Pasal yang diuji dan dibatalkan dalam perkara Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-XIV/2016, selengkapnya adalah mengenai Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang berketentuan sebagai berikut: “Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a. menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”. Sejatinya norma yang digugat ini merupakan salah satu norma dalam Bab IV mengenai Penyelenggara Pemilihan, Bagian Kedua tentang Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum, yang mengatur mengenai tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Adapun dalam Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan Pilkada, KPU memiliki salah satu tugas dan wewenangnya adalah menyusun dan menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan pedoman teknis dengan senantiasa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan daerah dan Pemerintah selaku pembentuk undang- undang dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.
Ketika MK dalam amar putusannya tersebut menyatakan bahwa Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 sepanjang frasa “... yang keputusannya bersifat mengikat” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, lalu apakah putusan MK ini berhenti hanya pada Pasal 9 huruf a ini saja? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, dalam pasal di konstitusi tersebut dinyatakan bahwa suatu komisi pemilihan umum disebutkan dalam huruf kecil bukan huruf kapital sehingga bukanlah merujuk pada nama lembaga, dalam hal ini tidak dapat secara langsung diasosiasikan dengan KPU.
Hal ini didasarkan atas Pendapat Mahakamah Konstitusi dalam Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu terhadap UUD NRI 1945 yang diajukan oleh Nur Hidayat Sardini,S.Sos, M.Si., Wahidah Suaib, S.Ag, M.Si., SF. Agustiani Tio Fridelina Sitorus, S.E., Bambang Eka Cahya Widodo,S.IP, M.Si. Wirdyaningsih, SH,
Pemohon dalam perkara MK No. 92/PUU-XIV/2016 yakni Ketua dan Anggota KPU RI Periode 2012-2017 ini menggugat frasa “...setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” bukan hanya sepanjang frasa “... yang keputusannya bersifat mengikat” sebagaimana yang dikabulkan oleh MK dalam Putusan No. 92/PUU-XIV/2016, oleh karena itu pula poin pertama amar putusan MK tersebut berbunyi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Mengapa demikian? karena petitum sepanjang frasa yang diminta oleh Ketua dan Anggota KPU RI tersebut adalah keinginan untuk meniadakan proses konsultasi kepada pembentuk UU (baik DPR maupun Pemerintah) sama sekali. Pemohon beranggapan konsultasi yang dilakukan (bukan hanya terkait frasa “... yang keputusannya bersifat mengikat”) adalah bertentangan dengan independensi penyelenggara Pemilu. Namun kali ini saya tidak mencoba untuk membahas kembali mengenai substansi apakah konsultasi ini mengganggu independensi atau tidak, Saya kali ini lebih fokus di implikasi putusan ini dan disharmoninya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3).
Sebagaimana diketahui bahwa UU MD3 adalah UU yang mengatur mengenai lembaga parlemen baik itu MPR, DPR, DPD, dan DPRD termasuk tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut lagi secara tegas pula terkait DPR (lebih khusus lagi Komisi II) yang mempunyai mitra penyelenggara Pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP memiliki aturan di Pasal 74 ayat
“(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
Ketika MK melalui putusannya No. 92/PUU-XIV/2016 hanya menyatakan bahwa sepanjang frasa “... yang keputusannya bersifat mengikat” dinyatakan bertentangan maka sejatinya hal ini sama saja tetap melestarikan konsultasi penyelenggara Pemiu kepada DPR namun sifat keputusan konsultasi itu saja yang tidak lagi mengikat, dan hal ini sejatinya sama saja seperti norma asli mengenai konsultasi yang serupa diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (misalnya salah satunya di dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2011). Pasal ini pula sebenarnya adalah perbaikan dari UU No. 22 Tahun 2007 (UU Penyelenggara Pemilu sebelumnya) yang mana membebaskan sama sekali penyelenggara Pemilu membuat peraturannya tanpa konsultasi.
Karena banyaknya peraturan yang tidak selaras dengan UU di atasnya, dan hal ini tidak sejalan dengan UU mengenai pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan begitu juga semangat pembentuk UU dalam menyusun UU tersebut, maka di UU No. 15 Tahun 2011 dibuat langkah positif agar pelanggaran-pelanggaran itu tidak terjadi lagi yakni dengan mewajibkan adanya konsultasi. Apa yang ada di UU No. 10 Tahun 2016 sejatinya hanya memoles dan menyempurnakan saja karena ternyata norma yang ada di UU No. 15 Tahun 2011 belumlah efektif karena penyelenggara Pemilu hanya menganggap hal ini secara formalistik biasa dan konsultasi dimaksud pun dimaknakan tidak mengikat bagi mereka. Oleh karena itu , kali ini pembentuk UU dalam UU No. 10 Tahun 2016 menyempurnakan pernormaan terkait hal tersebut dengan melekatkan kalimat “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat” yang selaras pula dengan maksud dari pembentuk UU sebelumnya dalam merumuskan UU No. 15 Tahun 2011. Adapun hal ini pula sejatinya pembentuk UU hanyalah menggunakan filosofi yang nyata diatur dalam UU MD3 sebagaimana diulas sebelumnya yakni yang diatur di Pasal 74 dan Pasal 98.
Adapun ketika pada akhirnya Putusan MK No. 92/PUU-XIV/2016 mengembalikan ke posisi seperti UU No.
Putusan MK No. 92/PUU-XIV/2016 membawa implikasi yang banyak, pertama hal ini ada kaitannya dengan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang saat ini dibahas dan juga sedang diikuti oleh Penulis selaku legal drafternya. Hal ini dikarenakan RUU ini menggabungkan 3 UU yakni UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, juga UU Penyelenggara Pemilu. Sehingga implikasi mengenai norma kewajiban berkonsultasi pastinya mau tidak mau menyesuaikan dengan perkembangan dalam Putusan MK ini. Kedua, hal yang juga tidak tertutup kemungkinannya adalah revisi ketiga bagi UU Pilkada karena dengan adanya putusan MK ini maka menambah pula alasan untuk merevisi selain implikasi putusan MK lainnya yakni No. 54/PUU-XIV/2016 tekait bagi pencalonan bagi calon perseorangan dalam Pilkada.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu