Pada tanggal 26 Februari 2020 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 telah memberikan terobosan besar bagi pembenahan pengaturan kepemiluan kedepan. Dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tersebut, walaupun permohonan uji materi dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai pemohon pada akhirnya ditolak, namun MK memberikan sejumlah model keserentakan pemilihan umum (Pemilu). Terdapat 6 (enam) model keserentakan Pemilu yang dinilai konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Melalui Putusan ini sejatinya MK memberikan sejumlah alternatif keserentakan Pemilu yang selama ini sudah dimulai dalam rangka menjalankan Putusan MK No. 14/PUU- XI/2013.
Adanya Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 ini mengkonstruksi ulang pilihan-pilihan dalam menentukan keserentakan Pemilu, yang pada pokoknya pilihan Pemilu 5 (lima) kotak suara menjadi bukan satu-satunya pilihan. Semula pilihan Pemilu 5 kotak suara selalu mengacu pada dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang mana MK menjelaskan bahwa dari sisi original intent dan penafsiran sistematik, Pemilu harus dilaksanakan secara serentak dan terdapat 5 kotak suara. Argumentasi yang dibangun jikalau kita membaca Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tersebut adalah hal ini sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mana tercermin ketika membaca “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” dalam “satu tarikan nafas”.
Pilihan Pemilu dengan 5 kotak suara yang selama ini menjdi satu-satunya pilihan menurut Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 telah disempurnakan dengan adanya Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, dimana inti dari Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tetap dalam rangka penguatan sistem pemerintahan presidensial. Ketika tujuan utama yang ingin dicapai adalah penguatan sistem pemerintahan presidensial, MK kemudian pun terbuka untuk meninjau ulang ataupun menata ulang dalam penentuan keserentakan Pemilu anggota lembaga perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD).
MK sebagai the sole interpreting of constitution (penafsir konstitusi) memberikan suatu gagasan pemikiran yang besar dalam pertimbangan hukumnya, yakni menyatakan bahwa, “Peninjauan dan penataan demikian dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilihan umum dalam praktik sistem pemerintahan presidensial, yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat (yaitu DPR dan DPD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan demikian, baik secara doktriner maupun praktik, didasarkan pada basis argumentasi bahwa keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial”. Dengan demikian Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 dapat menjadi acuan utama dalam menata kembali keserentakan Pemilu kedepan.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 2017 termasuk salah satu judul RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 dan bahkan termasuk juga dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Keinginan untuk membenahi Pemilu ini sejalan dengan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang dalam pertimbangan hukum angka [3.16] membahasakan “penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya” dan selanjutnya dalam pertimbangan hukum angka [3.18] membahasakan “Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan di bagian akhir Paragraf [3.16]“. Dengan demikian proses penyusunan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 2017 perlu memperhatikan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan acuan keserentakan yang baru yakni keserentakan dalam memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini jelas berbeda dengan keserentakan Pemilu DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden yang diperkenalkan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013.
Hal menarik lainnya ketika melihat Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 adalah dari sejumlah pilihan model keserentakan Pemilu yang dijabarkan oleh MK, terdapat penggabungan antara Pemilu dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). Hal ini juga merupakan terobosan baru setelah sebelumnya terjadi pemisahan rezim Pemilu dan Pilkada (rezim Pemerintahan Daerah) melalui Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013.
Penggabungan Pilkada ke pengaturan Pemilu melalui Putusan MK No.55/PUU-XVII/2019 sejatinya merupakan jawaban akan problematika kedudukan Pilkada selama ini. Putusan MK No.55/PUU-XVII/2019 ini merupakan terobosan penting karena dahulu melalui Putusan Putusan MK No.072-73/PUU-II/2004, MK masih secara tidak langsung menggabungkan Pilkada ke rezim Pemilu. Walaupun memang setelah Putusan MK No. 072-73/PUU- II/2004 tersebut lahir sejumlah undang- undang yang bernafaskan penggabungan Pilkada ke rezim Pemilu seperti di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Namun demikian, ketika lahir Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 pemisahan rezim Pemilu dan Pilkada menjadi tegas kembali dan pada akhirnya baik Pemilu maupun Pilkada diatur dalam undang- undang yang berbeda.
Arah penggabungan Pemilu dan Pilkada dalam Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 sebetulnya sudah dapat dianalisis oleh penulis ketika MK beberapa waktu lalu mengeluarkan Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 untuk menjawab terkait persoalan nomenklatur, jumlah, dan status dari pengawas Pilkada di tingkatan Kabupaten/Kota. MK dalam Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa pengaturan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU No. 7 tahun 2017 terkait dengan nomenklatur, jumlah, dan status diadopsi kedalam UU Pilkada (UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana beberapa kali diubah terkahir dengan UU No. 10 Tahun 2016). Dari sisi tersebut dapat terlihat, arah kemungkinan Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 dan ternyata betul dalam salah satu pilihan model keserentakan Pemilu didalamnya terkandung penggabungan Pilkada dan Pemilu.
Hal yang juga menarik ketika membaca Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 adalah acuan keserentakan yang baru menurut MK yakni keserentakan dalam memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakil Presiden merupakan Pemilu Nasional yang sesuai dengan kerangka berfikir yang diajukan oleh Perludem sebagai pemohon dalam perkara ini. Adapun dalam rangka menindaklanjuti Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019, MK dalam
pertimbangan hukum nya telah memberikan rambu-rambu yakni:
1. Pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum.
2. Kemungkinan perubahan undang- undang terhadap pilihan model- model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan.
3. Pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.
4. Pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
5. Tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Perubahan pemikiran dan argumentasi hukum dalam putusan MK memang menarik untuk diikuti. Hukum memang selalu mengikuti perkembangan jamannya, dalam hal ini model keserantakan pemilu dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 ini nantinya akan ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang. Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 diharapkan menjadi jalan pembuka bagi pembenahan kepemiluan untuk mewujudkan demokrasi yang lebih berkualitas.