Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah gagasan yang lahir dari konsep pembagian kekuasaan (separation of power) dan konsep negara hukum (rule of law) yang mempunyai kedudukan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah konstitusi merupakan bagian dari konsep checks and balances yang diharapkan dapat mengatur dan mengontrol kekuasaan negara agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang dibentuk melalui amandemen UUD 1945.
Mahkamah konstitusi memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tantang hasil pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945. Mahkamah
Dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar (judicial review) mahkamah konstitusi hanya memberikan amar putusan mengabulkan, menolak, dan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan lain yang tidak diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Terdapat beberapa jenis putusan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Putusan konstitusional bersyarat yang dikeluarkan mahkamah konstitusi terdapat dalam beberapa putusanya seperti Putusan Nomor 49/PUUVIII/2010, Putusan Nomor 92/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 115/PUU-VII/2009. Putusan konstitusional bersyarat memiliki arti bahwa norma dalam undang-undang dianggap konstitusional atau tidak bertentangan dengan konstitusi jika dimaknai sesuai dengan yang ditentukan Mahkamah Konstitusi (Martitah, 2013: 134). Putusan konstitusional bersyarat yang dikeluarkan oleh mahkamah
Putusan konstitusional bersyarat terjadi karena permohonan yang diajukan beralasan sehingga permohonan tersebut dikabulkan tetapi dengan tidak mengubah isi norma pasal tersebut, namun hanya dengan memaknai pasal tersebut sesuai dengan penafsiran hakim Mahkamah Konstitusi. Namun putusan konstitusional bersyarat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan beberapa permasalahan yaitu membuka peluang adanya pengujian kembali pasal yang pernah diujikan dan ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan konstitusional bersyarat maka peranan MK tidak hanya mengabulkan, menolak, dan tidak menerima permohonan tersebut tetapi Mahkamah Konstitusi berperan sebagai pembentuk undang-undang.
Pasal 57 ayat (2a) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
a. Amar selain menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Perintah kepada pembuat undang-undang; dan
c. Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Dalam peraturan perundang-undangan yang ada, Mahkamah
Putusan konstitusional bersyarat merupakan suatu bentuk diskresi yang dilakukan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum dan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara. Mahkamah Konstitusi memang tidak dapat melakukan pembentukan aturan-aturan hukum baru karena tidak mempunyai kewenangan di bidang legislasi. Untuk menghindari penciptaan norma hukum baru maka mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan konstitusional bersyarat yang tidak mengubah norma dalam undang-undang yang diujikan tetapi hanya berusaha memaknai dengan makna yang berbeda berdasarkan penafsiran hukum seorang hakim.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa mahkamah konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk memberikan amar putusan konstitusional bersyarat dalam putusan yang dikeluarkan karena tidak memiliki dasar hukum. Meskipun dalam rangka untuk mengisi kekosongan hukum dan sebagai bentuk dari diskresi yang dapat dilakukan hakim dalam memutus suatu permasalahan, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian kepastian hukum di masyarakat karena tidak ada landasan hukumnya dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 56 dan Pasal 57 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Meirina Fajarwati (Perancang Peraturan Perundang-undangan Badan Keahlian DPR RI)
Penulis
Yusuf Randi
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu