Omnibus law menjadi persoalan yang selalu diperbincangkan banyak orang sejak disebut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat pelantikan dirinya menjadi presiden untuk periode kedua pada tahun lalu. Awalnya, Jokowi berencana membentuk dua undang-undang (UU) dengan konsep ini, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM. Langkah ini diambil guna untuk menyederhanakan jumlah regulasi yang terlalu banyak. Dalam perkembangannya, jumlah UU yang akan dibentuk menggunakan konsep hukum yang berkembang untuk pertama kali di negara- negara common law tersebut meningkat menjadi empat UU. Keempat UU tersebut adalah UU Cipta Kerja, UU Perpajakan, UU Ibukota Negara, dan UU Keafirmasian yang semuanya masuk Prolegnas sebagai usulan dari pemerintah.
Dua dari empat UU tersebut, yaitu UU Cipta Kerja dan UU Perpajakan prosesnya sedang berjalan. Namun baru RUU Cipta Kerja yang secara resmi telah diserahkan ke DPR. Bahkan, hadirnya RUU tersebut kini menjadi masalah. Ragam penolakan pun bermunculan, baik yang muncul akibat proses pembentukan yang dijalankan pemerintah, maupun dari segi substansi yang dinilai berpotensi menimbulkan masalah. Dari segi subtansi yang mengamanatkan adanya peraturan regulasi, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menemukan sekitar 496 kperaturan delegasi yang diamanatkan oleh RUU Cipta Kerja. Berdasarkan ketentuan dalam RUU tersebut, proses pembentukan peraturan delegasi tersebut harus diselesaikan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan. Tentu, banyaknya peraturan delegasi tersebut kontraproduktif dengan semangat awal pembentukan UU menggunakan konsep omnibus law ini, yaitu untuk menyederhanakan regulasi.
Sementara itu, dari segi materi muatan yang inkonstitusional, Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif menemukan 31 pasal yang inskonstitusional. Sifat keinskonstitusional itu muncul karena pemerintah dalam menyusun RUU Cipta Kerja tersebut tidak mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya 31 pasal tersebut bertentangan dengan 3 Putusan MK, yakni Putusan Nomor 005/PUU- I/2003, Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011.
Sebelumnya PSHK juga mengemukakan dua ketentuan yang dinilai inskonstitusional, yaitu terkait pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah dan terkait perubahan UU melalui peraturan pemerintah. Terkait pembatalan peraturan daerah, pemerintah menghidupkan kembali kewenangan yang sudah dibatalkan MK melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Pada putusan tersebut, pembatalan peraturan daerah mutlak menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung, namun melalui RUU Cipta Kerja, pemerintah menyatakan bahwa Perda dapat dicabut melalui peraturan presiden.
Terkait mekanisme perubahan UU dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang terdapat pada Pasal 170 Ayat (1), (2) dan (3) yang menegaskan bahwa demi pelaksanaan kebijakan UU Cipta Kerja, maka pemerintah pusat berwenang melakukan perubahan ketentuan dengan PP yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pimpinan DPR. Melalui pasal ini, pemerintah seakan sengaja menabrak ketentuan UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembentukan, termasuk perubahan UU merupakan kewenangan DPR yang dilakukan bersama- sama dengan pemerintah. Tidak dapat dilakukan dengan sekedar membentuk PP, sebab secara hierarki, UU berada di atas PP.
Beragam penolakan publik terhadap RUU Cipta Kerja saat ini tidak lepas dari proses pembentukan RUU (law making process) yang dilakukan pemerintah secara tertutup. Ketertutupan pemerintah menyebabkan munculnya kecurigaan, terlebih setelah Kementerian Koordinator Perekonomian mengeluarkan Surat Keputusan Pengangkatan Satuan Tugas omnibus law yang anggotanya didominasi oleh pengusaha dan politisi. Sementara keterwakilan masyarakat terdampak, seperti buruh dan petani tidak ada sama sekali. Selain itu, instruksi presiden terhadap kepolisian, BIN dan Kejaksaan untuk mendekati kelompok masyarakat yang menolak omnibus law juga semakin memicu polemik. Pasalnya, pemerintah semakin kesini terkesan semakin bertangan besi. Dan dalam hal ini, pemerintah seperti tidak belajar dari masa lalu di mana publik kecewa terhadap pemerintahan Orde Baru yang diktator dan mengekang kebebasan berekspresi.
Setelah draf RUU Cipta Kerja beredar, penolakan tersebut semakin masif karena draf yang dihasilkan dari proses yang tertutup tersebut juga tidak sempurna dan memuat ketentuan-ketentuan sensitif, misalnya ketentuan upah pekerja yang tidak sesuai harapan buruh, pengaturan seputar lingkungan hidup yang jauh dari harapan penggiat lingkungan, dan lain sebagianya. Adanya ketentuan yang tidak sesuai harapan tersebut tentu menjadi semacam pemicu yang menyebabkan nyala api semakin besar. Publik telah kecewa akibat proses yang tertutup, lalu hasil dari proses tersebut juga tidak memuaskan, alhasil amarah publik pun semakin menjadi-jadi. Bila pemerintah dan DPR tetap tidak mendengarkan aspirasi publik dalam mengesahkan RUU ini, sejatinya RUU ini tidak akan pernah diterima.
Selain persoalan di atas, masalah lain yang sejatinya menyertai RUU ini adalah hilangnya daulat rakyat. Dalam hal pembentukan UU ini, partisipasi publik benar-benar ditekan ke tingkat terendah, bahkan ditiadakan sama sekali. Padahal dalam prinsip demokrasi, Presiden dan DPR hanyalah perpanjangan tangan dari rakyat atau pelaksana dari keinginan rakyat. Prinsipnya, demokrasi beranjak dari pemahaman bersama, yang mengedepankan prinsip dialog dalam mengambil keputusan. Dalam membentuk UU, masyarakat sejatinya memiliki hak untuk terlibat. Pasal 96 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), jelas menyatakan bahwa publik memiliki hak untuk terlibat dalam proses pembentukan UU. Dalam hal ini, Pemerintah bersama DPR sebagai pembentuk UU seharusnya wajib menyediakan ruang bagi publik untuk memberikan masukkan, baik secara lisan maupun tertulis.
Hakikatnya, pasal ini mengamanatkan bahwa pembentukan UU tidak hanya apa yang diinginkan oleh pembentuk UU saja, melainkan juga ada representasi publik yang orientasinya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini, tidak sedikit pun keinginan rakyat didengarkan, bahkan cara-cara yang ditempuh pemerintah sebagai penyusun RUU ini terkesan represif. Dalam hal ini, daulat rakyat dalam pembentukan UU tidak ada. Padahal dalam hal membentuk UU, sebagaimana yang diungkapkan oleh Zainal Arifin Muchtar dalam “Politik Hukum RUU Cipta Kerja” (Kompas, 9 Maret 2019), UU tidaklah bersifat einmaleigh atau sekali pakai, tapi dia harus dapat memotret secara forward looking tentang apa yang diharapkan ke depan.
Dalam perkara ini, sejatinya UU yang dibentuk tersebut tidak hanya semata-mata untuk menerima manfaat seketika UU itu disahkan, melainkan juga perlu melihat dampaknya dalam jangka panjang, baik terhadap tujuan yang hendak dicapai maupun sektor lain yang terdampak. Dalam hal RUU Cipta Kerjayang perlu dilihat bukan hanya sekedar proses perizinan untuk memudahkan investasi, tapi juga perlu dilihat bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, buruh, lingkungan, dan lain sebagainya.
Omnibus law yang digunakan untuk menyederhanakan regulasi guna untuk memangkas birokrasi dan memudahkan perizinan justru kebablasan. Melihat banyaknya peraturan delegasi yang diamanatkan, ditambah UU yang menjadi induk dari UU yang direvisi melalui omnibus law Cipta Kerja juga tidak sepenuhnya dicabut, belum lagi peraturan menteri yang bersifat atributif dari pelaksanaan RUU Cipta Kerja, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan UU ini hanya akan menambah permasalahan regulasi. Selain itu, pada ketentuan penutup dari RUU Cipta Kerja, yakni pada Pasal 73 mengamanatkan bahwa pembentukan dan penyesuaian terhadap peraturan delegasi harus diselesaikan dalam waktu satu bulan. Tentu, ketentuan ini bukannya menyelesaikan masalah, tapi menambah masalah karena pasal ini sulit dijalankan. Pasalnya, bila merujuk pada peraturan delegasi yang berjumlah hampir 500 peraturan, maka pemerintah perlu membentuk dan menyesuaikan sekitar 17 peraturan delegasi per harinya.
Selain itu, keberadaan peraturan delegasi yang terlalu banyak ini juga bahaya dari segi demokrasi. Pasalnya, kewenangan pembentukan peraturan delegasi tersebut sepenuhnya menjadi milik presiden. Presiden dapat membentuk peraturan delegasi tersebut tanpa harus menampung partisipasi publik dalam bentuk apa pun. Bahkan, DPR yang fungsi utamanya menjalankan fungsi legislasi atau membentuk UU tidak perlu dilibatkan.
Kita semua paham bahwa tujuan dibentuknya omnibus law Cipta Kerja ini adalah upaya untuk menciptakan lapangan kerja guna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempermudah investasi dan mengatasi ruwetnya perundang-undangan yang berkaitan dengan hal itu. Namun, dalam pembentukannya bukan berarti dapat dilakukan dengan meniadakan masyarakat sebagai subjek hukum yang pasti terdampak dari UU yang dibentuk tersebut. Itu sebabnya, beragam penolakan terhadap RUU yang diperuntukkan untuk mempermudah investasi itu terjadi. Publik menginginkan adanya partisipasi dalam pembentukan RUU tersebut, namun direspon pemerintah dengan keengganan untuk membuka ruang partisipasi dengan berbagai alasan.
Musabab penanggulangan penolakan itu sejatinya tidak cukup hanya dengan upaya untuk menyatakan produk hukum yang dibuat adalah demi kebaikan, tapi perlu upaya lain yang dapat memberi jaminan keinginan publik untuk ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan terpenuhi. Perlu dipahami, kesepakatan akan aturan yang dibentuk tidak akan terjadi apabila proses pembentukan tidak memegang teguh prinsip kolaborasi yang menciptakan ruang dialog antar pemangku kepentingan. Termasuk dialog dengan mereka yang pasti terdampak dengan berlakunya UU ini.
Dalam hal ini, Pemerintah dan DPR hanya perlu menciptakan ruang dialog yang sifatnya bukan sosialisasi draf yang telah dibentuk. Tapi ruang tersebut adalah wadah untuk menampung aspirasi dan menerima masukkan publik yang kemudian perlu menjadi pedoman untuk melakukan perbaikan draf yang saat ini telah diserahkan ke DPR.