Demokrasi menghendaki adanya partisipasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah Abraham Lincoln memberikan definisi sederhana terhadap demokrasi. Memilih demokrasi sebagai sebuah konsep dalam bernegara memberikan konsekuensi logis bahwa rakyat harus diberikan ruang dalam berkontribusi pada setiap jalannya penyelenggaraan negara. Karena penyelenggaraan negara akan memberikan implikasi terhadap nasib dari setiap warga negara. Sebagai warga negara yang baik, tentu kita berharap bisa memberikan kontribusi terhadap jalannya penyelenggaraan kebijakan negara. Mulai dari kebijakan tahap perencanaan, proses pembahasan, hingga berujung pada pelaksanaan. Kontribusi bisa dilakukan dengan mengawal setiap agenda yang berlangsung, salah satunya melalui kritik dan ekspresi lisan maupun tulisan.
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah menyiapkan instrumen hukum terhadap jaminan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negaranya. Hal ini dalam rangka menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Misalnya dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang secara tegas menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Berpendapat di Muka Umum juga semakin mempertegas adanya jaminan dalam menyampaikan ekspresi. Kebebasan berekspresi juga termasuk dalam perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Komitmen terhadap perlindungan jaminan kebebasan berekspresi juga diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam konteks dunia maya, lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberikan legalitas bahwa kebebasan berekspresi bisa dilakukan dengan mengikuti perkembangan teknologi. Instrumen hukum di atas tersebut seolah-oleh telah melengkapi jaminan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara. Artinya hukum harus menjadi panglima dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal ini tentu dilakukan untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia. Rakyat diberikan ruang kebebasan berekspresi dan keleluasaan dalam penyampaian pendapat di muka umum. Kebebasan berekspresi dan keleluasaan dalam penyampaian pendapat di muka umum merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi yang merupakan perwujudan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan berdemokrasi pasca reformasi menjadikan rakyat lebih berani dan terbuka dalam penyampaian aspirasi. Tidak jarang hampir semua golongan menyampaikan ekspresi pendapatnya. Apalagi di era saat ini, kemudahan dalam berekspresi dan keleluasaan dalam penyampaian pendapat di muka umum semakin mudah difasilitasi oleh media sosial yang bisa disampaikan oleh siapa pun dan kapan pun.
Namun, belakangan kita melihat hal yang bertolak belakang terkait dengan jaminan kebebasan berekspresi. Tidak jarang kita melihat beberapa kasus terkait dengan kebebasan berekspresi malah berujung jeruji besi. Orang-orang yang secara secara lantang menyampaikan kebebasan berekspresi lebih sering mendapatkan intimidasi dari sesama warga negara, aparat penegak hukum, dan juga pejabat negara. Belum lagi beberapa kasus terkait dengan mimbar akademik yang justru mendapatkan intervensi dari berbagai pihak yang pada akhirnya menyebabkan tidak dapat dilaksanakan agenda tersebut. Adanya perbedaan pemahaman aparat penegak hukum dalam menentukan kapan suatu tindakan dianggap sebagai kebebasan berekspresi dan kapan menjadi suatu tindak pidana. Dengan masifnya penggunaan hukum pidana untuk menjerat orang-orang yang menyampaikan pendapat tentu menjadi ironi terhadap negara mengaku negara demokrasi.
Maka, penting untuk menelaah sejauh mana jaminan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara dalam bingkai negara demokrasi. Sementara dalam perspektif demokrasi, partisipasi warga negara sangat dibutuhkan sebagaimana yang penulis sampaikan di awal tulisan ini. Negara tidak akan bisa berjalan sendirian dalam menjalankan organisasikekuasaan, jika pun bisa berjalan sendiri, jika tidak ada kontrol dari warga negara negara juga berpotensi hilang kontrol yang mengarah pada tidak sejalannya keinginan negara dengan warga negaranya. Oleh karena itu, negara tidak boleh alergi dengan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh warga. Seharusnya ini menjadi catatan dan evaluasi atas nama bangsa dan negara sebagaimana jargon “atas nama bangsa dan negara” yang sering digaungkan oleh penyelenggara negara.
Dalam demokrasi, kritik yang disampaikan kepada pejabat pemerintah merupakan salah satu bentuk komunikasi politik. Kritik tersebut seharusnya menjadi evaluasi terhadap jalannya penyelenggaraan negara. Tidak tepat rasanya menjadikan instrumen hukum untuk membungkam bahkan sampai menjerat para pengkritisi. Kegagalan dalam memahami kritikan adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap demokrasi.
Sehingga menurut penulis, instrumen hukum yang semakin mempersempit kebebasan berekspresi perlu ditinjau kembali. Apalagi Presiden Jokowi pernah menyampaikan pidato dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 di Istana Negara yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden pada hari Senin tanggal 15 Februari 2021 bahwa Presiden meminta kepada DPR RI bersama dengan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang dinilai tidak memenuhi rasa keadilan dalam penerapannya.
Adanya pernyataan Presiden Jokowi yang meminta merevisi UU ITE tersebut mengindikasikan bahwa Presiden mengakui kalau selama ini UU tersebut telah diterapkan secara tidak adil dan telah dijadikan sarana untuk menyasar pihak-pihak tertentu saja. Lebih jauh pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU tersebut dikhawatirkan akan menjadi ancaman demokrasi, bahkan berpotensi membatasi dan bahkan menghilangkan kebebasan berekspresi di Indonesia. Maka sudah seharusnya akses menyampaikan kebebasan berekspresi di ruang publik, baik di dunia maya maupun secara langsung di dunia nyata, dibuka dan diberikan jaminan perlindungannya agar peran kontrol masyarakat bisa dilaksanakan secara langsung, mengingat peran perwakilan rakyat di parlemen terkadang tidak mampu mewakili keresahan dan suara hati dari rakyatnya.
Alfikri (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia