Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat adalah terkait dengan pembubaran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Bahkan pada awal tahun 2016 ini salah satu partai politik melakukan pembahasan terhadap hal tersebut. Seperti yang dimuat dalam www.detik.com, Partai Kebangkitan Bangsa dalam Mukernas Partai yang salah satu agendanya membahas antara penambahan kewenangan DPD RI atau dibubar kan saja. Semangat pembahasan tersebut seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar lahir dikarenakan DPD RI dianggap tidak mempunyai fungsi dan sebaiknya dibubarkan dengan cara mengamandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Wacana pembubaran tersebut semakin santer terdengar dengan terjadinya kericuhan pada saat Rapat Paripurna DPD RI Kamis 17 Maret 2016 seperti yang dimuat dalam situs resmi dpd.go.id. Hal tersebut timbul karena adanya paksaan terhadap pimpinan siding untuk menandatangani sesuatu yang diyakini melanggar UU dan tidak ada dalam agenda. Isu yang berhembus yang mengakibatkan kericuhan berkaitan dengan pembahasan masa jabatan pimpinan yang sebelumnya 5 tahun, dipangkas menjadi 2,5 tahun. Akibat hal tersebut sedikit banyak mencoreng nama DPD RI itu sendiri, ditengah adanya wacana pembubaran DPD.
Sementara pendapat pakar hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang dimuat oleh beritasatu.com tidak setuju dengan pembubaran DPD, menurutnya justru perlu ditambah peran tertentu kepada DPD RI. Hal ini dikarenakan DPD RIdi bentuk untuk mengimbangi ketimpangan penduduk Jawa dan luar Jawa di Parlemen, yang dilatar belakangi oleh keadaan bahwa anggota DPR mayoritas mewakili Jawa, sehingga terjadi ketidakseimbangan perwakilan Jawa dan luarJawa.
Kewenangan DPD RI
Pada awal pembahasan penulis ingin mengkaji terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD RI berdasarkan UUD NRI 1945. Sistem perwakilan Negara Indonesia menggagas adanya lembaga Negara baru yang diwujudkan dalam amandemen ketiga UUD NRI 1945, yaitu memasukkan DPD RI sebagai lembaga Negara yang mempunyai amanah mewakili kepentingan daerah atau representasi daerah. Gagasan yang dilanjutkan dengan lahirnya DPD RI ini muncul setelah Negara Indonesia mengusung konsep otonomi daerah yang terejawantahkan pula dalam amandemen kedua UUD NRI 1945. DPD RI mempunyai fungsi penyambung serta penyalur aspirasi daerah di Parlemen, dalam hal mewujudkan kebijakan nasional yang mampu mengakomodir kepentingan daerah. Komposisi DPD RI telah diatur berdasarkan Pasal 22 C UUD NRI 1945, yaitu pada ayat (2) menyatakan bahwa anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Sementara dalam hal kewenangannya, diatur berdasarkan Pasal 22 D UUD NRI 1945 DPD RI mempunyai kewenangan yang berbeda dengan DPR.
Berdasarkan pasal 22 D ayat (1) DPD mempunyai wewenang untuk mengajukan
Pengaturan lebih terperinci mengenai kewenangan DPD diatur lebih lanjut di dalam UU No. 22 Tahun 2003 yang kemudian diperbaruhi dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan UU No.10 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun seiring dengan implementasi atas UU No.27 Tahun 2009 dan UU No.12 Tahun 2011 ternyata terdapat pengaturan di dalam UU tersebut dirasa bertentangan dengan UUD NRI 1945. Menurut hemat penulis beberapa kewenangan DPD RI dipangkas/diperkecil oleh kedua UU tersebut. Atas hal tersebut maka diajukanlah judicial review oleh pemohon yaitu DPD RI ke Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah UU No.27 Tahun 2009 dan UU No.12 Tahun 2011 bertentangan dengan konstitusi (UUD NRI 1945). Beberapa Pasal yang dimohonkan untuk judicial review antara lain, yaitu Pasal 102 ayat (1) huruf d dan huruf e UU No.27 Tahun2009, Pasal 48 ayat (2) dan ayat (4) UU No.12 Tahun 2011 telah mereduksi kewenangan legislasi Pemohon menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota, komisi, dan gabungan komisi DPR. Pasal 143 ayat (5) dan Pasal 144 UU No.27 Tahun 2009 secara sistematis mengurangi kewenangan Pemohon sejak awal proses pengajuan RUU. Pasal 147 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU No.27 Tahun 2009 telah mendistorsi RUU yang diajukan oleh Pemohon menjadi RUU usul DPR. Pasal 65 ayat (3) dan ayat (4) UU No.12 Tahun 2011 tidak mengikutsertakan DPD RI dalam seluruh proses pembahasan RUU yang menjadi kewenangan konstitusional DPD RI. Secara lengkap dapat dilihat pada Putusan MK No. 92/PUU-X/2012.
