MELIHAT BATAS KESALAHAN ADMINISTRASI, MALADMINISTRASI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Oleh : ULFIA PAMUJININGSIH, S.H., M.H. (Penata Pertanahan Pertama Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung) : 05 Januari 2023 : 102816 Rating :
Hukum Tata Negara

Data Penanganan Perkara Tahun 2021 yang dirilis dalam Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa 52.75% yang menjadi tersangka dalam perkara korupsi adalah penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan. Penyelenggara pemerintahan dalam perkara korupsi tersebut terdiri dari berbagai unsur, yaitu dari lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif. Keputusan atau tindakan penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan sangat berpengaruh pada keuangan negara. Pada satu sisi, dalam penyelenggaraan pemerintahan terjadi kekhawatiran adanya kesalahan administrasi yang berakibat kerugian negara yang kemudian diproses dengan tindak pidana korupsi. Yang menjadi pertanyaan adalah, cara melihat apakah penyelenggara pemerintahan melakukan maladministrasi atau kesalahan administrasi atau tindak pidana korupsi yang berakibat menimbulkan kerugian negara?

Maladministrasi mulai dikenal dalam ketentuan hukum tertulis saat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia disahkan. Maladministrasi tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) dan tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jika dicermati, dua peraturan perundang-undangan tersebut disahkan setelah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, bahkan keduanya memiliki pengaruh yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

Subyek Maladministrasi tidak hanya penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan, tetapi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bahkan badan swasta atau perseorangan yang menyelenggarakan pelayanan publik termasuk menjadi subyek Maladministrasi. Substansi pengertian Maladministrasi dibagi menjadi 9 perbuatan (Buku Saku Memahami Maladministrasi yang diterbitkan oleh Ombudsman RI) sebagai berikut:

  1. Perilaku dan perbuatan melawan hukum;

  2. Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang;

  3. Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang itu;

  4. Kelalaian;

  5. Pengabaian kewajiban hukum;

  6. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

  7. Dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan;

  8. Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immaterial;

  9. Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Sementara dalam UU Administrasi Pemerintahan meski tidak mengatur maladministrasi, tetapi lebih luas mengatur tentang tindakan administrasi, termasuk mengatur kesalahan administrasi, kesalahan prosedur, bahkan kesalahan substansi. Kesalahan prosedur berkaitan dengan tata cara penetapan yang tidak sesuai dengan persyaratan, sementara kesalahan substansi berkaitan dengan tidak sesuainya materi yang dikehendaki dengan rumusan dalam keputusan. Kesalahan administratif walaupun tidak dijabarkan dalam Penjelasan UU Administrasi Pertanahan, namun dapat diartikan bahwa kesalahan administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan untuk mencapai suatu tujuan. Kesalahan administrasi yang ditemukan oleh aparat intern pemerintah diputus menimbulkan kerugian keuangan negara, maka diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara. Kesalahan administratif yang dimaksud dapat terjadi karena unsur penyalahgunaan wewenang atau terjadi karena tidak adanya unsur penyalahgunaan wewenang.

Kemudian mengenai tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan merugikan keuangan negara diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Bunyi masing-masing ketentuan tersebut sebagai berikut (tanpa dibunyikan ketentuan pemidanaan):

  1. Pasal 2 ayat (1): “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;

  2. Pasal 3:  “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;

  3. Pasal 4 dalam Undang-Undang yang sama disebutkan bahwa pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.

Penjelasan UU PTPK disebutkan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” diartikan bahwa jenis tindak pidana korupsi ini adalah delik formil. Praktik delik formil dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK diteliti menimbulkan penyalahgunaan untuk menjangkau perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, seperti kebijakan atau keputusan diskresi yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi dugaan penyalahgunaan wewenang (Ester Sheren Monintja, 2020:102). Kata “dapat” yang dimaksud telah diputus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. Akibat dari tersebut menyebabkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor mengalami pergeseran dari delik formil menjadi delik materiil. Artinya keuangan negara menjadi syarat atas akibat dari perbuatan yang dilarang harus sudah benar-benar terjadi. 

Merujuk definisi maladministrasi, kesalahan administrasi dan tindak pidana korupsi di atas telah jelas bahwa ketiganya memiliki kesamaan yaitu dapat berkaitan dengan wewenang yang dimiliki masing-masing subyek yang diatur. Lantas batas menilai timbulnya kerugian negara secara sederhana dapat dilihat bahwa dalam maladministrasi kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang ditujukan bagi masyarakat dan orang perseorangan, bukan kerugian negara. Selain itu, maladministrasi diartikan sebagai perbuatan melawan hukum yang bersifat administrasi, bukan perbuatan yang diindikasikan memperkaya pihak-pihak tertentu. 

Kemudian dalam kesalahan administrasi menitikberatkan kesalahan atau kekeliruan dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang menimbulkan kerugian negara. Maka yang pertama kali dibuktikan adalah kesalahan administratifnya, bukan kerugian negara yang timbul. Hal ini sangat berbeda dengan tindak pidana korupsi yang menekankan pada kerugian keuangan negara yang timbul karena memperkaya pihak-pihak (baik diri sendiri atau orang lain). Pengertian, unsur atau kriteria “memperkaya” dalam delik tindak pidana korupsi tidak dijelaskan dalam UU PTPK, sehingga ketidakjelasan unsur ini menurut penelitian Dwi Helmi dkk (2022:8) menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan pada penjatuhan hukumannya. Memperkaya tidak sebatas dimaknai bertambahnya harta, sehingga perlu kehati-hatian untuk mencegah disparatis penjatuhan hukuman bagi si pelaku.

Ukuran “memperkaya” berdasarkan yurisprudensi berupa Putusan Pengadilan Negeri Sukabumi Nomor 31/Pid.B/ 2008/PN.Smi yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 334/Pid/2008/ PT.Bdg, ditemukan terobosan hukum yang memaknai “memperkaya” dengan membatasi kerugian negara minimal Rp. 100.000.000, sebaliknya, terhadap kerugian negara kurang dari angka seratus juta rupiah, maka dikategorikan sebagai unsur “menguntungkan”. Dengan demikian unsur “memperkaya” meski tidak ditemukan dalam hukum positif, analisa batasan kategori unsur tindak pidananya dapat bersumber dari peran aktif hakim (judicial activism).

Inilah kiranya hal sederhana yang menjadi batasan dalam melihat tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan melakukan maladministrasi, kesalahan administrasi atau tindak pidana korupsi. Semangat reformasi birokrasi yang salah satunya digaungkan melalui UU Administrasi Pemerintahan perlu dibarengi dengan semangat memberantas korupsi melalui UU PTPK. Keadilan dalam menilai apakah kerugian negara yang timbul diakibatkan kesalahan administrasi atau akibat dari tindak pidana korupsi harus melalui kajian studi kasus (case study), namun pentingnya edukasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus terus dipublikasikan.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329