Katalonia, salah satu provinsi di Spanyol, pada tanggal 1 Oktober 2017 menyelenggarakan referendum. Isi referendum berupa pertanyaan kepada warga Katalan mengenai persetujuannya atas tuntutan merdeka dari Spanyol. Hasilnya, lebih dari 90% suara menyetujui pemisahan Katalan dari Spanyol dan membentuk negara baru. Namun, hasil ini dipertanyakan sebab setengah dari orang Katalan yang memiliki hak pilih tidak memberikan suaranya dalam referendum. Selain itu, juga ada persoalan administratif lainnya seperti validitas data pemilih dan ketiadaan pihak pengawas dalam pemilihan.
Terlepas dari persoalan tersebut, para tokoh politik yang mendorong kemerdekaan Katalan ternyata dalam posisi bimbang. Langkah politik
Seminggu sebelum referendum Katalonia, pada tanggal 25 September 2017, sebuah provinsi di ujung utara Irak yang bernama Kurdistan juga menyelenggarakan referendum. Inisiatif untuk menggelar referendum di daerah yang didiami oleh mayoritas suku Kurdi memicu kekhawatiran di negara-negara tetangga yang berdekatan dan memiliki populasi minoritas suku Kurdi, seperti Turki dan Iran. Karena kemenangan referendum akan memicu warga minoritas Kurdi di negara tersebut untuk melakukan hal yang sama. Tidak seperti Katalan, animo warga Kurdistan yang hadir di tempat pemungutan suara sangat
Perdebatan mengenai referendum juga sedang menghantui perpolitikan Inggris Raya setelah keputusan meninggalkan Uni Eropa atau populer dikenal dengan Brexit. Dalam referendum yang digelar pada
Perjuangan untuk tetap berada dalam Uni Eropa merupakan jualan politik dari partai yang berkuasa di Skotlandia saat ini, Scottish National Party (SNP). Ketua Umum partai SNP yang menduduki jabatan sebagai perdana menteri Skotlandia mulai menyuarakan untuk gelaran referendum agar Skotlandia tetap berada di Uni Eropa. Hal ini, secara tidak langsung, sekaligus menyuarakan agar Skotlandia melepaskan diri dari Inggris Raya. SNP menyebut perjuangan politiknya saat ini sebagai referendum kedua (second referendum). Pada tahun 2014, Skotlandia pernah menggelar referendum yang berisi meminta pendapat warga Skotlandia untuk berpisah dari Inggris Raya. Namun, mayoritas warga Skotlandia sebanyak 55% menyatakan bahwa Skotlandia harus tetap berada bersama Inggris Raya. Dengan adanya brexit, partai SNP melihat kemungkinan kedua untuk upaya memisahkan diri dari Inggris. Perkembangan politik yang menarik untuk dipantau secara ketatanegaraan dari Inggris Raya.
Dalam tiga dekade terakhir, peristiwa gelaran referendum banyak mewarnai politik internasional. Di belahan bumi Eropa, ada negara- negara pecahan Yugoslavia yang kemudian membentuk negara sendiri- sendiri. Serbia dan Montenegro, awalnya merupakan satu negara pecahan Yugoslavia, namun pada 2006 Montenegro menyelenggarakan referendum dan memisahkan diri. Kosovo, sebagai salah satu wilayah yang berada dalam negara Serbia, pada tahun 2008 menggelar referendum dan menyatakan diri sebagai negara merdeka. Agak jauh ke belakang, Republik Czekoslovakia terbagi dua menjadi Republik Czeko dan Slovakia setelah sebuah gelaran referendum pada September 1992. Di Afrika, contohnya terjadi pada negara Sudan. Pada tahun 2011, setelah menyelenggarakan referendum yang mendapatkan dukungan dari hampir
Dari beberapa contoh di atas, ada negara-negara yang berhasil menjadi negara merdeka setelah melalui referendum namun tidak sedikit juga nasibnya menjadi terkatung-katung. Ada negara yang secara de facto merupakan negara independen namun pemerintahannya tetap bergantung pada negara lain atau pada bantuan organisasi internasional.
