Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada tahun 2020 telah resmi ditunda, hal ini diputuskan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dengan Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI) pada hari Senin tanggal 30 Maret 2020 (nasional.kompas.com). Langkah penundaan Pilkada Serentak di tahun 2020 ini resmi diambil melihat perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang hingga saat ini belum terkendali dan demi mengedepankan keselamatan masyarakat maka disepakati secara bersama bahwa tahapan Pilkada Serentak 2020 yang belum terlaksana untuk ditunda.
Landasan hukum agar terlaksana penundaan Pilkada yang seyogyanya dilaksanakan tahun 2020, Komisi II DPR RI meminta Presiden mempersiapkan landasan hukum yang baru, yakni dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Adapun pembentukan Perppu ini pula sejatinya sejalan dengan niatan pembentuk undang- undang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 yang didalamnya tercantum RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Bencana nasional Covid-19 secara tidak langsung telah mendorong pembentuk undang-undang (Perppu walaupun ditetapkan oleh Presiden namun kemudian harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI) melakukan perubahan ketiga RUU No. 1 Tahun 2015 yang merupakan salah satu ius Constituendum, karena banyaknya pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 2015 yang perlu untuk diubah menyesuaikan dengan perkembangan hukum yang ada. Sebagai contoh terkait dengan penjadwalan Pilkada pada Pasal 201 dalam Undang-Undang mengenai Pilkada ini sejatinya telah berulang kali diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015 maupun UU No. 10 Tahun 2016.
Berdasarkan pengalaman pembahasan kedua undang-undang pilkada tersebut yang diikuti oleh Penulis, begitu juga risalah persidangannya, ada 2 (dua) tolak ukur jadwal keserentakan yang berbeda dalam UU No. 8 Tahun 2015 maupun UU No. 10 Tahun 2016. Kalau versi UU No. 8 Tahun 2015, pembentuk undang- undang tetap menggunakan pola keserentakan pemilihan secara bertahap menuju keserentakan Pilkada secara nasional di tahun 2027. Pemilihan tahun 2027 tersebut dipilih dengan pertimbangan Akhir Masa Jabatan (AMJ) untuk masing- masing Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Oleh karena itu ditentukanPilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 sebagai grand design awal keserentakan Pilkada secara bertahap. Prinsipnya keserentakan bertahap ini menghindari tahun Pemilu, itu sebabnya tahun 2019 juga 2024 tidak ada jadwal Pilkada serentak. Lanjutan dari yang awal tetap ada Pilkada di Tahun 2015, 2017, dan 2018, Pilkada lanjutannya ada di tahun 2020, 2022, dan 2023. Ketika keserentakan nasional ditentukan 2027, akan ada masa jabatan yang kurang dan lebih (untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah yang nantinya Pilkada lagi di tahun 2020 dan 2023). Namun pilihan ini diambil oleh pembentuk undang-undang, dengan pertimbangan agar tidak banyak ada kekosongan waktu menuju keserentakan nasional dan sedapat mungkin menghindari pemotongan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Walaupaun pada Pasal 201 ayat (8) UU No. 8 Tahun 2015 juga sudah diberikan solusi, yakni kekosongan diisi oleh penjabat dan untuk masa jabatan yang kurang, negara akan memberikan kompensasi sepadan di Pasal 202 UU No. 8 Tahun 2015.
Pola ini berubah dalam UU No. 10 Tahun 2016, dalam undang-undang tersebut pembentuk undang-undang merubah keserentakan Pilkada secara nasional terlaksana pada tahun 2024. Pilihan ini diambil agar nantinya semenjak tahun 2024 dan seterusnya, Pemilu dan Pilkada serentak akan dilaksanakan tahun yang sama dengan gagasan besar agar efektivitas tahun yang digunakan secara produktif untuk fokus pembangunan dan mensejahterakan rakyat tidak terganggu dengan hiruk pikuknya tahun politik, apakah itu Pemilu dan Pilkada. Ketika Pemilu dan Pilkada ada dalam tahun yang sama, maka diharapkan 3-4 tahun pemerintahan (dari umumnya jangka waktu pemerintahan yang 5 tahunan) dipergunakan secara maksimal. Dampak memajukan waktu keserentakan nasional tersebut akan ada kepala dan wakil kepala daerah hasil dari Pilkada tahun 2020 yang waktunya hanya 4 tahun jika dihitung dari 2020 ke 2024. Sedangkan Pilkada lanjutan hasil pentahapan berikutnya ditiadakan karena menyesuaikan dengan keserentakan nasional tahun 2024 tersebut.
Berpedoman pada kesepakatan bersama antara Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP RI untuk menunda Pilkada tersebut, maka jadwal keserentakan Pilkada akan diubah. Oleh karena itu, jadwal keserentakan Pilkada adalah salah satu pasal yang wajib diperbaiki dalam Perppu tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015. Dalam Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016 diatur bahwa seharusnya Pilkada tahun ini dilaksanakan pada bulan September tahun 2020. Analisis penulis, bukan pasal itu saja yang harus diubah karena ada sejumlah konsekuensi termasuk juga pengharmonisasian dengan model keserentakan Pemilu terbaru yang sejalan dengan gagasan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU- XVII/2019.
Dalam rangka menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai kepemiluan yang baru berpedoman Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, maka penjadwalan Pilkada yang baru dalam Perppu tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 akibat pandemi Covid-19 ini penting diharmonisasikan. Menurut analisis Penulis, jikalau ingin berhitung waktu yang paling aman karena pendemi Covid-19 ini bukan hanya mengharuskan kita berhitung waktu, namun juga berhitung kesiapan anggaran penyelenggaraan, maka waktu yang ditentukan akhir tahun 2021 misalnya. Jika Perppu tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 mengatur Desember 2021, maka penting disinkronisasikan beberapa ketentuan akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Sebagaimana diketahui bahwa untuk masa jabatan yang kurang, negara akan memberikan kompensasi yang sepadan sesuai ketentuan Pasal 202 UU No. 8 Tahun 2015, oleh karena itu akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dari hasil Pilkada tahun 2017 dan 2018 untuk dikurangi agar dapat mengikuti Pilkada serentak nasional di akhir tahun 2021 (yang secara tidak langsung Pilkada secara nasional akhirnya terwujud). Masa jabatan nantinya kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut berakhir di tahun 2026 (5 tahun). Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah akan di adakan lagi di tahun 2026. Pemilu Serentak Daerah bersama dengan Pemiilu untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. Akan tercapai jarak yang ideal antara Pemilu serentak nasional (2 tahun) sesuai dengan salah 1 (satu) dari 6 (enam) alternatif keserentakan Pemilu yang dimuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU- XVII/2019. Adapun Pemilu serentak nasional untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI pun dapat dimulai sejak tahun 2024.
Pemilihan waktu 2 (dua) tahun sebagai jarak yang ideal untuk mempersiapkan tahapan secara matang, kesiapan penyelenggara Pemilu, dan anggaran yang cukup. Perpu tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 tersebut sebagai “jembatan” untuk menghubungkan gagasan keserentakan Pemilu yang baru ini dan Pilkada seretak untuk kali terakhir. Hal ini penting agar proses transisi tidak luput dari persoalan di kemudian hari dan rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi nantinya.
Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pihak dalam menyusun Perppu tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 1 Tahun 2015 agar selaras dengan gagasan RUU pemilihan umum yang baru terkait Pemilu Serentak Nasional dan Pemilu Serentak Daerah.