PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) : 11 September 2020 : 104003 Rating :
Hukum Pidana

Patut untuk diketahui bersama, bahwa membicarakan tentang korporasi pada hakikatnya tidak bisa melepaskan hal tersebut dari bidang hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechtpersoon), dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata (Harahap, 2017: 40). Dengan merujuk kepada konsep korporasi dalam hukum perdata, maka patut dikemukakanlah pandangan Subekti dan Tjitrosudibio yang mendefinisikan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum (Subekti dan Tjitrosudibio, 1979: 34).

Kendatipun demikian, menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia” yang menyatakan bahwa:

Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan  hidup  kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan berbagai  tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan. Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi. Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana (Prodjodikoro, 1989: 55).

Mencermati konsepsi intelektual dari Wirjono Prodjodikoro tersebut di atas, adalah menjadi semakin menarik ketika dianalisa lebih jauh bahwa suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan pidana sebagai subjek suatu tindak pidana. Oleh karena itulah, tulisan ini fokus mengungkap eksistensi   pengaturan   korporasi sebagai subjek tindak pidana berdasarkan ketentuan sistem pemidanaan (substantif) di Indonesia saat ini (Ius constitutum) dan bagaimanakah prospeknya di masa akan datang (ius constituendum).

Secara yuridis-formal bahwa pada awalnya dalam hukum pidana Indonesia, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana. Manusia alamiah (natural person) merupakan satu-satunya yang dikenal sebagai subjek hukum pidana pada saat itu. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui ketentuan dalam KUHP (WvS)  yang memandang suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia, yakni khususnya dalam formulasi Pasal 59 KUHP (WvS) yang berbunyi:

“Dalam hal-hal di mana pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.

Lebih jelas lagi, bahwa dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pasal 51 Ned.WvS (Pasal 59 KUHP/WvS) dinyatakan: “suatu strafbaarfeit hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum (dibaca: korporasi, pen.) tidak berlaku di bidang hukum pidana” (A.Z. Abidin dkk, 1962: 14).

Pemikiran tersebut di atas pada hakikatnya dilatar belakangi karena di Negeri Belanda pada saat KUHP (WvS) dirumuskan oleh para penyusunnya pada tahun 1886, adalah menerima asas “societas/ universitas delinquere non potes” bahwa badan hukum atau perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana (Muladi, 2002: 157).

Kendatipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan zaman yang memberi peranan strategis kepada korporasi pada kegiatan sehari- hari dalam lapisan masyarakat mendorong untuk dilakukannya terobosan baru. Seperti dalam KUHP Belanda saat ini saja telah mengalami perubahan besar dari KUHP Belanda terdahulu, khususnya terkait korporasi. Dasar hukum mengenai korporasi sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana ada dalam KUHP Belanda, yang ditetapkan pada tanggal 23 Juni 1976 khususnya dalam formulasi Pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan antara lain:

a. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perseorangan maupun oleh korporasi;

b. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan (maatregelen) yang disediakan dalam perundang- undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap:

1) Korporasi sendiri, atau

2) Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau

3) Korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung-renteng

c. Berkenaan dengan penerapan butir- butir sebelumnya yang disamakan dengan korporasi adalah persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdata), redenj (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu, social fund (yayasan) (Remmelink, 2003: 98-103).

Adalah merupakan sebuah realita, bahwa dewasa ini korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana sekaligus yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sudah bergeser. Doktrin yang mewarnai WvS Belanda 1886 yakni, “societas /universitas delinquere non potes” sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional. Menurut Rolling pembuat delik memasukkan korporasi ke dalam functioneel daderschap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan mempunyai banyak fungsi, yaitu sebagai pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-lain (Muladi dan Priyatno, 2008: 17).

Selanjutnya patut dikemukakan juga pandangan Pujiyono, bahwa pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di tiap negara, termasuk Indonesia. Namun  pada akhirnya ada kesamaan pandangan, yaitu adanya perkembangan industrialisasi dan kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan telah mendorong pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natuurlijke persoon) tetapi meliputi pula korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu dapat pula dilakukan oleh korporasi (Pujiyono, 2019: 7-8).

Di Indonesia, pergeseran manusia sebagai satu-satunya subjek tindak pidana mulai terlihat dalam UU Khusus di luar KUHP (Lex Specialis). Sebagaimana pernah diungkap oleh Sudarto berikut ini: misalnya dalam “Ordonansi Barang-Barang  Yang Diawasi” (S.1948 295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakukan tindak  pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Kemudian juga terlihat dalam “Ordonansi Obat Bius” (S. 27–278 Jo. 33–368) Pasal 25 ayat (7). Serta dalam Pen. Pres. tentang “Pemberantasan Kegiatan Subversi” (No.11/1963). (Sudarto, 2009: 102)

Lebih tegas lagi, adalah tampak dalam UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang secara tegas menyebutkan “badan hukum” sebagai subjek hukum, khususnya dalam formulasi Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi:

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.

Beranjak ke uraian berikutnya, adalah menarik sekali untuk dicermati berbagai UU yang mengakui eksistensi korporasi sebagai subjek hukum pidana. Seperti  dalam  ketentuan  formulasi  Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang berbunyi: “Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai dengan jenis   dan   derajat kecacatan,  pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya sesuai dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan”. Kemudian dalam Penjelasan Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1997 tersebut dinyatakan bahwa: “Perusahaan negara meliputi BUMN dan BUMD sedang perusahaan swasta termasuk di dalamnya koperasi”. Dengan demikian, menurut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tersebut, jelas sudah mengenal subjek hukum berupa korporasi.

Sebagai bahan pembanding, maka dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, khususnya ketentuan formulasi Pasal 1 angka 9 yang menyebutkan  bahwa: “setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Selanjutnya, Pasal 1 angka 10 menyebutkan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Dengan demikian, menurut UU TPPU subjek hukum pidana yang diakui dalam tindak pidana pencucian uang tidak hanya “orang perseorangan” tetapi juga “korporasi”.

Sementara itu, apabila kita cermati pada produk legislasi nasional lainnya, misal ketentuan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 1 ayat (14), dinyatakan bahwa “pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan”.

Jadi dari formulasi beberapa UU di atas, tersusun analisis sebagai berikut:

a. Bahwa terdapat “penyebutan istilah” yang masih berbeda-beda/ belum seragam. UU Penyandang Cacat menggunakan istilah “perusahaan negara dan swasta”, sementara UU TPPU sudah secara eksplisit menggunakan istilah “Korporasi”, namun demikian UU Perdagangan tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek tindak pidana secara tegas tetapi hanya dengan menggunakan istilah “badan usaha”.

b. Bahwa terhadap “penempatan istilah dan pengertian korporasi” juga masih beragam. UU TPPU dan UU Perdagangan telah menempatkan rumusan istilah dan pengertian korporasi ke dalam ketentuan umum (Pasal 1), sementara itu UU Penyandang Cacat menempatkan istilah korporasi ke dalam pasal tersendiri dan pengertian korporasi ke dalam penjelasan pasal yang bersangkutan.

c. Bahwa satu hal menarik yang juga patut dikemukakan, bahwa pemaknaan terhadap korporasi dalam UU Penyandang Cacat masih terbatas pada badan hukum saja. Sementara UU TPPU dan UU Perdagangan sudah mencakup korporasi, baik yang berupa badan hukum maupun non badan hukum Patut dikemukakan pandangan Barda Nawawi Arief dalam bukunya “Kapita Selekta Hukum Pidana” yang menyimpulkan bahwa pengertian korporasi di setiap Undang-Undang Khusus yang memuat istilah korporasi adalah sebagai berikut:

a. Pengertian korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam UU khusus.

b. Pada awalnya tidak digunakan istilah “korporasi”, tapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten.

c. Istilah korporasi mulai terlihat pada tahun 1977 dalam UU Psikotropika dan dipengaruhi istilah dalam konsep KUHP 1993.

d. Umumnya istilah korporasi dimuat dalam ketentuan umum (Pasal 1), tetapi ada juga yang memasukkan dalam penjelasan pasal yang bersangkutan (Arief, 2013: 179).

Sementara itu, apabila melihat prospek ke depannya terkait pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka kita bisa melihatnya ke dalam RUU KUHP Baru. Sebab pada hakikatnya penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional yang baru untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan (pembaharuan-pen.) hukum pidana nasional (Soponyono, 2017: 1).

Eksistensi korporasi sebagai subjek tindak pidana tersebut tampak dalam Ketentuan Formulasi Pasal 45 ayat (1) RUU KUHP 2019, ditegaskan bahwa Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Lebih lanjut, dalam ketentuan formulasi Pasal 45 ayat (2) RUU KUHP 2019 dinyatakan bahwa: “Korporasi sebagaimana dimaksud ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Akhirnya, patut untuk diperhatikan pula penjelasan umum RUU KUHP 2019 Buku ke I, khususnya pada butir ke-5 yang menyatakan bahwa: Karena kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, terutama di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi baik yang bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi hanya pada manusia alamiah tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana dan dapat pula memperoleh keuntungan dari suatu tindak pidana. Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329