Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa dan Bali, selanjutnya disebut PPKM telah berlangsung sejak tanggal 3 Juli 2021 dan terakhir (saat ini) diperpanjang sampai dengan 13 September 2021. Ada kemungkinan PPKM akan diperpanjang kembali sampai dengan waktu yang belum bisa ditentukan, apabila Coronavirus Disease-19 (Covid-19) sulit dikendalikan dan semakin ganas penularannya. Namun melihat perkembangan terbaru berdasarkan pengumuman perpanjangan PPKM tanggal 6 September 2021, terlihat sudah ada beberapa kelonggaran pada PPKM jika dibandingkan dengan awal diterapkan PPKM. Pemberlakuan PPKM yang telah berlangsung selama hampir 3 (tiga) bulan ini, perlu dilihat dari segi politik hukum. Mengingat PPKM merupakan kebijakan hukum pemerintah yang sah. Dasar hukum PPKM tidak lain adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri. Mulai dari Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) terkait PPKM Darurat Jawa Bali dan sampai dengan (saat ini) Inmendagri PPKM Darurat Non Jawa Bali. Kebijakan PPKM yang berdasarkan pada Inmendagri tentu sangat lemah jika ditinjau dari Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), dalam hal ini menyatakan bahwa:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, tidak memasukan instruksi dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Memang dalam Pasal 8 UU P3 negara mengakui jenis peraturan lain selain tercatat dalam Pasal 7 ayat (1) UU P3. Bunyi Pasal 8 UU P3 sebagai berikut:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Maksud dari Pasal 8 UU P3 adalah kebijakan yang berbentuk peraturan perundang-undangan atau regeling. Adapun instruksi bukan masuk dalam kategori regeling, tetapi kebijakan bersifat perintah internal. Tidak heran jika dalam Inmendagri PPKM berisi instruksi kepada kepala daerah karena kepala daerah di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Artinya bahwa Inmendagri tidak masuk dalam kedudukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU P3. Inilah yang menyebabkan kedudukan Inmendagri lemah dari segi kekuatan hukum yang bersifat peraturan perundang-undangan.
Lemahnya kedudukan Inmendagri jika dilihat dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, belum lagi sifat Inmendagri yang berupa instruksi atau perintah kepada internal. Tidak serta merta Inmendagri dipandang secara remeh dalam konteks tujuan bernegara. Kebijakan PPKM melalui dasar hukum Inmendagri harus dilihat dari skala makro, yaitu tujuan berbangsa dan bernegara. Berbicara kebijakan dan tujuan berbangsa dan bernegara maka tidak dapat dilepaskan dari adanya politik hukum. Menurut Mahfud MD, sebagai salah satu Pakar Politik Hukum di Indonesia, politik hukum merupakan kebijakan hukum yang dikeluarkan negara termasuk pemerintah dalam rangka mencapai tujuan negara (Mahfud MD, 2009:1). Tujuan negara tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia. Lebih jauh Mahfud MD memberikan indikator atau ranah dari politik hukum. Ada tiga ranah dalam politik hukum, yaitu: (1) kebijakan yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan negara; (2) latar belakang atau konteks lahirnya kebijakan dilihat dari sudut pandang politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan (3) penegakan kebijakan hukum tersebut (Mahfud MD, 2009:3–4).
Artinya, kebijakan PPKM berdasarkan Inmendagri dapat dilihat dari segi definisi politik hukum, mengingat Inmendagri juga termasuk dalam kebijakan hukum. Kebijakan PPKM berdasarkan Inmendagri juga dapat dilihat dengan ranah politik hukum yang terdiri setidaknya dari tiga hal tersebut. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri, sebagai lembaga yang mengeluarkan Inmendagri tentang PPKM adalah apa sesungguhnya politik hukum PPKM? Apakah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia akibat adanya Covid-19 atau tiga tujuan lain seperti memajukan kesejahteraan umum atau mencerdaskan kehidupan bangsa atau dapat ikut melaksanakan perdamian dunia di era pandemi Covid 19? Pertanyaan apa sesungguhnya politik hukum PPKM harus dijawab secara gamblang oleh Pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri harus memberikan penjelasan secara menyeluruh terkait politik hukum PPKM. Jika memang politik hukum PPKM adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia khususnya akibat adanya Covid-19, maka hal tersebut harus disosialisasikan secara jelas dan menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai dengan tingkat paling bawah.
Memang mungkin, banyak masyarakat yang sudah nalar bahwa tujuan PPKM adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tetapi belum tentu masyarakat memahami tujuan atau politik hukum dari PPKM. Karena setelah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan politik hukum PPKM. Ada pertanyaan mendasar lagi yang harus dijawab. Apakah politik hukum Inmendagri tentang PPKM sudah tercapai? Secara normatif pertanyaan tersebut dapat dengan mudah dijawab. Jika Inmendagri tersebut masih berlaku, maka politik hukum Inmendagri tentang PPKM belum terwujud. Begitu juga sebaliknya, jika Inmendagri tentang PPKM sudah tidak berlaku atau PPKM tidak diperpanjang, dapat diartikan politik hukum Inmendagri tersebut telah tercapai.
Sebenarnya jawaban tersebut berada di tangan masyarakat Indonesia yang terlibat dalam PPKM. Masyarakat Indonesia lah yang mengerti apakah politik hukum PPKM sudah terwujud atau belum. Oleh karena itu, penting sekali untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan politik hukum Inmendagri tentang PPKM.
Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia