Lagi-lagi lembaga antirasuah Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mendapat sorotan tajam dari publik pasca pemberlakuan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai mekanisme peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebelumnya, KPK mendapat sorotan soal gugatan konstitusional terkait dua hal, yakni izin penyadapan secara tertulis dari Dewan Pengawas KPK (sebagaimana diatur dalam Pasal 12B ayat (1) UU KPK), dan izin penggeledahan dan penyitaan secara tertulis dari Dewan Pengawas KPK (sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU KPK).
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan (Putusan MK No.70/PUU-XVII/2019), KPK kembali dirundung masalah terkait legalitas TWK. Hasil TWK tersebut mengakibatkan 51 orang pegawai KPK diberhentikan per 1 November 2021 dari 75 orang yang tidak memenuhi syarat sesuai keputusan Pimpinan KPK yang diumumkan pada 25 Mei 2021 yang lalu. Sisanya, 24 orang akan dibina dan dapat mengikuti test kembali, namun tanpa kepastian oleh KPK.
Terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh 75 orang tersebut melalui Wadah Pegawai KPK terkait hasil TWK, yakni membuat pengaduan ke Komnas HAM pada 24 Mei 2021, pengaduan atas dugaan maladministrasi dalam pelaksanaan TWK ke Ombudsman pada 19 Mei 2021, permohonan salinan data dan informasi hasil TWK kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) KPK pada 31 Mei 2021, dan yang terkini adalah permohonan uji materil Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Juni 2021 yang lalu dengan registrasi nomor: 28/PUU-XIX/2021 tertanggal 9 Juni 2021.
Gugatan Konstitusional
Tidak adanya aturan perundang-undangan yang sempurna, yang di dalamnya pasti memiliki kekurangan dan keterbatasan sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia memunculkan ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann”, yang berarti hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya. Dengan demikian, suatu peristiwa konkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Menjelaskan, menafsirkan, dan melengkapi aturan hukumnya dilakukan agar hukum tidak berada dalam ruang vacum yang tidak dapat digunakan bagi peristiwa konkrit (Atmasasmita, 2014).
Pengujian undang-undang terhadap konstitusi di Indonesia dilakukan oleh suatu lembaga negara yang tersendiri yakni Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Kewenangan menguji ini merupakan kewenangan utama yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks permohonan uji materil Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang dimohonkan oleh 9 (sembilan) orang pegawai KPK terkait legalitas TWK, maka lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan kedua pasal tersebut adalah Mahkamah Konstitusi (MK) sesuai Pasal 24C UUD 1945.
Dasar hukum seseorang (termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik dan privat, atau lembaga negara dalam melakukan uji materil undang-undang terhadap UUD adalah karena terjadi pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalnya. Hak uji materi ini diatur pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan t diatur lebih lanjut dengan ketentuan yang sama dalam Pasal 3 PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Dalam pengujian undang-undang (judicial review), Jimly Asshiddiqie berdasarkan paham Hans Kelsen membagi dua jenis judicial review yaitu: (1) concreate norm review dan (2) abstract norm review. Selanjutnya berdasarkan objek yang diuji, pengujian produk hukum secara umum (toetsingrecht) yaitu (a) formele toetsingrecht dan materiele toetsingrecht sehingga dalam judicial review terdapat pula jenis formal judicial review dan materiil judicial review (Amsari, 2011). Terhadap hak menguji materiil, Sri Soemantri memberikan garis bawah bahwa pengujian tersebut adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sementara hak menguji formal menurut Sri Soemantri adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya, terbentuk melalui cara-cara (prosedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam pengaturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Jadi dalam bahasa yang ringkas, review terhadap formalitas suatu produk perundang-undangan adalah pengujian suatu prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan (Soemantri, 1986).
Jika dilihat antara pengujian formil dan pengujian materil, yang paling terasa konsekuensinya adalah undang-undang yang terbukti cacat formil, karena dengan dikabulkannya pengujian formil atas suatu undang-undang maka akan berdampak pada pembatalan sebuah undang-undang secara keseluruhan. Sementara pengujian materil tidak akan membatalkan sebuah undang-undang secara keseluruhan, hanya menyatakan sebagian Bagian, Pasal, ayat, atau frasa yang bertentangan dengan UUD 1945. Pembatasan dalam pengujian UU terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi adalah dalam hal perkara nebis in idem. Nebis in idem diatur dalam Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali.” Akan tetapi terhadap pengaturan tersebut terdapat pengecualian, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU, yang mengatur sebagai berikut: ”Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.” (Pasal 4 ayat (2) PMK No. 06/PMK/2005) (Setjend MK, 2010).
Dalam konteks ini, langkah yang dilakukan oleh pegawai KPK adalah uji materil Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK yang menurut mereka (pemohon uji materil) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Kedudukan Hukum Pemohon
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi (Asshiddiqie, 2006). Kedudukan hukum (legal standing) adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah pemohon terkena dampak dengan cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Persyaratan legal standing telah memenuhi syarat jika pemohon mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi (Siahaan, 2006). Kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 2 (dua) persyaratan, yaitu syarat formal, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang, dan syarat material, yakni adanya kerugian konstitusional akibat keberlakuan undang-undang yang bersangkutan. Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, maka pemohon memiliki kedudukan hukum untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Pemohon selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi, pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan dirinya apakah bertindak sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai badan hukum publik atau privat, atau sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang- undang. Jika kedua hal di atas tidak dapat dipenuhi, maka permohonan untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) (Harjono, 2008).
Dalam kasus permohonan uji materi oleh pegawai KPK terhadap legalitas TWK, legal standing secara formil yang disampaikan pemohon adalah Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan MK No.: 006/PUU-III/2005 dan perkara No.: 11/PUU-V/2007, serta Putusan MK No.: 27/PUU-VII/2009.
Dari sisi materil, pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya akibat dari terbitnya kebijakan Pimpinan KPK tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN dengan memaparkan perjalanan proses kebijakan TWK sebagai mekanisme peralihan status, mulai dari adanya rapat perdana antara KPK bersama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan agenda pembahasan dan penyusunan draft alih status pada tanggal 27-28 Agustus 2020, munculnya ketentuan TWK dalam sebagai syarat alih status pegawai melalui Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN, penolakan Wadah Pegawai KPK terhadap ketentuan lulus atau tidaknya TWK sebagai syarat alih status, pelaksanaan TWK pada tanggal 9 Maret hingga 9 April 2021, terbitnya Surat Keputusan No.: 389 Tahun 2021 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Kegiatan Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN oleh Pimpinan KPK pada 18 Maret 2021, terbitnya keputusan Pimpinan KPK dengan Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK yang tidak memenuhi syarat pada tanggal 7 Mei 2021, hingga Pimpinan KPK mengumumkan 75 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat pada tanggal 25 Mei 2021.
Kerugian Konstitusional (Constitutional Injury)
Kerugian Konstitusional (Constitutional Injury) adalah kerugian yang dialami oleh pemohon pengujian materil undang-undang atas berlakunya undang-undang. Kerugian konstitusional ini merupakan syarat materil dalam pengajuan uji materil ke Mahkamah Konstitusi selain syarat formil. Setiap putusan pengujian Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi (MK) selalu mengutip lima kriteria kerugian konstitusional (constitutional injury) yang dirumuskan sejak tahun 2005. Rumusan syarat kerugian konstitusional pertama kali disebutkan oleh majelis hakim dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005. Kelima syarat tersebut adalah: (1) ada hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon; (2) hak dan/atau kewenangan tersebut dirugikan karena berlakunya Undang-Undang yang diuji; (3) kerugian harus bersifat spesifik dan aktual atau potensial akan terjadi; (4) ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dengan Undang-Undang yang diuji; (5) kerugian tidak akan atau tidak lagi terjadi bila permohonan dikabulkan.
Pertanyaan yang kerap mengemuka yaitu apakah syarat-syarat kerugian konstitusional bersifat kumulatif atau tidak? Dengan kata lain, apakah dengan tidak terpenuhinya salah satu, atau bahkan, beberapa diantara syarat kerugian konstitusional pihak yang mengajukan permohonan dinilai tidak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon? Dalam Putusan 11/PUU-V/2007, MK menambahkan frasa “yang bersifat kumulatif” dalam menilai kelima syarat kerugian yang harus dipenuhi para pihak. Putusan ini senantiasa dikutip beriringan dengan Putusan 006/PUU-III/2005. MK seolah ingin menekankan bahwa syarat kerugian konstitusional itu harus dinilai secara kumulatif. Tidak terpenuhinya salah satu syarat kerugian berarti pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan perkara.
Formulasi kriteria kerugian konstitusional telah menjadi doktrin dalam mengukur apakah pihak yang mengajukan permohonan memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon. Doktrin ini berasal dari penafsiran MK atas Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berlaku bagi pemohon dalam beragam kualifikasinya, baik sebagai perorangan, masyarakat hukum adat, badan hukum maupun lembaga negara.
Dalam konteks ini, kerugian konstitusional dari pemohon uji materi, yaitu pegawai KPK, adalah pemberlakuan kebijakan TWK sebagai mekanisme peralihan status kepegawaian di internal KPK menjadi ASN melalui Salinan Keputusan No.: 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen TWK yang tidak memenuhi syarat pada tanggal 7 Mei 2021. Menurut pemohon bahwa hasil penilaian TWK telah dijadikan dasar serta ukuran (measurement) baru untuk menentukan apakah pemohon dan bahkan pegawai KPK lainnya diangkat menjadi ASN berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bagi Pegawai Tidak Tetap menjadi setidak-tidaknya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Padahal tidak ada satu aturan, baik Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 maupun Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN yang mensyaratkan adanya TWK. Dalam Pasal 5 ayat (4) Peraturan Komisi No. 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN hanya mewajibkan ikut serta tidak menjadi syarat harus dinyatakan memenuhi syarat dalam proses asesment tersebut.
Para pemohon beranggapan bahwa telah terjadi perluasan makna dari kalimat “dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan” yang terdapat pada Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 dengan menambah proses yang setara dengan seleksi dalam peralihan status pegawai. Akibat dari perluasan makna tersebut, pemohon mengalami kerugian konstitusional.
Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah sumber hukum yang dapat menjadi rujukan dalam memutus suatu perkara pengujian undang-undang namun tidak mengikat hakim untuk menyimpanginya berdasarkan alasan yang logis sesuai dengan pinsip the judiciary independence dan judiciary accountability serta konsepsi the living constitution. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam sistem hukum Indonesia pada asasnya seorang hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum serupa dengan yang akan diputuskannya (Mertokusumo, 2003).
Penyimpangan yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami berdasarkan praktik judicial independence dan judicial accountability dimana hakim memiliki kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang dengan dapat mempertanggungjawabkan putusannya kepada publik dan konsepsi living constitution yang menggambarkan konstitusionalitas norma bersifat dinamis dan tidak kaku. Dalam kasus uji materi yang dimohonkan oleh pegawai KPK terkait legalitas TWK sebagai penentuan status kepegawaian di KPK, Putusan MK No.70/PUU-XVII/2019 dapat dijadikan sebagai yuriprudensi karena pada bagian pertimbangan putusan tersebut memuat perihal pengalihan status kepegawaian di KPK dengan tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN (poin 3.22 bagian Pertimbangan Putusan MK No.70/PUU-XVII/2019).
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi dalam melakukan tafsir konstitusionalitas suatu undang-undang tidak kaku dan tidak hanya bertumpu pada otonomi teks, sehingga eksistensi UUD 1945 sebagai living constitution, akan benar-benar terwujud (Agustine, 2018). Merujuk pada teori the living constitution, maka UUD 1945 harus dipahami sebagai konstitusi yang memiliki dinamika berdimensi tekstual dan kontekstual. MK memiliki keluasan ruang untuk menyatakan apa saja sesuai mandat menjaga dan menegakkan konstitusi, sementara konstitusi haruslah hidup (living constitution) di tengah masyarakat, bangsa dan negaranya. Semoga MK dalam perkara ini dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi penguatan peran KPK.
Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana)
Penulis
Yusuf Randi
Della Nursari
Frichy Ndaumanu
Dea Aura Aprilia