Posisi hukum, terlebih hukum internasional, dalam kasus-kasus referendum semacam ini juga tidak memberi batasan yang jelas. Hal ini tidak lebih dikarenakan nuansa politik dalam negeri yang sangat dominan dan kental. Hukum Internasional bekerja dalam dasar prinsip penghormatan atas kedaulatan negara. Hukum internasional tidak bisa secara serta merta campur tangan dalam urusan dalam negeri yang dapat berarti melanggar prinsip kedaulatan negara. Selain itu, pengadilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ) memiliki yurisdiksi yang terbatas, yaitu hanya “negara” yang bisa menjadi pihak di pengadilan. Pihak yang menggelar referendum dan ingin
Namun, bukan berarti tidak ada. Beberapa pengadilan, baik dalam tingkat domestik maupun internasional, terlibat dalam narasi pembentukan hukum mengenai upaya pemisahan diri dari sebuah negara. Meski tidak secara gamblang namun perkembangan hukum mengenai pengaturan upaya pemisahan diri berkembang dalam ratio decidendi yang diberikan oleh majelis hakim untuk memberi gambaran yang lebih konkret. Pada tingkat domestik ada putusan Mahkamah Agung Kanada dalam kasus Reference re Secession of Quebec (1998) yang menjadi milestone dalam mencari batasan mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination). Sedangkan dalam level internasional putusan- putusan advisory opinion yang diberikan ICJ kerap menjadi rujukan, terutama dalam kasus Kosovo unilateral declaration of independence (2010).
Hukum internasional tidak mencantumkan provisi mengenai hak untuk memisahkan diri (right to secede). Tidak ada satu klausula pun dalam kovenan yang mengatur mengenai hal ini. Akan tetapi, Piagam PBB menyebutkan bahwa setiap orang maupun kelompok memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination). Dalam konteks ini, putusan MA Kanada dalam kasus Quebec menjadi sangat penting. Dalam putusan tersebut, majelis hakim mempertimbangkan lingkup dari hak untuk menentukan nasib sendiri yang bisa dibagi menjadi lingkup internal dan eksternal. Lingkup internal adalah bilamana kelompok masyarakat terwakili hak-hak politik, ekonomi,
Advisory opinion yang dikeluarkan ICJ juga dalam banyak hal membentuk hukum mengenai persoalan pemisahan diri kelompok masyarakat dari sebuah negara berdaulat. Misalnya dalam kasus Legal Consequences for States of the Continued Presence of South Africa in Namibia (South West Africa) Notwithstanding Security Council
Maraknya referendum untuk merdeka setidaknya menunjukkan ada ketimpangan perlakuan politik dari pemerintah pusat terhadap wilayah di daerahnya. Ketimpangan ini berakibat pada pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi daerah tersebut. Akan tetapi, referendum juga bisa dipicu oleh agenda politik kepentingan elit lokal untuk menunjukkan eksistensinya. Dorongan ini bisa sangat membahayakan. Contoh-contoh daerah yang memisahkan diri kerap menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Ketika memutuskan untuk memisahkan diri, daerah tersebut malah menjadi tertinggal. Sudan Selatan, Eritrea, dan Kosovo adalah menjadi beberapa contoh diantaranya. “Merdeka” menjadi sebuah mimpi di tengah hari. Karena terlepas dari okupasi masih harus terjerat dalam bentuk penjajahan lainnya. Ironisnya, bila pengekang
Dalam sebuah novel satir, Animal Farms, George Orwell menggambarkan mengenai arti kemerdekaan sejati dalam pertarungan politik. Para hewan di peternakan merasa merdeka setelah terbebas dari kekangan petani pemilik peternakan. Sekelompok elit, yang dilukiskan dalam wujud hewan babi, dengan kepandaian yang dimilikinya memanfaatkan momentum tersebut demi keuntungan dan kepentingan kelompoknya semata. Paling tidak, sekelumit kisah ini membantu untuk refleksi di tengah kerumitan politik dalam fenomena referendum untuk merdeka yang menjadi pusat perbincangan saat ini. Dalam negara modern saat ini, alasan untuk merdeka dari penjajahan/kolonialisme tidak lagi sesuai. Keinginan untuk menggunakan hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) tidak melulu harus datang dari dorongan emosional tetapi juga menuntut kalkulasi rasional yang matang.
Bisariyadi (Peneliti pada Pusat Penellitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan TIK (Pusat P4TIK), Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu