Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman di Indonesia kembali diuji kelayakan martabatnya sebagai penjaga konstitusi, terkait dengan kembali adanya kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua MK yaitu Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. Hakim Konstitusi yang baru saja terpilih kembali menjadi Ketua MK untuk periode selanjutnya ini dinyatakan melanggar kode etik untuk kedua kalinya oleh Dewan Etik MK. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor: 18/Lap- V/BAP/DE/2018, mengenai laporan adanya pertemuan antara Ketua MK dengan Anggota Komisi III DPR di Hotel Midplaza tanpa adanya surat resmi (hanya melalui telepon). Dalam pertemuan tersebut disinyalir telah dilakukan lobi-lobi politik berkaitan dengan pengangkatan dirinya kembali menjadi Ketua MK. Dalam Berita Acara tersebut Arief Hidayat diputuskan bersalah atas pelanggaran ringan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dengan sanksi berupa teguran lisan. Sebelumnya pada tahun 2016, Arief Hidayat juga pernah dijatuhi sanksi teguran lisan atas pelanggaran kode etik berkaitan dengan kasus tersebarnya Memo Katebelece/Surat Pengantar di media yang berisi “menitipkan” kerabatnya (yang seorang Jaksa Pratama di Kejaksaan Tinggi Trenggalek) kepada Jaksa Agung Muda di Kejaksaan Agung, sebagaimana tertulis dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik Hakim Konstitusi Nomor: 13/Info-III/BAP/DE/2016. Kasus pelanggaran kode etik yang telah dilakukan Ketua MK sebanyak 2 (dua) kali selama menjabat tersebut mendapatkan respon keras dari kelompok masyarakat yang menyayangkan ringannya sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tersebut, dan meminta Ketua MK untuk mundur dari jabatannya. Respon keras terhadap kasus Arief Hidayat ini tidak hanya datang dari pihak di luar MK saja, tetapi juga dari pihak di dalam MK itu sendiri. Abdul Ghoffar, seorang Staf Peneliti MK menulis artikel di harian cetak Kompas pada 25 Januari 2018 yang berjudul “Ketua Tanpa Marwah” berisikan kritik terhadap Arief Hidayat selaku Ketua MK yang tidak juga mundur dari jabatannya meskipun telah diberikan sanksi etik sebanyak 2 (dua) kali. Tidak lama setelah tulisan tersebut dipublikasikan, Abdul Ghoffar kemudian melaporkan Arief Hidayat kepada Dewan Etik MK karena adanya pernyataan Arief Hidayat terkait dirinya yang dinilai tidak benar, yang diduga sebagai respon dari adanya tulisan tersebut. Karena melakukan pelaporan atas Arief Hidayat tanpa memperhatikan perintah atasan untuk tidak terburu-buru melaporkan hal tersebut ke Dewan Etik MK (Kompas, “Dibebastugaskan, Pegawai MK Pelapor Arief Hidayat ke Dewan Etik,”http://nasional.kompas.com/ read/2018/02/01/19443281/dibebastugask an-pegawai-mk-pelapor-arief-hidayat-ke- dewan-etik, diakses pada 17 Februari 2018), Abdul Ghoffar kemudian dikenai penegakan kode etik pegawai MK dan peraturan disiplin PNS karena dianggap tidak melaksanakan kewajiban sebagai PNS dalam melaksanakan tugas kedinasan.
Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang tunduk pada perintah Undang-Undang, dan dipilih karena memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil dan sosok negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 jo Pasal 15 UU MK). Untuk memastikan nilai integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan kenegarawanan tetap terjaga, Hakim konstitusi menaati Kode etik dan pedoman (Pasal 27B ayat (3) UU MK) yang bersumber pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 atau “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence). Nilai-nilai lainnya yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, turut digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku Hakim Konstitusi. Hal ini guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai Hakim Konstitusi. Prinsip-prinsip ini tertuang dalam Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi atau Sapta Karsa Hutama (Peraturan MK 09/2006), di mana untuk menjaga keberlangsungan prinsip-prinsip tersebut dibentuklah Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (Peraturan MK 02/2014) dan Dewan Etik (Pasal 21 ayat (2) PMK 02/2014) yang bertugas memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi terhadap Kode Etik Hakim Konstitusi.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Arief Hidayat selama menjabat sebagai Ketua MK telah 2 (dua) kali dijatuhi sanksi ringan berupa teguran lisan. Kode Etik Hakim Konstitusi mengatur bahwa jika telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali maka hal tersebut termasuk ke dalam pelanggaran berat (Pasal 32 Peraturan MK 2/2014). Dengan demikian jika Arief Hidayat melakukan 1 (satu) kali lagi pelanggaran etik yang dihukum dengan sanksi teguran lisan, maka dirinya dianggap melakukan pelanggaran berat yang hukumannya adalah dibebastugaskan dari jabatannya. Dalam
Kedua hukuman atas pelanggaran etik yang dilakukan Arief Hidayat sudah dijalankan sesuai dengan peraturan kode etik yang ada di MK, dan konsekuensi diberikannya sanksi etik ringan berupa teguran lisan tidak berujung kepada pemberhentian atau pengunduran diri dari jabatan. Dengan demikian tidak serta merta menyebabkan Arief Hidayat menjadi diberhentikan atau harus mundur dari jabatannya tersebut. Pilihan untuk mundur dari jabatannya dalam kasus ini merupakan hak pribadi dari pengemban jabatan itu sendiri, karena berdasarkan peraturan tidak dihukum dengan pemberhentian, dan pihak luar atau masyarakat pun tidak dapat memaksakan Arief Hidayat untuk mundur dari jabatannya dengan alasan ‘tidak etis’. Alasan ‘tidak etis’ tersebut hanya dapat digunakan atas pilihan pribadi dari Arief Hidayat itu sendiri, yang jika benar-benar berprofesi dengan berpedoman pada prinsip Integritas dalam Sapta Karsa Hutama MK, pasti ada ‘rasa malu’ atas pelanggaran yang telah dilakukannya, karena tidak hanya telah mencoreng namanya sendiri tetapi juga mencoreng wibawa MK sebagai institusi. Melihat pada kasus serupa yang pernah ada sebelumnya, yaitu pada tahun 2011 di mana Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mengundurkan diri setelah mendapatkan sanksi teguran lisan, dengan alasan memilih mundur demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus kepercayaan publik terhadap MK. Pengunduran diri yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi Arsayad Sanusi dilakukan atas kemauannya sendiri, berdasarkan pada rasa malu, kejujuran, keteladaan dan amanah dari pribadi diri masing-masing Hakim Konstitusi.
Berdasarkan kasus pelanggaran etik
Aspek Etika dalam Kebebasan Berpendapat Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat yang dijamin di dalam Pasal 23E ayat (3) UUD 1945, tetapi dalam kebebasan yang dijamin tersebut tetap ada batasan-batasan yang mengatur, salah satunya adalah aspek etika. Mengenai ditulisnya artikel di harian cetak Kompas pada 25 Januari 2018 berjudul “Ketua Tanpa Marwah” oleh staf Peneliti MK Abdul Ghoffar, hal tersebut merupakan hak pribadi Abdul Ghoffar sebagai seorang warga negara Indonesia untuk menyuarakan pendapatnya. Hanya saja dalam kasus ini, penulisan kritik terhadap perilaku negatif Ketua MK tersebut tidak lain adalah atasannya dan dilakukan kepada publik melalui media massa. Sebagai bagian dari institusi yang sama, meskipun hal yang disampaikan tersebut diuraikan senyata-nyata dan sejujur-jujurnya dan dengan tujuan yang baik, tetapi harus tetap mempertimbangkan aspek etis atau tidak etis. Seorang pegawai yang mengkritisi
Dalam perkembangan kasusnya, Abdul Ghoffar mendapatkan sanksi penegakan kode etik pegawai MK dan peraturan disiplin PNS karena melaporkan Arief Hidayat kepada Dewan Etik MK, pelaporan tersebut dianggap sebagai tindakan yang “tidak melaksanakan kewajiban sebagai PNS dalam melaksanaka tugas kedinasan”. Melaporkan adanya suatu hal yang dianggap sebagai pelanggaran etik merupakan hak pribadi dari Abdul Ghoffar selaku orang yang dalam hal ini merasa dirugikan, meskipun penyebab dari adanya laporan tersebut adalah perbuatan tidak etis yang dilakukannya sendiri. Sehingga dasar atau alasan penjatuhan sanksi etik pegawai MK dan peraturan disiplin PNS kepada Abdul Ghoffar tersebut dapat dipertanyakan.
Hakim Konstitusi sebagai seorang Negarawan mengemban tugas mulia yang sangat berat karena menjadi wajah dari MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, citra peradilan dan kepercayaan masyarakat menjadi harga mahal yang dipegang oleh MK. Seorang Hakim Konstitusi sudah seharusnya bebas dari cela sekecil apapun, tetapi dalam hal telah dihukum atas pelanggaran etik tidak serta merta dapat
Rahma Fitri (CPNS Analis Hukum di Badan Pembinaan Hukum Nasional)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu