Rendahnya Produktifitas Legislasi DPR
Fungsi legislasi DPR merupakan salah satu fungsi yang senantiasa mendapat sorotan dari masyarakat, ditengarai fungsi legislasi ini masih lemah dibanding fungsi DPR lainnya seperti pengawasan dan anggaran. Hal ini dapat dilihat dari dicantumkannya target 37 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi Prioritas Tahun 2015, tetapi sejak tulisan ini di susun DPR baru bisa mengesahkan 2 RUU di luar RUU APBN dan RUU penetapan Perppu. Rendahnya produktifitas legislasi DPR ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain hiruknya pikuknya konstalasi politik pasca Pilpres 2014 yang memunculkan 2 koalisi di DPR yaitu antara KIH dan KMP; lebih fokusnya DPR kepada fungsi pengawasan; masa reses yang relatif lebih panjang yaitu 5 kali masa reses dalam 1 tahun sehingga mengurangi masa persidangan; belum efisiennya mekanisme dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pembahasan RUU; serta pengaruh sistem pendukung dalam bidang legislasi di Sekretariat Jendral DPR (Sekjen DPR).
Selain itu, tidak bisa dipungkiri walau kewenangan pembentukan UU ada di tangan DPR (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945) akan tetapi setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden (Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945), sehingga produktifitas legislasi DPR tidak hanya dipengaruhi oleh internal DPR tetapi juga sangat dipengaruhi oleh keseriusan dan kepentingan Pemerintah dalam membentuk suatu RUU. Produk legislasi sangat terkait dengan peristiwa politik, sehingga produktifitas dalam proses pembentukan suatu RUU juga sangat dipengaruhi konstalasi politik, yaitu tarik-menarik kepentingan baik itu yang berasal di DPR, Pemerintah, maupun stakeholder.
Terlepas dari beberapa faktor di atas, peran sistem pendukung di bidang legislasi DPR saat ini dilaksanakan oleh Deputi Perundang-Undangan Sekretariat Jendral DPR RI (Deputi PUU Setjend DPR RI). Di dalamnya tidak hanya diisi pejabat struktural tetapi juga terdapat beberapa tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan atau sering disebut juga Legislative Drafter (LD) serta melibatkan peneliti dan tenaga ahli (selanjutnya disebut TA) dapat juga mempengaruhi kinerja DPR di bidang legislasi. Untuk itulah kiranya dirasa perlu untuk mengetahui peran dan fungsi dari sistem pendukung yang ada di Deputi PUU Setjend DPR dalam proses pembentukan RUU di DPR.
Peran Sistem Pendukung
Peran salah satu sistem pendukung di dalam pembentukan RUU di DPR pada prinsipnya telah diatur secara gamblang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), yang menyatakan setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disingkat PUU) mengikutsertakan LD yang keikutsertaan dan pembinaanya diatur oleh Peraturan Pemerintah , selain itu dalam tahapan pembentukan PUU juga mengikutsertakan peneliti dan TA (Pasal 98 dan Pasal 99 UU P3). LD dalam hal ini merupakan PNS yang diberi tugas dan tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan penyusunan rancangan PUU atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan PUU (Penjelasan Pasal 98 ayat (1) UU P3). Dalam proses pembentukan suatu RUU, LD bekerjasama dengan peneliti yang merupakan PNS yang tugas dan fungsinya melakukan penelitian, kajian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini peran peneliti memberikan masukan dari hasil penelitian maupun teori-teori yang terkait dengan bidang RUU yang akan dibentuk. Sedangkan TA merupakan tenaga non PNS yang dilibatkan tidak hanya untuk memperkaya atau memberikan masukan yang bersifat substantif yang berasal dari bidang keilmuannya, tetapi juga karena TA biasanya ditempatkan pada alat kelengkapan dewan (AKD) atau anggota DPR, TA juga memberikan masukan yang berasal dari wacana, perdebatan, atau arah politik yang sedang berkembang di AKD atau anggota DPR. Sehingga kolaborasi antara LD, peneliti, dan TA akan semakin memperkaya masukan dalam proses pembentukan suatu RUU.
Pembentukan PUU adalah pembuatan PUU yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan (Pasal 1 angka 1 UU P3). Terkait dengan tahapan pembentukan PUU, peran sistem pendukung dapat digambarkan dalam tahapan pembentukan PUU, meliputi pertama: tahapan perencanaan, tahapan ini merupakan tahapan penyusunan Prolegnas, baik itu yang bersifat 5 (lima) tahunan, maupun yang bersifat prioritas tahunan. Adapun peran sistem pendukung dalam hal ini adalah memberikan masukan, menyusun, dan menyajikan kepada DPR melalui Badan Legislasi Nasional (Baleg) dan juga kepada pemerintah, mengenai RUU mana saja baik itu yang berasal dari DPR, Pemerintah, atau DPD yang dapat dimasukkan dalam Prolegnas menjadi prioritas 5 (lima) tahunan dan prioritas tahunan.
