Pelibatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2020 memunculkan sejumlah problematika. Hal ini dikarenakan dalam pengaturan Pilkada yang diatur dengan UU No. 1 Tahun 2015 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa pengawasan Pilkada untuk di tingkatan kabupaten/kota dilaksanakan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwas) Kabupaten/Kota. Kedua penyelenggara ini memang berbeda bilamana dilihat dari sisi masing-masing undang-undangnya. Perbedaan ini muncul karena dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017) untuk tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota bukan Panwas Kabupaten/Kota. Banyak pihak termasuk dalam hal ini Bawaslu RI sendiri (bawaslu.go.id) merasa pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota telah selesai ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019 (Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019) yang terbit belum lama ini di tanggal 29 Januari 2020, namun demikian apakah problematika pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 telah selesai?
Amar Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 sebagaimana terlampir adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “Panwas Kabupaten/Kota” dalam Pasal 1 angka 17; Pasal 1 angka 18; Pasal 5 ayat (2) huruf e; Pasal 22A ayat (1); Pasal 22A ayat (3); Pasal 22B huruf e; Pasal 22B huruf f; Pasal 22B huruf h; Pasal 22B huruf j; Pasal 22D; Pasal 23 ayat (1); Pasal 23 ayat (2); Pasal 24 ayat (3); Pasal 25 ayat (2); Pasal 30; Pasal 32; Pasal 34 huruf b; Pasal 34 huruf c; Pasal 34 huruf d; Pasal 82 ayat (5); Pasal 83; Pasal 104 ayat (11); Pasal 105 ayat (1); Pasal 105 ayat (7); Pasal 110 ayat (1); Pasal 110 ayat (3); Pasal 119 ayat (1); Pasal 119 ayat (2); Pasal 134 ayat (1); Pasal 134 ayat (5); Pasal 134 ayat (6); Pasal 135 ayat (2); Pasal 141; Pasal 144 ayat (1); Pasal 144 ayat (2); Pasal 144 ayat (3); Pasal 146 ayat (1); Pasal 146 ayat (3); Pasal 152 ayat (1); Pasal 152 ayat (2); Pasal 154 ayat (1); Pasal 154 ayat (2); Pasal 193 ayat (1); Pasal 193 ayat (2); Pasal 193B ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Bawaslu Kabupaten/Kota”;
3. Menyatakan frasa “masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang” dalam Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentangPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sama dengan jumlah anggota Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109);
4. Menyatakan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dengan adanya Putusan MK No.48/PUU-XVII/2019 ini, pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 menjadi lebih berdasar setelah sebelumnya pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 hanya didasarkan pada peraturan kebijakan (beleidsregel) berupa surat edaran, yakni Surat Edaran Nomor 0410/K.Bawaslu/HK.05/XI/2019 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Serta Walikota Dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh para pemohon atas nama Surya Efitrimen (Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat), Nursari (Ketua Bawaslu Kota Makassar), dan Sulung Muna Rimbawan (Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo) bisa dianggap sebagai solusi praktis untuk saat ini mengingat sifat putusan MK sendiri yang seketika berlaku sesuai Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika kita mencermati secara seksama, sejatinya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 dapat diketahui bahwa putusan tersebut hanya menyelesaikan untuk 3 (tiga) hal saja yakni: Nomenklatur (penyebutan) Panwas Kabupaten/Kota menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, jumlah pengawas di tingkatan Kabupaten/Kota yang disesuaikan dengan UU No. 7 Tahun 2017 , dan status pengawas yang semula bersifat ad hoc (sementara) menjadi bersifat permanen/tetap sebagaimana UU No. 7 Tahun 2017. Namun demikian, bagaimana dengan hal yang lebih penting yakni terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada 2020 ini, apakah sama seperti halnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu)?
Sebagaimana kita ketahui berdasarkan Putusan MK No. 48/PUU- XVII/2019 terkait persoalan nomenklatur, jumlah, dan status dari pengawas Pilkada di tingkatan Kabupaten/Kota telah terselesaikan. Putusan ini memang menyelesaikan persoalan utama untuk sementara, yakni terkait dengan keraguan daerah dalam hal pencairan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Hal ini dikarenakan bilamana menggunakan Panwas Kabupaten/Kota untuk pengawasan Pilkada 2020 maka perlu dilakukan perekrutan baru pengawas yang membutuhkan anggaran yang jumlahnya tidak sedikit. Perekrutan Panwas Kabupaten/Kota untuk Pilkada 2020 memang bisa dianggap kontraproduktif jika dilihat dari sisi ketika untuk kebutuhan Pemilu 2019 yang lalu telah dibentuk Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat permanen dengan masa kerja 5 (lima) tahun. Kondisi ini menjadi semakin rumit karena tahapan Pilkada sudah berjalan dengan puncaknya pemungutan suara pada tanggal 23 September 2020, namun hingga kini belum ada revisi terbaru dari UU No. 1 Tahun 2015, baik dalam UU Pilkada yang baru maupun dalam bentuk revisi ketiga UU UU No. 1 Tahun 2015 untuk mengharmoniskan pengaturan Pilkada dengan pengaturan Pemilu.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 tidak menyelesaikan masalah yang teramat penting terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban. Hal ini dikarenakan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Panwas Kabupaten/Kota dalam UU No. 1 Tahun 2015 dan perubahan-perubahannya berbeda dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota dalam UU No. 7 Tahun 2017. Perbedaan ini muncul karena memang kelembagaan penyelenggara Pemilu termasuk didalamnya Bawaslu RI beserta jajarannya (termasuk pengawas di tingkatan Kabupaten/Kota) mendapatkan sejumlah penguatan guna menghadapi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.
Dalam UU No. 7 Tahun 2017, pengawas Kabupaten/Kota statusnya menjadi permanen dari sebelumnya hanya bersifat sementara (pengawas Pemilu yang permanen selama ini hanya ada di tingkat pusat dan provinsi). Jumlah pengawas pun mengalami perubahan menjadi lebih banyak dari sebelumnya yang umumnya hanya berjumlah 3 (tiga) orang saja. Namun bukan hanya itu saja yang diperkuat, terkait dengan tugas, wewenang, ataupun kewajiban, lembaga pengawas pun diperkuat, dengan demikian nomenklatur dari pengawas kabupaten/kota yang biasanya bernama Panwas Kabupaten/Kota berubah menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota.
Penguatan kelembagaan pengawas ini pun tercermin dalam hal perekrutannya, oleh karena itu terdapat perbedaan antara syarat merekrut Bawaslu Kabupaten/Kota bilamana dibandingkan dengan syarat merekrut Panwas Kabupaten/Kota. Karena lebih berat dan lebih selektif dalam merekrut pengawas yang bersifat permanen akibatnya lembaga tersebut diperkuat.
Solusi yang terbaik jika ingin menyelesaikan problematika yang muncul dari perbedaan pengawas di versi Pilkada dan versi Pemilu, adalah melalui revisi UU Pilkada. Revisi ini penting karena ketika MK memutuskan sebagaimana tertuang dalam Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019, secara tidak langsung menimbulkan benturan pemahaman. Bagaimana mungkin Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 mengaitkan UU No. 7 Tahun 2017 yang mengatur mengenai Pemilu kedalam pengaturan Pilkada? Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013 secara tegas MK menyatakan bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu. Pemisahan rezim tersebutlah yang kemudian menjadi pijakan bagi pembentuk undang-undang yang pada akhirnya menerbitkan undang-undang yang berbeda. Ketika MK mengeluarkan Putusan MK No. 48/PUU- XVII/2019, maka pertanyaanya kemudian apakah Pilkada kembali dianggap sebagai rezim Pemilu? Karena hal ini akan menimbulkan banyak perdebatan akibat sejatinya landasan Pilkada hanyalah Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019 ini memang bagi Bawaslu RI beserta jajarannya bisa diibaratkan seperti “oase di tengah padang pasir”, namun banyak hal yang tidak selesai dengan hanya terbitnya Putusan MK No. 48/PUU-XVII/2019. Sejumlah problematika yang ada terkait dengan pelibatan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pilkada hanya dapat diselesaikan melalui revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015, apalagi Pilkada 2020 ini merupakan Pilkada serentak terakhir yang dilakukan secara bertahap sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional di bulan November tahun 2024 sebagaimana amanat Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016. Terkait dengan Pilkada serentak nasional 2024 juga, kita masih memiliki 1 (satu) kewajiban besar yang juga sangat penting untuk segera diwujudkan, yakni membentuk badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan Pilkada serentak nasional 2024, hal ini sesuai dengan pengaturan Pasal 157 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016.
Urgensi penting lainnya yang menjadi alasan perlunya segera terwujudnya revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015 yang selaras dengan pengaturan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dimana salah satu materi muatan dari undang-undang adalah tindak lanjut dari Putusan MK. Pengaturan ini pula sejatinya berkesesuaian dengan sistem hukum yang kita anut yakni civil law, dimana peraturan perundang-undangan menjadi yang utama daripada putusan pengadilan. Bahkan jikalau dihitung-hitung, sejak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2016, terdapat 6 (enam) Putusan MK yang dikabulkan, yakni Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016, Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019, Putusan MK Nomor 48/PUU-XVII/2019, dan Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. Dengan demikian, begitu penting segera dibentuk revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015, apalagi kebutuhannya untuk Pilkada 2020.
Banyak isu lainnya dalam Pilkada yang juga perlu dijawab dan hanya dapat terjawab dengan revisi undang-undang. Seperti misalnya ketika ingin menerapkan penghitungan elektronik untuk menghitung suara dalam Pilkada (e-rekap) agar tidak terulang kembali banyaknya korban dalam penghitungan suara di Pemilu 2019 yang lalu. Ataupun misalnya terkait dengan penggunaan surat keterangan pengganti KTP yang mengacu ke Pasal 200A ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 dan hanya berlaku sampai dengan bulan Desember 2018. Lalu ketika norma ini masih hidup, bagaimana mungkin memberlakukan surat keterangan pengganti KTP untuk Pilkada di tahun 2020? Sejumlah persoalan hukum tersebut jelas merupakan “bom waktu” yang suatu saat nanti akan menjadi masalah dan ketika beragam persoalan itu muncul, jelas orang mengadu kepada Bawaslu RI beserta jajarannya. Namun demikian, hal tersebut kembali kepada “political will” dari DPR dan Pemerintah walaupun revisi ketiga UU No. 1 Tahun 2015 masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020- 2024.
Achmadudin Rajab (enaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu