Mekanisme pencalonan bagi calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah selalu berganti-ganti, mulai dari Putusan Mahkamah Konsititusi No. 5/PUU-V/2007 hingga yang paling akhir Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016. Putusan MK yang terakhir diajukan oleh sejumlah Pemohon yakni Perkumpulan Teman Ahok, Gerakan Nasional Calon Independen (GNICI), Perkumpulan Kebangkitan Indonesia Baru (PKIB), Tsamara Amany, dan Ning Darol Mahmada telah membawa implikasi tersendiri bagi mekanisme pencalonan calon perseorangan dalam Pilkada.
AMAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XIV/2016
Amar pokok putusan MK No. 54/PUU-XIV/20161 adalah sebagai berikut:
Dengan adanya putusan MK ini walaupun yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hanya frasa- frasa atau kata tertentu saja, namun implikasinya begitu besar. Berikut ini kita bahas lebih lanjut mengenai implikasi dari Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016 ini.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XIV/2016 KONTRA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XIII/2015
Mengapa sub-bab ini Penulis nyatakan Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016 adalah kontra dengan Putusan MK No. 60/PUU- XIII/2015? Putusan MK No. 54/PUU- XIV/2016 yang dibacakan pada tanggal 14 Juni 2017 menujukkan ketidakonsistensian jalan pikiran para hakim MK dalam
Alhasil dikarenakan dalam rangka menjalankan amanat putusan MK tersebut, dalam UU No. 10 Tahun 2016 yang merupakan perubahan kedua dari UU No. 1 Tahun 2015 (UU Pilkada), dan juga merupakan revisi dari UU No. 8 Tahun 2015, maka norma dimaksud telah diubah menjadi sebagai berikut: “Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen)”. Adapun pertimbangan mengapa revisi ini sesegera mungkin dieksekusi dalam perubahan kedua UU Pilkada tersebut dikarenakan dalam pertimbangan hukum alinea terakhir dari dalam Putusan MK No. 60/PUU-XIII/2015 ini, Mahkamah menyatakan: “Bahwa mengingat tahapan- tahapan pemilihan kepala daerah telah berjalan, sementara putusan Mahkamah tidak berlaku surut (non-retroactive), agar tidak menimbulkan kerancuan penafsiran maka Mahkamah penting menegaskan bahwa putusan ini berlaku untuk pemilihan kepala daerah serentak setelah pemilihan kepala daerah serentak Tahun 2015”. Sehingga putusan ini termasuk salah satu putusan yang wajib eksekusi segera dan telah diterapkan sebagai norma baru dalam Pilkada Tahun 2017 yang lalu.
Dasar pembentuk undang-undang (penulis merupakan legal drafter di setiap UU Pilkada baik itu UU No. 8 Tahun 2015
IMPLIKASI HILANGNYA KATA “TIDAK” DALAM PASAL 48 AYAT (9) UU No. 54/PUU-XIV/2016
Perdebatan di internal pembentuk undang-undang untuk Pasal 48 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 sejatinya berlangsung cukup panjang. Adapun norma yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Hasil verifikasi faktual berdasarkan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Adapun ide ini pada akhirnya tidak disetujui, keinginan luhur ini dianggap baik namun untuk saat ini dianggap belum waktu yang tepat. Pemikiran tersebut timbul karena stabilitas politik dalam pilkada dianggap tidak dapat terprediksi dan jika diumumkan nama-nama pendukung tersebut, maka nama-nama yang muncul akan seolah-oleh terikat karena mau tak mau menujukkan dukungannya terhadap nama tersebut, walaupun tidak ada jaminan nama tersebut akan memilih pada pemungutan suara nantinya. Itulah sebabnya dikarenakan akan menimbulkan konflik dan gejolak sosial yang baru, maka ide ataupun pemikiran untuk mengumumkan hasil verifikasi faktual menjadi dibatalkan dan normanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 48 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016. Adapun ketika MK dalam putusannya No. 54/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kata “tidak” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga nama-nama pendukung calon perseorangan harus diumumkan, maka hal tersebut adalah ide luhur yang terwujud pada akhirnya.
Putusan MK No. 54/PUU-XIV/2016 membawa impilikasi yang begitu besar, pertama, yang secara sangat teknis hal ini akan berimplikasi bagi Peraturan Komisi Pemilihan Umum baik itu Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017 mengenai pencalonan dalam Pilkada (terutama untuk Pilkada 2018 yang akan berlangsung sebentar lagi) ataupun Peraturan KPU No. 1 Tahun 2017
Hal lainnya adalah revisi lanjutan dari UU Pilkada, setelah terakhir diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016, maka dengan adanya putusan MK ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk kembali mengubah UU Pilkada untuk ketiga kalinya karena Indonesia menganut sistem Civil Law yakni sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa dimana titik tekannya pada sistem hukum ini adalah penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis, sehingga revisi UU Pilkada dengan melakukan perubahan ketiga UU No. 1 Tahun 2015 adalah hal yang seharusnya.
Lebih lanjut lagi terkait dengan hal ini adalah kaitannya dengan RUU Penyelenggaraan Pemilu (UU Pemilu) yang saat ini juga sedang diikuti oleh Penulis selaku legal drafternya. Hal ini dikarenakan dalam UU Pemilu ini terdapat pula Pemilu untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dimana hal ini mirip dengan calon perseorangan dalam Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sehingga ketika Putusan MK No. 54/PUU- XIV/2016 terbit sebenarnya secara tidak langsung dari sisi substansi seharusnya ikut terkena dampaknya, misalnya jika calon kepala daerah saja nama-nama. pendukungnya harus diumumkan ketika dilakukan verifikasi faktual, maka seharusnya begitu juga untuk calon anggota DPD.
Achmadudin Rajab (Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang di Pusat Perancangan Undang-Undang DPR RI Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu