Transplantasi hukum, di mana negara mengoper hukum atau bagian dari sistem hukum negara lain ke dalam tata hukumnya guna memperbaiki sistem hukum yang ada, sudah menjadi sebuah fenomena tersendiri bagi negara-negara berkembang yang menghadapi masa transisi (David.S.Clark, 2007:1505). Sebagai bagian dari masyarakat internasional, negara-negara kerap tidak bisa menghindari tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan tren hukum dunia entah di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Karenanya, transplantasi hukum menjadi salah satu pilihan negara dalam proses pembangunan hukum nasionalnya, termasuk di Indonesia.
Jejak transplantasi hukum ke dalam hukum nasional Indonesia dapat ditemukan pada beberapa ketentuan hukum yang sudah diakomodasi oleh peraturan perundang- undangan kita. Gugatan kelompok (class action) misalnya merupakan praktik dari sistem hukum Common Law yang ditransplantasikan dalam beberapa undang- undang (N.H.T. Siahaan, 2004: 334). Demikian juga di bidang ekonomi, terdapat sekitar 43 undang-undang hasil transplantasi hukum (Sulistyono Adi, http://eprints.uns.ac.id/13413/). Dorongan untuk melakukan transplantasi hukum akan terus terjadi selama Indonesia menjadi bagian dari masyarakat dunia. Ikatan dan tuntutan dalam hubungan antarnegara baik bersifat regional maupun internasional juga terus berkembang dan mendesak Indonesia membuka diri kepada hukum-hukum negara lain serta melakukan penyelarasan hukum demi memuluskan kerjasama antar negara. Masyarakat Ekonomi Asean yang akan pada 31 Desember 2015 di kawasan ASEAN adalah contoh semakin berkembangnya ikatan dan tuntutan kerjasama antar negara yang membuat batas-batas antar negara semakin luruh. Dampak dari kerjasama-kerjasama semacam ini akan nampak hampir di seluruh bidang kehidupan, termasuk hukum.
Menghadapi hal ini, tidak bisa tidak, diperlukan kearifan negara dalam bersikap dan menentukan arah kebijakan hukum nasional. Bagaimanapun juga, transplantasi hukum memiliki sisi positif dan sisi negatif. Transplantasi hukum yang dilakukan secara tepat guna, dapat mendorong percepatan penyerapan suatu ideal-ideal tertentu yang memang juga menjadi harapan bangsa Indonesia, dan juga memberikan suatu landasan hukum yang baik untuk mempercepat perwujudan tujuan bernegara (Jeane Neltje Saly, 2007). Tetapi transplantasi yang dilakukan secara serampangan dapat menimbulkan persoalan seperti kemungkinan dominasi dari sistem hukum asing yang diadopsi terhadap cita hukum kita yakni Pancasila. Selain itu dapat juga terjadi ketidaksesuaian antara hukum asing dengan tata kehidupan bangsa Indonesia sehingga menyebabkan hukum tersebut menjadi tidak aplikatif. Ketika hal-hal ini terjadi, transplantasi hukum akan membawa akibat-akibat yang cenderung destruktif terhadap hukum nasional dan bukannya konstruktif—bukan karena baik/buruknya suatu hukum asing, tetapi mungkin karena kita kurang arif memilih dan memproyeksikan manfaatnya bagi masyarakat Indonesia.
Mengingat globalisasi yang mengaburkan batas negara-negara tak lagi terbendung dan mengasingkan diri dari masyarakat internasional adalah mustahil, maka tak ada lagi pilihan bagi bangsa ini, khususnya bagi para ahli hukum dan pembentuk kebijakan selain untuk membangun paradigma yang tepat dalam menyikapi kemungkinan transplantasi hukum yang akan dihadapi di kemudian hari. Sistem hukum asing janganlah selalu dianggap “lawan” tapi jangan juga selalu dianggap sebagai “yang terbaik”. Hendaknya penilaian apakah suatu hukum asing akan bersifat destruktif atau konstruktif dilakukan setelah melalui proses penilaian yang adil (fair). Batu uji yang paling utama dan menentukan, sekaligus merupakan jangkar dalam perjalanan pengembangan hukum nasional kita adalah cita hukum Indonesia itu sendiri yakni Pancasila dan UUD 1945 sebagai norma dasar (grundnorm).
Pancasila dan UUD 1945 Sebagai Jangkar
John Gardner pernah mengungkapkan bahwa tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Indonesia adalah sebuah peradaban besar di mana sistem hukum nasional adalah bagian integral dari peradaban tersebut. Pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum merupakan penopang di mana di atasnya bangunan peradaban besar yang diimpikan bangsa Indonesia dapat berdiri kokoh. Hal ini bisa terjadi karena Pancasila merupakan hasil penggalian dari bumi sejarah keindonesiaan, yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan melainkah menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan Nusantara (Yudi Latif, 2012: 4).
