Pemilihan kepala daerah (selanjutnya akan disebut sebagai Pilkada), baik Gubernur, Bupati, maupun Walikota bersama-sama dengan wakilnya, akan diselenggarakan tidak lama lagi. Tepatnya pada tanggal 9 Desember 2020, Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada serentak untuk yang kedua kalinya, setelah sebelumnya Pilkada serentak pertama diselenggarakan di tahun 2018. Tercatat ada 270 daerah yang tahun ini akan menyelenggarakan Pilkada, yang terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pilkada yang seharusnya digelar pada tanggal 23 September 2020, harus diundur
Sejak kasus Covid – 19 merebak pada Februari 2020, peningkatan jumlah pasien positif virus ini terus bertambah. Berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid 19, hingga 16 November 2020 tercatat sudah 467.113 jiwa yang positif terpapar virus ini, 391.991 jiwa dinyatakan sembuh, dan 15.211 jiwa meninggal dunia. Virus ini tidak hanya menyerang masyarakat biasa saja, beberapa penyelenggara Pemilu, baik KPU dan Bawaslu yang berada di pusat maupun daerah, diketahui terpapar virus ini pula.
Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan baru, apakah pemerintah tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi yang belum juga usai. Sehingga pada akhirnya pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid – 19) Sebagai Bencana Nasional. Berdasarkan ketentuan itulah, akhirnya pemilihan serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang sedianya akan dilaksanakan pada bulan September 2020, ditunda karena terjadi kejadian dengan kategori bencana nonalam.
Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tersebut akhirnya dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pasal 120 Perppu Nomor 2 Tahun 2020 ini mengatur bahwa : (1) Dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan; (2) Pelaksanaan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak yang terhenti”. Hal ini kemudian menjadi “alarm” bagi pemerintah untuk terus memantau perkembangan penularan covid-19 sambil tetap meneruskan tahapan Pilkada yang sedang berjalan.
Bersikukuhnya pemerintah untuk terus menggelar Pilkada di masa pandemi ini bisa kita lihat dalam beberapa pernyataan. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa penyelenggaraan
Berkaca pada pelaksanaan Pemilu yang tetap diselenggarakan di masa pandemi ini di beberapa negara, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Misalnya saja mengenai mekanisme pemilihan yang digunakan pada Pemilu lokal di Kota Bavaria, Jerman. Walaupun jumlah pemilihnya meningkat dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu sebelumnya di masa yang normal, namun Bavaria menggunakan mekanisme pemilihan dengan cara mengirimkan surat suara melalui pos ataupun dropbox kepada KPU setempat (absentee voting by mail or dropbox). Sehingga konstituen tidak perlu keluar rumah, berkumpul, dan
Lain halnya dengan dengan Pemilu yang dilaksanakan di Korea Selatan. Sistem Pemilu mereka mengenal adanya early voting dimana pemilih boleh memilih di TPS-TPS yang tersedia beberapa hari sebelum hari H pemilihan. Hal ini tentu saja mengurangi timbulnya antrian panjang untuk menunggu giliran memberikan suara, sehingga risiko penularan virus covid-19 ini bisa diminimalisir. Ditambah lagi dengan disiplinnya penduduk Korea dalam menyikapi pandemi, sehingga setelah Pemilu dilaksanakan, tidak muncul cluster-cluster baru.
Jika kemudian kita bandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini, tentunya bukan sebuah langkah bijak. Indonesia tidak mengenal mekanisme absentee voting by mail or dropbox maupun early voting. Bahkan Perppu Pilkada yang ditunggu-tunggu di masa pandemi ini juga tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme Pilkada di masa pandemi. Perppu yang ada hanya mengatur Pilkada sama dengan mekanisme “normal”. Peraturan KPU yang menjadi harapan terakhir pun juga tidak secara rinci mengatur mengenai hal ini. KPU hanya menambahkan pengaturan bahwa setiap
Jika ini dibiarkan tanpa petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang memadai, maka akan muncul permasalahan-permasalahan baru. Pemilihan akan makin berat, rumit, kompleks, dan mahal. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan karena bertambahnya prasarana yang harus disiapkan oleh penyelenggara Pemilu dalam setiap tahapan. Peserta Pemilu pun harus mengadaptasi dan mentransformasi metode kampanye sesuai dengan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan dibatasinya jumlah peserta yang hadir dalam kampanye tatap muka, maka semakin berkurangnya akses konstituen terhadap informasi pemilihan. Kampanye secara daring memang sudah dilaksanakan, namun belum maksimal. Hal ini bisa terjadi karena akun media sosial para pasangan calon belum tersosialisasi dengan baik. Atau bisa juga terjadi karena pertemuan terbatas dengan kontak fisik lebih diminati. Sehingga pada akhirnya konstituen akan makin tidak mengerti siapa yang akan mereka pilih di bilik suara
Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya akan mengancam kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat dalam Pilkada mendatang. Pemilih akan berpikir ulang untuk hadir memberikan suaranya demi tetap menjaga kesehatannya. Kalaupun pemilih hadir, maka pilihan yang akan diberikan biasanya akan diberikan kepada petahana. Hal ini tentu tak bisa dipungkiri. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh petahana sebagai bentuk bantuan sosial dari pemerintah, akan diingat oleh pemilihnya karena dianggap perduli kepada masyarakat. Jika petahana tidak ikut maju dalam kontestasi Pilkada, maka pilihan akan jatuh pada saran-saran orang terdekat, bukan berdasarkan penilaian dan pemilihan pribadi.
Pilkada 2020 memang masih beberapa minggu lagi. Namun melihat makin bertambahnya jumlah yang terpapar virus ini, bijak rasanya jika nanti jika Pilkada dilaksanakan sesuai jadwal, tidak ada penghakiman atas kontituen-konstituen yang tidak menggunakan hak pilihnya demi menjaga kesehatannya sendiri dan orang- orang terdekatnya. Di samping itu, penyelenggara Pemilu harus bekerja ekstra keras, kreatif, dan inovatif dalam penyelenggaraan Pilkada tahun ini. Penyebarluasan informasi akun media sosial para calon dan mendesain debat publik yang efektif, serta simulasi pungut hitung harus terus dilakukan. Yang terpenting adalah, konstituen harus aktif mencari informasi dan mengkonfirmasi rekam jejak para calon. Cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai pasangan calon yang ada. Sehingga pada hari pemilihan nanti, konstituen tahu betul siapa yang akan mereka pilih, tidak asal memilih. Tentu saja dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan bagi seluruh penyelenggara, peserta, dan pemilih demi putusnya mata rantai penularan Covid-19.
Ratih Listyana Chandra (Dosen Hukum Tata Negara – Fakultas Hukum Universitas Jember dan mahasiswa program doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu