“Somebody once said that in looking for people to hire, you look for three qualities: integrity, intelligence, and energy. And if you don’t have the first, the other two will kill you. You think about it; it’s true. If you hire somebody without (integrity), you really want them to be dumb and lazy.” Kutipan sederhana namun menyentuh seperti yang terlontar oleh salah seorang berpengaruh di dunia versi Majalah Time, Warren Edward Buffet seakan mewakili polemik yang terjadi belakangan ini. Poin utama dari kutipan ini, yaitu betapa pentingnya sebuah integritas dalam bekerja dibandingkan sebuah kecerdasan dan energi/semangat, apalagi dalam menjalankan kekuasaan. Hal yang memilukan itu nyata terjadi di lingkaran istana. Pasalnya di tengah semua unsur melawan pandemi Covid-19, tiba-tiba pemerintah terusik dengan munculnya dugaan benturan kepentingan yang dilakoni oleh beberapa Staf Khusus (Stafsus) Presiden, yaitu Andi Taufan Garuda dan Adamas Belva Syah Devara. Akibatnya kedua stafsus milenial itu mengundurkan diri dari jabatannya.
Tentu dengan kemunduran Andi dan Belva secara etika patut diapresiasi, namun secara hukum meskipun keduanya telah meminta maaf dan dibarengi dengan pengunduran diri kepada Presiden, bukan berarti manuver bisnis dan politik yang diduga dimanfaatkan melalui konflik kepentingan (Conflict of Interest atau Self Dealing) dalam posisi jabatannya sebagai stafsus menjadi selesai begitu saja. Perlu klarifikasi oleh semua unsur yang terlibat disertai pemeriksaan dengan tujuan tertentu oleh lembaga yang berwenang untuk mengidentifikasi apakah seluruh proyek yang dilakukan memenuhi unsur konflik kepentingan atau tidak.
Hal tersebut tentu saja perlu dibuktikan dengan pelbagai kelengkapan dokumen pengadaan barang dan jasa mulai dari tahapan perencanaan, persiapan pengadaan dan pemilihan, pelaksanaan kontrak, hingga pada serah terima pekerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan itikad baik. Jika ditemukan indikasi atau potensi konflik kepentingan, tidak sesuai prosedur, dan berujung berpotensi merugikan keuangan negara, maka seluruh proyek pengadaan tersebut wajib dibatalkan dan semua unsur yang terlibat di dalamnya harus diproses secara hukum. Karena begitulah amanat yang tercantum pada Pasal 12 huruf b dan i Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 78 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Terlepas dari dugaan kasus yang menimpa dua orang stafsus milenial di atas, tentu hal ini harus menjadi pembelajaran serius bagi Presiden dan Penyelenggara Negara lainnya dalam mengisi jabatan strategis terutama jabatan stafsus. Atas dasar itu kemudian tersentak di benak penulis bahwa terdapat 2 (dua) variabel penting yang dapat dijadikan catatan dan pembelajaran terhadap tindakan 2 (dua) stafsus milenial tersebut.
Pertama, soal kedudukan stafsus secara administratif, dalam batas penalaran yang wajar dan tradisi ketatanegaraan tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden membutuhkan perangkat yang secara langsung dapat membantu Presiden dalam menjalankan dan melancarkan tugasnya sebagai kepala pemerintahan. Itu sebabnya, Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2012 jo.
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018 tentang Utusan Presiden, Staf Khusus Presiden, dan Staf Khusus Wapres telah memberikan tupoksi kepada Stafsus Presiden sebagai lembaga non-struktural yang dibentuk untuk kepentingan memperlancar pelaksanaan tugas presiden, melaksanakan tugas tertentu diluar tugas-tugas yang sudah diberikan oleh undang-undang kepada kementerian serta instansi pemerintahan.
Bahkan di dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018 juga telah memberikan batas demarkasi tugas kepada stafsus yang berfungsi mengkoordinasikan dan memberikan dukungan administrasi oleh dan bertanggungjawab kepada Sekretaris Kabinet yang bersifat operasional dan melekat 24 jam bersama Presiden. Artinya, secara expressis verbis norma itu memberikan legitimasi kepada Stafsus sebagai supporting system dalam membantu Presiden sesuai dengan keahliannya, tidak lebih dari itu.
Jika menggunakan optik hukum administrasi, meskipun Stafsus memiliki posisi setara jabatan eselon 1, namun Stafsus bukanlah pejabat yang dapat mengeluarkan kebijakan, keputusan atau tindakan terhadap kewenangan yang dimilikinya layaknya Penyelenggara Negara yang memiliki kekuasaan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, bahkan juga tidak dapat dilekatkan di pundaknya sebagai Pejabat Negara. Sebab, tupoksi yang diberikan kepada Stafsus hanya sebatas koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dengan instansi pemerintahan dalam membantu kerja Presiden.
Hal ini mengisyaratkan bahwa Undang-Undang Kementerian Negara maupun Peraturan Presiden tidak memberikan instrumen pemerintahan berupa kebijakan dan keputusan kepada Stafsus. Dengan demikian, selain tindakan itu dianggap sebagai konflik kepentingan, tindakan yang dilakukan oleh stafsus milenial itu juga dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum yang dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan sebagaimana amanat Pasal 17 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerinatahan. Implikasinya, jika merujuk pada aturan tersebut dan stafsus yang bersangkutan terbukti melakukannya, maka Presiden selaku atasan langsung sudah selayaknya memberhentikan.
Bahkan di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) menyebutkan bahwa konflik kepentingan merupakan tangga menuju korupsi. Sebab, kepentingan negara dengan mengedepankan kepentingan individu yang diduga dilakukan oleh stafsus millennial saat ini tidak terbatas pada keuntungan finansial an sich, namun juga melingkupi keuntungan finansial yang akan mereka peroleh di masa depan dan itulah dampak serius dari konflik kepentingan tersebut.
Variabel kedua adalah soal rangkap jabatan stafsus. Jika dilihat secara keseluruhan lebih dari separuh stafsus milenial merangkap jabatan di perusahaan yang di embannya, seperti CEO, Direktur Utama, dan lain-lain. Sesungguhnya inilah sebagai pintu masuk terjadinya konflik kepentingan yang akan menjadi pemicu seseorang terjerembab di lumbung korupsi. Karena, yang namanya rangkap jabatan merupakan sebuah pelanggaran etika dan hukum bagi penyelenggara negara yang melakukannya.
Berdasarkan kedua variabel catatan di atas, kedepannya stafsus diharapkan melepaskan seluruh jabatannya dan menjaga jarak dengan perusahaan yang dimilikinya agar terhindar dari konflik kepentingan. Pengunduran diri Andi dan Belva hendaknya dimaknai oleh Presiden dengan mengambil langkah serius untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan sekaligus mengevaluasi seluruh jajaran stafsus, kapan perlu melakukan reshuffle terhadap jabatan stafsus tersebut. Meskipun jabatan yang diberikan adalah Staf Khusus, namun bukan berarti Presiden harus “mengkhususkan” para stafsus ketika melanggar etika dan hukum. Justru disanalah publik dapat melihat letak kebijaksanaan dan ketegasan seorang pemimpin negara terhadap bawahannya.