun 2011) yang merupakan undang-undang pengganti dari UU No. 22 Tahun 2007, lembaga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pun diatur. Dengan demikian walau amar putusan Putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 tidak mengabulkan, ternyata pertimbangan putusan menjadi acuan pembentuk undang-undang.
Kedua, dalam Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, jika mengacu kepada amar putusan hanya akan didapatkan mengenai MK melepaskan kewenangannya untuk sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Munculnya Putusan ini dikarenakan semenjak adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU No. 12 Tahun 2008), sengketa hasil Pilkada dilakukan oleh MK seperti halnya sengketa hasil Pemilu.
Dalam pertimbangan putusannya muncul tafsir yang juga menjadi acuan yang cukup fundamental dan berlaku hingga saat ini, yakni penegasan mengenai rezim Pemilu. Menurut MK dalam pertimbangan putusannya, kewenangan MK hanyalah pada sengketa hasil Pemilu yang mana secara tegas diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Apakah yang dimaksud dengan Pemilu? Pemilu adalah pemilihan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian Pilkada tidak termasuk didalamnya, karena amanat penyelenggaraan Pilkad hadir dari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Keduanya pun diatur dalam Bab yang berbeda, yakni Bab VIIB mengenai Pemilihan Umum dan Bab VI mengenai Pemerintahan Daerah.
Kemudian apakah dampaknya Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 bagi pembentukan undang-undang? Dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 8 Tahun 2015), ada sejumlah dampaknya.
Sebagai contoh Pasal 1 angka 7 UU No. 8 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Perlu diketahui bahwa pada waktu itu UU No. 15 Tahun 2011 masih berlaku, dan di dalam UU No. 15 Tahun 2011 terdapat sejumlah kewenangan dari penyelenggara Pemilu, baik itu KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk menyelenggarakan Pemilu ataupun Pilkada. Lalu megapa perlu ada penegasan dengan frasa “berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini” di Pasal 1 angka 7 sampai dengan angka 11? Karena pembentuk undang-undang mempedomani kerangka berfikir Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Atas dasar adanya tafsir mengenai perbedaan rezim antara rezim Pemilu dan rezim Pilkada dalam pertimbangan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, maka pembentuk undang-undang merasa penting kiranya untuk menegaskan peran dan kedudukan penyelenggara Pemilu karena ada kaitannya. Ketika rezim Pemilu dan Pilkada dipisah, acuan Pemilu adalah Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 22E ayat (5) yang mengatur mengenai penyelenggara Pemilu, maka jelas keterkaitan penyelenggara Pemilu hanyalah pada Pemilu saja tidak dengan Pilkada. Hal ini juga kemudian menjadi sinkron dengan amar putusan terkait penyelenggara Pemilu dan MK tidak dapat terpisahkan. Seluruh kewenangan penyelenggara Pemilu terkait dengan Pilkada dalam UU No. 15 Tahun 2011 sudah tidak berlaku lagi. Politik hukum pembentuk undang-undang ketika membentuk UU No. 8 Tahun 2015 kembali menggunakan penyelenggara Pemilu untuk Pilkada, maka perlu ada frasa “berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Dengan demikian yang menugaskan penyelenggara Pemilu bekerja juga untuk Pilkada adalah UU No. 8 Tahun 2015, bukan amanat konstitusi menurut tafsir pertimbangan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Ketiga, mengenai penegasan pemisahan rezim Pemilu dan Pilkada, berdasarkan Putusan MK No. 97/PUU- XI/2013, diketahui bahwa penegasan ini muncul karena sebelumnya Pilkada masuk dalam rezim Pemilu. Tepatnya setelah Putusan MK No. 072-73/PUU-II/2004. Jika amar putusan yang menjadi rujukan, lagi- lagi tidak pernah disebutkan bahwa Pilkada termasuk dalam rezim Pemilu. Namun dalam pertimbangan putusannya, MK memberikan kerangka berfikir bahwa karena Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32 Tahun 2004) dilaksanakan melalui pemilihan langsung, maka sudah selayaknya asas- asas Pemilu yang Langsung Umum Bebas Rahasia Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) harus diwujudkan juga.
Dalam pertimbangan Putusan MK No. 072-73/PUU-II/2004 memang tidak ditegaskan bahwa PIlkada masuk ke dalam rezim Pemilu, hanya dipersamakan dari sejumlah aspek karena sama-sama diselenggarakan melalui pemilihan langsung, seperti halnya Pemilu dan penyelenggaranya juga diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004. Dampak dari Putusan MK No. 072-73/PUU-II/2004, pembentuk undang-undang berpedoman pertimbangan putusan tersebut dan menegaskan penyelenggara Pemilu bekerja untuk Pilkada dalam UU No. 22 Tahun 2007 dan UU No. 15 Tahun 2011 yang secara tidak langsung memasukkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu. Itulah mengapa pasca lahirnya UU No. 22 Tahun 2007, Pilkada lebih sering disebut Pemilu Kada atau Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dari sejumlah contoh di atas, maka pendapat Penulis guna menjawab apakah amar putusan MK ataukah pertimbangan putusan MK yang menjadi acuan bagi pembentuk undang-undang? Maka jawabannya adakah keduanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 dan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan kewenangan konstitusi tersebut, diketahui bahwa hanya pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden yang memiliki kewenangan mutlak untuk membentuk suatu undang- undang, bukan lembaga yang lainnya. Peranan MK menguji suatu undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukam Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh DPR dan Presiden. Tidak disebutkan apakah hanya putusan MK yang amar putusannya diterima atau ditolak, ataupun apakah hanya amar atau pertimbangan putusannya saja yang diikuti.
Diluar dari itu juga ada hal lain yang penting menurut analisis Penulis, yakni mengapa terkadang MK putusannya menolak atau tidak mengabulkan suatu perkara, namun pertimbangan putusannya dapat menjadi rujukan. Jawabannya dikarenakan keterbatasan hal yang dapat diputuskan oleh MK. Pasal 57 UU No. 8 Tahun 2011 disebutkan bahwa batasan yang dapat diputuskan dalam amar putusan MK hanyalah “materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang” yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Hal ini menjadi terbatas dengan peranan MK sebagai satu-satunya penafsir konstitusi yang terkadang juga memberikan politik hukum dalam pertimbangan putusannya. Merubah politik hukum suatu undang- undang bukanlah kewenangan dari MK, namun MK berkewajiban untuk memberitahukan pemikirannya.
Masukan mengenai politik hukum ini jelas terlihat dalam putusan MK terbaru terkait kepemiluan, yakni Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut MK memberikan banyak sekali sumbang saran bagi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017), namun sifat masukannya lebih ke politik hukum pembentukan undang-undang yang bukan kewenangan dari MK. Penegasan bahwa masukan politik hukum itu bukan kewenangan MK dapat terlihat dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang jika dikutip persis pertimbangan poin [3.17] MK menyatakan bahwa “…Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16] di atas yang dinyatakan konstitusional sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan dalam pemilihan umum memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden…”. Itulah mengapa dalam amar putusannya, MK menolak permohonan yang diajukan oleh Pemohon karena masukannya (menurut analisis Penulis) lebih ke aspek politik hukum.
Berdasarkan kajian Penulis perlu ke depan pembentuk undang-undang lebih cermat dalam memahami putusan MK. Pertama, harus dipahami bahwa keweangan pembentuk undang-undang sepenuhnya merupakan kedaulatan yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Kedua, butuh kejelian dalam melihat suatu putusan MK secara utuh, karena tidak hanya amar putusan saja yang dapat ditindaklanjuti, terkadang pertimbangan putusan juga memiliki masukan yang bersifat politik hukum dan patut juga dipedomani.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu