Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 18 Maret 2020 menerbitkan Putusan DKPP Nomor 317- PKE-DKPP/X/2019 yang pada pokoknya menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap terhadap Evi Novida Ginting Manik (Komisioner KPU RI), sanksi peringatan keras terakhir terhadap Komisoner KPU RI yang lain, dan sanksi peringatan terhadap masing-masing komisioner KPU Provinsi Kalimantan Barat. Adapun sebagai wujud tindak lanjut dari Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tersebut, Presiden RI telah resmi memberhentikan Evi Novida Ginting Manik dari jabatannya sebagai Komisioner KPU RI. Sikap Presiden RI ini termuat dalam Keputusan Presiden RI Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022. Keputusan Presiden ini dilampirkan dalam Surat Kementerian Sekretariat Negara RI bernomor B-III/Kemensetneg/D-3/AN.01.01/03/2020 yang ditujukan kepada Plt. Ketua DKPP RI (cnnindonesia.com).
Berdasarkan pertimbangan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 angka [4.3.3], Evi Novida Ginting Manik yang dalam perkara DKPP disebut sebagai Teradu VII dianggap melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu karena hal-hal yang pada pokoknya sebagai berikut (dkpp.go.id). Teradu VII sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu yang memiliki tanggung jawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya. Teradu VII menjabat Wakil Koordinator Wilayah untuk Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan Keputusan KPU Nomor 56/Kpts/KPU/Tahun 2017 tanggal 13 April 2017. Teradu VII berdasarkan Putusan DKPP Nomor 31- PKE-DKPP/III/2019 tanggal 10 Juli 2019 terbukti melanggar Kode Etik dan dijatuhi Sanksi Peringatan Keras serta diberhentikan dari Jabatan Ketua Divisi SDM, Organisasi, Diklat dan Litbang. Teradu VII dikarenakan berulang kali menerima sanksi etik berat dari sejumlah perkara, seharusnya mengambil pelajaran agar bekerja lebih profesional dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagai Penyelenggara Pemilu. Teradu VII merupakan leading sector dalam menyusun norma standar yang pasti dan berlaku secara nasional dalam menetapkan perolehan suara dan calon terpilih menindaklanjuti Putusan MK tanpa mengorbankan kemurnian suara rakyat yang menjadi tanggungjawab hukum dan etik Teradu VII sebagai penanggungjawab divisi.
Terlepas kebenaran dari sisi subtansi terkait persolan kode etik yang dikenakan terhadap penyelenggara pemilu dalam hal ini menurut Putusan DKPP Nomor 317- PKE-DKPP/X/2019, mengenai lembaga DKPP sebagai peradilan etik yang mampu memberhentikan komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) ini perlu menjadi catatan kita bersama. Karena bagaimanapun jika kita memahami konteks pengisian jabatan penyelenggara Pemilu, apakah itu KPU RI beserta jajarannya dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) beserta jajarannya, keduanya memilki konsekuensi dalam banyak hal.
Aspek yang bisa dikaji misalnya jika kita lihat Pasal 22 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017). Dalam pasal tersebut bisa ketahui bahwa ada tim seleksi yang membantu Presiden untuk mencari nama-nama yang terbaik untuk mengisi posisi KPU RI tersebut. Salah satu dampak yang jelas adalah dari sisi anggaran, baik itu kegiatan tersebut maupun juga pembiayaan terhadap masing-masing tim seleksi. Begitu juga buat jajaran hirarkis pada tingkatan di bawahnya apakah itu KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota yang sifatnya mutatis mutandis polanya dengan yang terjadi saat ini. Dengan demikian dapat kita bayangkan betapa besar uang negara yang sudah dikeluarkan untuk menghasilkan nama-nama di KPU RI dan Bawaslu RI begitu juga jajarannya yang juga pastinya berasal dari rakyat.
Pada pokoknya pandangan Penulis adalah tetap menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh Evi Novida Ginting yang bilamana berdasarkan Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 sudah jelas terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Namun demikian, Penulis tetap menyayangkan betapa banyak uang negara yang sudah dikeluarkan untuk ini dan tetap perlu solusi yang lebih baik untuk kedepannya.
Pasal 1 angka 7 UU No. 7 Tahun 2017 secara tegas menyatakan bahwa “Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat”. Dalam pasal tersebut terdapat frasa “satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu” yang menunjukkan peran pentingnya DKPP sebagai salah satu lembaga yang merupakan unsur dari ketiga lembaga penyelenggara Pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.
DKPP memiliki fungsi yang paling berbeda sesuai dengan perintah undang- undang, dalam UU No. 7 Tahun 2017, DKPP diatur sebagai suatu instansi permanen yang memiliki tugas untuk menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Penegakan pelanggaran etika di DKPP pun berbeda dengan lembaga penegak etik lainnya yang umumnya dilaksanakan secara tertutup. Persidangan DKPP dilaksanakan secara terbuka dan para pihak baik itu pengadu, teradu, dan pihak-pihak terkait lainnya dapat turut serta dalam mengawal persidangan DKPP dari awal hingga akhir.
Sebelum seperti saat ini, DKPP sebagai lembaga etik yang permanen dahulu adalah Dewan Kehormatan KPU atau DK-KPU namun peradilan etiknya hanya untuk KPU saja bentuk Dewan Kehormatan ini ad hoc sifatnya ketika menindaklanjuti adanya rekomendasi pelanggaran kode etik saja.
DKPP sebagai lembaga penegak kode etik kepemiluan pertama kali hadir dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (UU No. 15 Tahun 2011). Dalam undang-undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tersebut, DKPP hadir dengan niatan mulia untuk memperbaiki kualitas penyelenggara Pemilu. Ratio legis dibentuknya lembaga penegak kode etik kepemiluan yang bernama DKPP adalah sebagai wujud tindak lanjut dari Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang mana dalam pertimbangan putusannya berbunyi sebagai berikut “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas. Menilai bahwa keberadaaan DK-KPU tidaklah efektif dan sebagaimana Pendapat Mahkamah dalam Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 keberadaan Dewan Kehormatan yang bersifat permanen adalah penting, maka keberadaan DKPP adalah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar kembali”.
Pada tahun 2012 diwujudkanlah DKPP RI yang sejatinya sudah tercantum dalam UU No. 15 Tahun 2011. Salah satu hal yang menarik dari DKPP RI adalah bahwa sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 bersifat final dan mengikat. Kemudian, sanksinya diatur pada ayat (11) yakni teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap.
Terdapat hal yang menarik dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013. Menurut Majelis Hakim dalam Putusan MK tersebut, putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN. Apakah peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/ Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan kewenangan peradilan TUN.
Penulis menganalisis bahwa Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 telah memberikan implikasi yakni mengkoreksi kekuatan sifat final dan mengikat pada Putusan DKPP. Final dan mengikat Putusan DKPP tidak dapat disamakan dengan final dan mengikat dari lembaga peradilan, melainkan final dan mengikat yang setara dengan keputusan pejabat TUN. Dengan kata lain, level dari Putusan DKPP ini sejatinya adalah keputusan yang sebetulnya dapat menjadi objek dari TUN dalam PTUN.
Sayangnya dalam UU No. 7 Tahun 2017 jika kita melihat Pasal 458 ayat (13) UU No. 7 Tahun 2017 mengenai sifat putusan DKPP masih sama persis dengan Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 yang bersifat final dan mengikat. Seharusnya jika pembentuk undang- undang sudah menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, seharusnya terdapat hal yang berbeda dalam hal pengaturan DKPP di UU No. 7 Tahun 2017 terutama tekait dengan sifat putusan dan mekanisme bandingnya. Kenapa Penulis berpendapat terdapat mekanisme banding, karena menurut Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 kedudukan dari putusan DKPP adalah setingkat dengan Keputusan TUN yang berarti sehingga perlu ada tingkat selanjutnya bilamana ingin banding.
Prof. Sudikno Mertokusumo dalam tulisannya mengenai “Sistem Peradilan di Indonesia” menjelaskan mengapa terdapat tingkatan dalam sistem peradilan di Indonesia “Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding” (media.neliti.com). Oleh karenanya, jika saja dalam UU No. 7 Tahun 2017 dibuat norma yang menjalankan perintah Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, maka sejatinya Putusan DKPP Nomor 317-PKE- DKPP/X/2019 yang memberikan sanksi pemberhentian tetap terhadap komisioner KPU atas nama Evi Novida Ginting masih mempunyai cara maupun upaya untuk mencari keadilan yang seadil-adilnya.