Karena berasal dari bumi Indonesia sendiri, Pancasila-lah kristalisasi dari kepribadian bangsa Indonesia dan Pancasila itu jugalah yang semestinya menjadi bintang pemandu dalam pengembangan dan pembangunan peradaban Indonesia, termasuk hukum nasional. Boleh dikatakan, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itulah yang memberi hukum Indonesia sebuah jati diri yang khas, yang membedakannya dari sistem hukum negara-negara lain.
Pancasila tak hanya mengandung rumusan nilai-nilai yang diyakini sebagai identitas bangsa tetapi juga mengandung pernyataan implisit mengenai mimpi atau harapan mengenai apa yang hendak dicapai oleh negara Indonesia merdeka atau tujuan bernegara. Tujuan bernegara ini yang kemudian dipertegas kembali dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pembentukan hukum nasional mesti tunduk atau berjangkar pada rambu-rambu ini. Hukum bukanlah sebuah entitas tersendiri yang lepas dari konteks, berdimensi tunggal atau memiliki pola seragam di seluruh negara (Philippe Nonet & Philip Selznick, 2003: 7). Karenanya, hukum nasional Indonesia pastilah memiliki nilai tersendiri, jangkar-nya sendiri yang mestinya mencerminkan jiwa bangsa tempat ia lahir dan bertumbuh. Ia juga memiliki tujuan yang jelas yang mungkin dalam beberapa dimensinya membedakan dia dari tujuan sistem hukum di negara lain.
Hukum Indonesia yang berjangkar pada Pancasila akan memiliki sebuah karakter khas yakni hukum yang berjiwa ke-Tuhanan yang Maha Esa (atau Ke-Tuhanan yang berkebudayaan), bukan ke-Tuhanan yang saling menyerang atau mengucilkan), hukum yang ber-kemanusiaan yang adil dan beradab (bukan yang eksploitatif dan menjajah), hukum yang mengembangkan persatuan di tengah perbedaan, memberi ruang bagi keragaman tumbuh (bukan hukum yang meniadakan perbedaan secara membabi buta atau menolak persatuan), hukum yang demokratis dalam artian tumbuh dari musyawarah mufakat atau proses deliberasi yang adil (bukan demokrasi yang dikuasai oleh suara mayoritas atau minoritas elit penguasa modal), serta hukum yang mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan (bukan kesejahteraan berbasis individualisme- kapitalisme atau etatisme) (Yudi Latif, 2012: 19).
Masing-masing prinsip yang berasal dari sila Pancasila ini tentunya merupakan satu kesatuan integral yang saling mengandaikan dan mengunci, seperti sila-sila Pancasila itu sendiri (Yudi Latif, 2012: 19). Dengan kata lain, hukum yang telah dipilih sebagai “jalan” untuk mencapai tujuan bernegara tersebut tidak dapat hanya memungut satu prinsip tetapi meniadakan yang lain (Jakob Tobing, 2012: 2). Misalnya hukum tidak boleh menjadi alat melanggengkan kediktatoran yang tidak menghargai manusia meski untuk dalih kesejahteraan rakyat. Hukum tidak boleh menjadi pengusung sistem ekonomi di mana segelintir orang saja yang dapat menikmati kesejahteraan.
Prinsip-prinsip di atas tentu masih memerlukan penggalian yang lebih mendalam dan penguraian dalam bentuk-bentuk yang lebih terukur khususnya ketika dikaitkan dengan persoalan transplantasi hukum yang dikemukakan di awal tulisan ini. Dalam menyikapi kemungkinan-kemungkinan transplantasi hukum asing, sebelum memasuki penelaahan terhadap hal-hal yang lebih teknis dan detil, perlu direnungkan secara mendalam apakah suatu ketentuan hukum asing itu telah selaras dengan cita hukum dan mampu mendorong kita dalam mencapai tujuan bernegara.
Pengembangan hukum nasional di tengah era keterbukaan perlu berjangkar pada pancasila dan UUD 1945. Ketika pengembangan hukum nasional kita memiliki jangkar yang kokoh, ia tak akan terombang ambing di tengah arus pengaruh global. Dengan bijak, saringan-saringan di atas dapat membantu kita memilah-milah pengaruh mana yang destruktif dan konstruktif bagi bangsa Indonesia, khususnya di bidang hukum. Bukannya tidak mungkin bahwa beranjak dari penguasaan terhadap nilai-nilai dasar yang bersumber dari jiwa bangsa sendiri, dibarengi kepiawaian memadukannya dengan dinamika tren hukum global, justru kita mampu menelurkan hukum-hukum nasional yang kreatif yang tak hanya berguna bagi pembangunan hukum nasional kita, tetapi juga bagi negara-negara lain.