Kewenangan DPD Pasca Putusan MK
Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 telah mengabulkan sebagian permohonan judicial review UU No.27 Tahun 2009 dan UU 12/2011 atas UUD NRI 1945.
Putusan MK dimaksud menyangkut lima pokok permasalahan kewenangan DPD RI dengan penjelasan, yaitu Pertama, kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagai manadiatur di dalam Pasal 22 D ayat(1) UUD NRI 1945, yang menurut DPD RI, RUU dari DPD RI harus diperlakukan setara dengan RUU dari Presiden dan DPR. Mahkamah berpendapat DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan RUU, Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU. Kedua, kewenangan DPD RI ikut membahas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22 D UUD NRI 1945 bersama DPR dan Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut, DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU, Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat
I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Ketiga, kewenangan DPD member persetujuan atas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22 D NRI 1945. DPD dapat saja ikut membahas dan memberi pendapat pada saat rapat paripurna DPR yang membahas RUU pada Tingkat II, tetapi tidak memiliki hak memberi persetujuan terhadap RUU yang bersangkutan. Persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang, terkait
Pasca Putusan MK tersebut pada tahun 2014 tepatnya pada tanggal 5 Agustus 2014 telah disahkan Undang- undang No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.
Wacana Pembubaran DPD
Pembahasan mengenai wacana pembubaran DPD RI memang harus dilakukan secara mendalam. Hal ini dikarenakan dibentuknya DPD RI sebagai lembaga negara bukanlah hanya sebagai pelengkap dalam sistem ketatanegaraan, melainkan DPD lahir menjadiutusan/wakil daerah dalam menyampaikan aspirasinya. Dengan lahirnya DPD sebagai lembaga negara yang juga mempunyai fungsi legislasidisamping DPR diharapkan mampu melakukan fungsi check and balances
Selanjutnya dalam hal yang berkaitan dengan wacana pembubaran DPD RI harus ditempuh melalui agenda amandemen UUD NRI 1945. Namun, menurut penulis akan timbul pertanyaan bahwa bagaimana sistem ketatanegaraan kita tanpa adanya DPD RI ? Apakah peran DPD RI sudah mampu digantikan oleh DPR yang notabene kinerjanya dirasa masih kurang? Dan bagaimana daerah menyampaikan aspirasinya jika tidak ada DPD RI? Menurut hemat penulis kata dan tindakan yang lebih cocok untuk DPD ialah benahi dan perkuat kewenangan DPD sehingga mampu memberikan andil yang maksimal bagi perwujudan aspirasi daerah dan juga fungsi check and balances dalam proses legislasi.
Hal ini dilandasi oleh semangat para perancang amandemen UUD NRI 1945 yang telah memasukkan DPD RI sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan dalam UUD NRI 1945 sebagai representasi daerah. DPD RI juga diharapkan mampu memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempercepat perkembangan dan kemajuan daerah-daerah secara seimbang. Dengan vitalnya peran DPD RI dalam system ketatanegaraan sesuai dengan UUD NRI 1945 dan perubahan UU No.27 Tahun 2009 dan UU No.12 Tahun 2011 berdasarkan Putusan MK, maka sepatutnya DPD RI dioptimalkan segala perannya. Baik peran secara individu sebagai anggota untuk lebih mampu menampung aspirasi daerah maupun secara institusional yang mampu memberikan masukan-masukan dalam proses pembuatan kebijakan nasional. Selain itu keberdaan DPD RI sebagai representasi daerah yang merupakan non- partai politik juga dapat memberikan harapan baru di tengah-tengah masyarakat daerah yang sekarang mengalami krisis kepercayaan terhadap anggota DPR yang dianggap hanya mengedepankan kepentingan partai saja.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi akar permasalahan isu wacana pembubaran DPD RI adalah lebih kepada kinerja yang sampai sekarang belum dirasakan oleh masyarakat luas. Sementara secara ketatanegaraan peran DPD RI tetap harus ada mengingat perannya sebagaimana diatur di dalam UUD NRI 1945. Selain hal tersebut mengingat juga peran DPD yang masih minim perlu dilakukan upaya penguatan kewenangan DPD RI agar kinerja DPD lebih maksimal dan cita-cita dalampembentukan DPD RI dapat tercapai. Penguatan peran DPD ini bisa dimasukkan dalam perubahan atau penyempurnaan UU No.12 Tahun 2011.
Moch Alfi Muzakki (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu