Mahkamah Agung (MA) menerbitkan 14 (empat belas) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) selama Tahun 2016. Capaian ini merupakan jumlah terbanyak dibandingkan dengan tahun- tahun sebelumnya. Bahkan dua kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun 2015. Pada tahun itu, MA hanya menerbitkan 7 (tujuh) Perma. Pada tahun 2014, 2013, dan 2012 sebanyak 5 (lima), 3 (tiga) dan 6 (enam) Perma. Apabila diurutkan lagi sampai tahun 1999, jumlah penerbitan Perma sangat sedikit. Data pada situs Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung (JDIH) jumlahnya antara 1 – 4 Perma. Selain soal jumlah, beberapa Perma yang dibuat pada tahun 2016 juga memiliki materi yang sangat penting. Diantaranya Perma tentang Mediasi, Perma tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, Perma tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu lintas dan Perma tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Melihat tingginya jumlah pembentukan Perma dan materi pengaturan yang substansial, pertanyaannya apa yang perlu dicermati dari tren seperti ini?
Perma, Solusi Kekosongan Hukum
Kedudukan Perma diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Perma, berdasarkan Undang-Undang tersebut berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang
Ada dua hal yang menarik dicermati dari ketentuan Pasal 79 dan penjelasannya tersebut. Pertama, terkait dengan batasan materi Perma. Batasan ini dapat dilihat dari tujuan pembentuk UU MA dalam memberi kewenangan membentuk Perma. Materi Perma adalah materi yang belum diatur dalam Undang-Undang. Norma ini menunjukkan pentingnya kedudukan Perma. Kedua, ruang lingkup pengaturan Perma sebatas pada penyelenggaraan peradilan yang berkaitan dengan hukum
Sarana Terobosan Hukum
Dalam perkembangannya, Perma juga dianggap sebagai jalan untuk melakukan terobosan hukum. Bisa jadi terobosan ini merupakan solusi atas kekosongan hukum yang terjadi. Salah satunya Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma Tindak Pidana Korporasi). Berbagai media, setelah MA menerbitkan Perma tersebut,
Kontrol Pembentukan Perma
Tentunya terobosan hukum melalui pembentukan Perma untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum acara, selain memiliki dasar hukum juga memberi manfaat untuk penegakan hukum. Namun, terobosan hukum yang dilakukan oleh MA tersebut juga memiliki catatan penting. Pertama, pengaturan dalam Perma merupakan materi yang substansial. Kedudukannya untuk mengatasi kekurangan undang-undang. Kewenangan membentuk Perma merupakan kewenangan atribusi. Kewenangan yang melekat secara kelembagaan terhadap MA. Perma yang memiliki ruang lingkup mengatur hukum acara menunjukkan bahwa MA dan lembaga peradilannya merupakan salah satu pelaksanaan peraturan tersebut. Pembentuk dan pelaksana peraturan merupakan lembaga yang sama. Sementara itu, MA juga yang berwenang untuk menguji peraturan tersebut. Kontrol atas peraturan yang dibentuk juga dipegang oleh MA.
Ada beberapa titik potensi konflik kepentingan terhadap MA dalam menjalankan kewenangan membentuk Perma dan pengujiannya. Situasi tersebut mensyaratkan adanya proses partisipasi dan transparansi dalam membentuk Perma. Kebutuhan partisipasi dan transparansi ini juga didasarkan pada pentingnya kedudukan dan sifat pengaturan Perma. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di mana Perma merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan, maka proses pembentukannya juga dihadapkan pada hak masyarakat untuk terlibat.
Kedua, terobosan hukum yang dilakukan melalui Perma ini juga perlu
Dengan demikian, Perma merupakan instrumen hukum yang diakui dalam pengaturan sistem peradilan dan sistem peraturan perundang-undangan. Kedudukannya menjadi solusi atas kekosongan hukum dalam penyelenggaraan peradilan. Pada tahun 2016, MA menerbitkan Perma yang jauh lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kecenderungan ini harus dibarengi dengan proses membentuk Perma dengan menerapkan pelibatan masyarakat dan transparansi dalam pembentukannya. Di sisi lain, peran pembentuk undang-undang juga harus lebih aktif dalam menangkap adanya kekosongan hukum dalam penyelenggaraan peradilan.
Nur Sholikin (Direktur Eksekutif PSHK)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu