Secara geografis, negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.504 pulau, garis pantai sepanjang 108.000 km, dan memiliki total luas sebesar 8,3 juta kilometer persegi (km2) serta menghubungkan dua benua dan dua samudra sehingga menempati posisi yang sangat strategis dalam rute pelayaran dan perdagangan global. (Mas Turi et al., 2023). Hal tersebut memberikan nilai yang sangat strategis pada Indonesia terutama dalam aspek ekonomi dan militer sebab menghubungkan kepentingan berbagai negara di wilayah utara, selatan, dan barat. Dengan didukung dengan sumber daya alam yang beragam dan berlimpah, Indonesia memiliki potensi menjadi poros maritim dunia sehingga kondisi ini tentu menguntungkan negara. Namun, dengan keuntungan demikian tentunya membawa konsekuensi bagi Indonesia yakni rentannya tindak kejahatan yang terjadi di laut, yang dapat memberikan celah bagi pihak tertentu untuk masuk dalam yurisdiksi Indonesia dan memanfaatkan sumber daya alam secara illegal seperti illegal logging, illegal fishing, illegal entry, dan illegal mining. Permasalahan lain yang dapat terjadi di laut seperti kejahatan transnasional, perompakan, penyeludupan, dan lainnya. (Darajati & Syafei, 2018)
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, Indonesia memiliki 13 instansi/lembaga yang beroperasi di laut. Dari keseluruhan, hanya 6 lembaga yang memiliki satgas patrol di laut dan 7 lembaga lainnya tidak memiliki satgas patrol di laut. (Naskah Akademik RUU Kelautan, n.d.) Lembaga penegak hukum yang memiliki satgas patroli di laut, yakni:
Sistem kelembagaan tersebut dikenal dengan istilah multi agent systems. Banyaknya instansi yang diberikan atribusi oleh pembuat undang-undang untuk menjaga keselamatan dan keamanan di laut tidak serta merta memberikan dampak yang positif. Hal tersebut disebabkan banyaknya lembaga yang memiliki kewenangan akan memungkinkan terjadinya miskoordinasi dalam pelaksanaan tugasnya. Kemungkinan terjadi persepsi kewenangan dan mengarah pada ego sektoral akan berimplikasi pada penyelesaian permasalahan penegakan hukum dan keamanan di laut akan menjadi tidak efektif dan efisien.
Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, guna mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penjagaan keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia maka dibentuk suatu badan melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) (Darajati & Syafei, 2018). Kehadiran Bakorkamla ditujukan untuk mengkoordinasikan seluruh penyusunan kegiatan dan operasi keamanan laut secara terpadu. Dengan kehadiran Bakorkamla, tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada di laut sehingga dinilai kurang efektif. Hal tersebut disebabkan adanya kerugian dalam pelaksanaan penegak hukum, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan memberikan implikasi buruk terhadap citra Indonesia di mata dunia. Contohnya ialah ketidakmampuan Indonesia dalam memelihara keselamatan dan keamanan perairan, terutama di Selat Malaka. Indonesia dinobatkan sebagai wilayah dengan navigasi laut paling tidak aman di dunia akibat masih maraknya pembajakan kapal dan perompakan bersenjata sehingga menimbulkan beban asuransi maritim yang membengkak (Darajati & Syafei, 2018). Bukti ketidakefisienan dari Bakorkamla menunjukkan bahwa Sistem Multy Agency Single Task tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Akibat dari ketidakefektifan lembaga tersebut, maka dibentuklah suatu lembaga khusus yang memiliki sifat tunggal dan integratif, yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla). Badan Keamanan Laut (Bakamla) adalah lembaga pemerintah yang disahkan oleh undang-undang sebagai penegak hukum di wilayah laut. Dasar hukum pembentukan Bakamla RI didasarkan pada Peraturan Presiden No. 178 Tahun 2014 tentang Bakamla. Di kancah Internasional, Bakamla menggunakan istilah Indonesia Coast Guard guna (ICG) guna menunjukkan eksistensinya dalam kegiatan yang berhubungan dengan coast guard negara lain. Bakamla RI merupakan institusi yang dibentuk untuk menggantikan Bakorkamla yang mana sistem kelembagaan yang digunakan dalam Bakamla ialah Single Agency Multy Tasks. Dalam sistem ini, lembaga sebagai badan tunggal, integratif dan memegang komando atas seluruh instansi penegak hukum lainnya tanpa menghilangkan kewenangan yang ada. (Mas Turi et al., 2023).
Kewenangan Bakamla dalam Menjaga Kedaulatan Wilayah Perairan di Indonesia dalam UU Kelautan dan RUU Kelautan
1. Kewenangan Bakamla dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Bakamla memiliki peran penting sebagai penjaga keamanan dan penegak hukum di wilayah perairan Indonesia. UU ini memberikan landasan hukum bagi Bakamla untuk melakukan patroli, penindakan, dan operasi keamanan di laut. Pasal 60 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menyebutkan bahwa terdapat tiga wewenang dari Bakamla, yakni:
UU Nomor 32 Tahun 2014 memberikan tiga kewenangan utama kepada Bakamla, namun kewenangan ini terbatas pada tindakan awal seperti pengejaran seketika dan penyerahan kapal ke instansi terkait. Hal ini bisa menghambat efektivitas penegakan hukum karena Bakamla tidak memiliki wewenang penuh untuk menyelesaikan proses hukum sendiri. Proses hukum yang melibatkan banyak instansi berpotensi menimbulkan birokrasi yang berbelit-belit dan lambat. UU ini juga tidak memberikan Bakamla kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran di laut. Hal tersebut menimbulkan ketergantungan pada instansi lain, yang dapat menyebabkan kurangnya koordinasi dan efisiensi dalam menangani pelanggaran di laut.
2. Kewenangan Bakamla dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014
Urgensi penyusunan RUU dilandasi sebab peraturan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku saat ini belum sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pengaturan mengenai penegakan hukum belum komprehensif. RUU ini diharapkan dapat memperkuat landasan hukum dan kewenangan Bakamla, sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan lebih optimal. Pasal 63 RUU Kelautan menyebutkan bahwa terdapat 8 kewenangan Bakamla, yakni :
Dalam RUU tersebut, terdapat 5 penambahan kewenangan Bakamla. Perluasan kewenangan Bakamla tidak akan merugikan TNI-AL dan Polairud melainkan memperkuat penegakan hukum di laut melalui pembagian tugas dan koordinasi yang jelas. TNI AL tetap fokus pada pertahanan negara dan operasi militer, sementara Bakamla menangani penegakan hukum di laut, termasuk penyidikan dan penuntutan pelanggaran. RUU ini mengharuskan Bakamla untuk berkoordinasi dengan instansi dan bekerja sesuai keahlian. Dengan kewenangan yang diperluas, Bakamla dapat segera menindak pelanggaran tanpa menunggu intervensi dari instansi lain. Namun, masih terdapat kewenangan Bakamla yang belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni kewenangan penyidikan oleh Bakamla yang bertentangan dengan Pasal 6 KUHAP.
Strategi Bakamla dalam Penegakan Hukum Keamanan Laut di Wilayah Perairan Indonesia
1. Penambahan Personel Bakamla
Penambahan personel pada Bakamla merupakan langkah strategis untuk meningkatkan efektivitas operasionalnya. Berdasarkan paparan dari Bakamla Zona Maritim Barat, kondisi terkini mengindikasikan bahwa Bakamla tidak hanya mengalami keterbatasan dalam mengakomodasi luas wilayah, tetapi juga mengalami kekurangan personel. Keterbatasan alutsista juga menjadi salah satu alasan marak terjadinya pelanggaran di wilayah tersebut. Hal ini bukan disebabkan oleh ketidakmaksimalan sistem kerja Bakamla, melainkan karena meskipun pelanggaran telah terdeteksi melalui sistem deteksi dini seperti AIS, radar, pemantauan, atau intelijen, namun tidak adanya unsur yang siap di lokasi untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut menjadi kendala utama.
2. Integrasi Sistem Informasi
Penguatan Integrasi Sistem Informasi akan berimplikasi menciptakan sistem koordinasi yang baik. Hal ini perlu dilakukan karena Bakamla RI dibentuk untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang berhubungan dengan keselamatan dan keamanan di laut yang melibatkan banyak instansi di dalamnya.
3. Regulasi Hukum yang Memadai
Dalam rangka perancangan sistem pengawasan dan pemeliharaan keamanan nasional khususnya wilayah laut maka pembentukan dasar hukum yang memadai dapat menegaskan tupoksi dari Bakamla. Hal ini urgen untuk dilaksanakan mengingat banyaknya regulasi hukum yang ada sehingga menyebabkan tumpang tindih kewenangan.
4. Pengembangan Teknologi
Dengan perkembangan teknologi, Bakamla dapat meningkatkan efektivitas patroli harian mereka. Teknologi canggih memungkinkan Bakamla mengurangi jumlah personel yang harus turun ke lapangan. Sebagian besar personel dapat mengawasi dan mengendalikan operasi dari jarak jauh melalui layar monitor. (Daniel, 2023)
Secara keseluruhan, Bakamla memainkan peran vital dalam menjaga kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan memberikan kewenangan terbatas kepada Bakamla yang mencakup tindakan awal seperti pengejaran seketika dan penyerahan pelanggar ke instansi terkait yang akan menghambat efektivitas penegakan hukum karena ketergantungan pada instansi lain. Hadirnya RUU kelautan memberikan perluasan kewenangan Bakamla yang mencakup penyidikan pelanggaran hukum di laut, pelaksanaan kegiatan intelijen, dan tindakan agresif terhadap kapal yang melanggar hukum. Perluasan ini bertujuan meningkatkan otonomi Bakamla dan efektivitas penegakan hukum, namun menimbulkan potensi konflik dengan instansi lain seperti TNI Angkatan Laut dan Polairud. Oleh karena itu, RUU ini perlu memperjelas batas-batas kewenangan Bakamla untuk menghindari tumpang tindih dan ego sektoral, serta memastikan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti UUD NRI Tahun 1945 dan KUHAP. Dengan demikian, Indonesia dapat lebih baik dalam menghadapi berbagai ancaman di laut dan menjaga kedaulatan maritimnya.