Adapun parameter yang dipergunakan oleh sistem pendukung dalam menentukan RUU apa saja yang masuk dalam prolegnas 5 (lima) tahunan maupun prioritas tahunan adalah berdasarkan kepada kelengkapan Naskah Akademik (selanjutnya disebut NA) dan RUU, apabila RUU yang diusulkan telah memiliki NA dan RUU kemungkinannya semakin besar untuk dipertimbangkan masuk dalam Prolegnas. Kedua siapa saja pihak-pihak yang mengusulkan, semakin banyak suatu RUU diusulkan baik oleh salah satu pihak di DPR, Pemerintah, atau DPD maupun ketiga-tiganya sekaligus, semakin besar juga RUU tersebut berpeluang untuk masuk dalam Prolegnas. Selain itu suatu RUU masuk dalam Prolegnas sangat ditentukan dengan urgensi dari tujuan penyusunan RUU yang bersangkutan, artinya semakin besar atau semakin mendesak kehadiran suatu RUU untuk menjawab kekosongan, permasalahan, maupun kebutuhan hukum dimasyarakat, semakin besar pula RUU tersebut berpeluang untuk masuk di dalam Prolegnas, walau pada akhirnya kata penentu tetap ada di pihak DPR, Pemerintah, dan DPD.
Kedua: tahapan penyusunan, adapun tugas dan fungsi sistem pendukung di dalam penyusunan, adalah menganalisis, mengkaji, menyusun, mempersiapkan, dan menyajikan RUU inisiatif DPR. Adapun tahapan dalam penyusunan RUU inisatif DPR ini adalah dilakukan melalui tahapan studi kelayakan, di mana Tim melakukan pencarian dan pengolahan data melalui diskusi dengan stakeholder, pakar, bahkan melakukan penelitian lapangan. Setelah data semua terkumpul maka Tim akan menyusun dan merumuskan permasalahan dan kebutuhan hukum terkait bidang RUU yang akan disusun, untuk selanjutnya melahirkan urgensi atas suatu RUU.
Dari urgensi tersebut Tim akan menyusun NA yang merupakan landasan akademik yang berisi teori, kajian, perbandingan, maupun praktek di lapangan menggenai bidang suatu RUU, hal inilah yang kemudian akan menjadi dasar bagi Tim untuk menyusun suatu draft RUU. Setelah NA dan RUU telah selesai disusun, Tim akan mempresentasikan NA dan RUU tersebut kepada AKD terkait. Pada tahap inilah anggota DPR akan mewarnai NA dan RUU ini sesuai arah politik dan kebijakan hukum mereka. RUU yang telah disempurnakan di AKD selanjutnya diharmonisasikan di Baleg agar substansi RUU nya sinkron, harmonis, serta memiliki konsep yang bulat. Setelah RUU selesai diharmonisasi RUU tersebut dikirim ke Rapat Paripurna DPR untuk dimintai persetujuan dan disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. RUU yang telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR selanjutnya dikirimkan ke Presiden untuk dapat ditunjuk siapa wakil dari pemerintah yang akan mewakili dalam pembahasannya, serta kapan RUU tersebut akan dibahas bersama-sama antara DPR dan Presiden.
Ketiga: tahapan pembahasan, pada tahapan ini tugas dan fungsi sistem pendukung dalam hal ini LD, peneliti, dan TA adalah melakukan pendampingan pada saat RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Dalam tahapan ini, selain Tim dituntut aktif untuk memberikan masukan kepada DPR terkait dengan materi RUU, keterkaitannya dengan UU yang lain, teori, praktik di Negara lain, dan masih banyak hal lain terkait RUU yang sedang dibahas, Tim juga dituntut mampu menerjemahkan kemauan dan arah politik dalam proses pembahasan ini dengan menyajikannya dalam berbagai alternatif rumusan yang paling sesuai dengan arah dan kebijakan politiknya, sehingga dalam pembahasan RUU DPR maupun Pemerintah lebih fokus ke arah politik dan kebijakan hukumnya, sedangkan masalah penormaan, teknis, dan detailnya cukup diserahkan kepada Tim pendukung baik yang berasal dari DPR maupun dari Pemerintah.
Perbaikan Kinerja di Masa yang Akan Datang
Di samping beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, produktifitas legislasi DPR juga dipengaruhi oleh peran dan fungsi sistem pendukung yang ada di Deputi PUU Setjend DPR. Untuk itu ke depan hendaknya: pertama: peran dan fungsi sistem pendukung legislasi di Deputi PUU Setjen DPR harus semakin ditingkatkan dengan melibatkannya secara aktif dalam setiap tahapan pembentukan RUU di DPR; kedua: perlu disusun mekanisme pembentukan RUU yang lebih efisien, cepat, dan tepat, sehingga ke depan dalam proses pembentukan RUU, DPR maupun Pemerintah tidak perlu terlalu jauh masuk ke dalam hal-hal yang bersifat detail dan teknis, tetapi cukup memberikan petunjuk arah dan kebijakan politik suatu RUU, untuk kemudian diterjemahkan oleh sistem pendukung melalui penormaan dalam RUU. Ketiga: selain menambah jumlah LD, peneliti, dan TA sesuai dengan beban legislasi di DPR dan kemampuan keuangan Negara, juga segera merealisasikan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2015 tentang Sekretariat Jendral dan Badan.
Keahlian DPR RI, sehingga kelembagaan sistem pendukung di bidang keahlian khususnya legislasi diharapkan dapat lebih maksimal melakukan dukungan keahliannya kepada DPR.