Beberapa waktu lalu, ramai dibincangkan mengenai: seorang warga ‘diancam’ sanksi secara adat, karena suatu pernyataannya yang, dianggap ‘menghina’ sebuah wilayah, dimana pada wilayah itu, hukum adat dijunjung tinggi. Peristiwa itu, mendeskripsikan kepada kita, mengenai suatu fakta, bahwa seorang warga negara, yang dengan status demikian, (citizen) terikat hukum positif (atas dirinya), tetapi pada saat bersamaan, juga ‘terancam’ keberlakuan suatu bentuk hukum, yang ada ‘di luar’ sistem hukum positif, sebagai hukum adat (living law).
Dalam kasus ini, seorang warga yang hidup dalam negara hukum modern dengan akar kebudayaan tradisional, harus menghadapi ‘konsekuensi logis’ dari dua realitas sistem hukum yang hidup ‘berdampingan’, yang keberadaanya tidak dapat dipungkiri, yakni eksistensi modern law system dan tradisional law sistem.
Tulisan ini tidak bermasud mengurai ‘benturan’ sistem hukum tersebut, secara kasuistik. Hal yang menarik bukan persinggungan sistem, oleh karena adanya kasus yang bersifat khusus, dan memungkinkan seseorang warga dapat ‘diseret’ dalam mekanisme peradilan adat, ketika scope legal positivism, tidak dapat menyentuh ‘perbuatan salahnya”. Hal yang esensial adalah paradigma, historikal dan kekuatan potensial yang menyokong pertumbuhan eksistensial kedua sistem hukum tersebut, meskipun dalam ruang tulisan yang terbatas ini.
Sejarawan hukum mencatat jenis dan model hukum, dari beragam kehidupan masyarakat manusia, dari waktu lampau hingga waktu kini. Von Savigny (1779-1861), seorang tokoh pemikir hukum Jerman, dikaitkan dengan kepeloporan dalam gagasan sejarah hukum berkenaan dengan perkebangan paradigma sistem hukum dalam sejarah kehidupan manusia.
Penekanannya, bahwa hukum suatu bangsa adalah ekspresi jiwa dari bangsa tersebut, sehingga senantiasa terdapat perbedaan satu sama lain. Perbedaan itu biasanya pada karakteristik pertumbuhan yang dialami masing-masing sistem hukum. Jika sistem hukum itu terus bertumbuh, maka diartikan terjadi hubungan yang tidak terputus antara sistem lampau dengan sekarang, dan bahwa sistem hukum itu, dibentuk oleh proses yang berlangsung pada masa lampau.
Jika dikategorisasi, dari apa yang dibangun para seajarwan hukum, sistem hukum umat manusia itu, terbagi dua: (1) sistem hukum yang bersumber dari kebenaran wahyu ilahi dan (2) sistem hukum yang kebenarannya bersumber dari kebenaran akal filosofis, dan/atau rasio ilmiah manusia. Kedua model sistem hukum ini membelah sejarah hukum manusia dalam dua poros paradigma yang dikotomis, yakni tradisionalisme dan modernisme.
Dalam persfektif sejarah hukum: hukum, sepanjang sejarah manusia, dipengaruhi oleh (pertama) dogma religius/spiritual (wahyu ilahi), (kedua) ajaran filsafat berkenaan dengan Alam, dimana rasionalisme menjasi dasar keberadaan hukum. (ketiga) ajaran positivisme, dimana hukum adalah produk kekuasaan negara secara tertulis, dengan ‘pengalaman real’ (empirisme) sebagai ukuran utama kebenaran hukum. Dua pengaruh yang pertama dapat digolongkan dalam paradigma tradisionalisme dan yang ketiga, sebagai paradigma modernisme.
Tradisionalisme bermula ketika ‘hukum sebagai kehendak Tuhan’ dan berakhir ketika diawalinya sejarah baru dimana ‘hukum sebagai perwujudan kehendak manusia’. Dogma agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci umat-umat beragama, cukup kuat mempengaruhi sistem kehidupan maysyarakat manusia, sejak awal sejarah, abad tradisional. Sebagaimana kuatnya dogma ilmiah, yang mendorong pertumbuhan hukum manusia di abad modern. Ini bermakna bahwa peradaban masyarakat mewarisi dua gagasan fundamental dalam kehidupan hukumnya, yakni traditionalisme law paradigm dan modern law paradigm.
Warisan ini, sekaligus menjasi sumbu seteru manusia dalam usaha mendapatkan kehidupan hukum ‘ideal’. Persinggungan tradisionalisme dan modernisme dalam peradaban hukum, menimbulkan turbulensi sebagai refleksi korektif atas keduanya, secara sistemik.
Arus utama tiga abad terakhir sejarah berjalan konstan di jalur modernisasi. Semua Negara meletakkan mimpi dalam modernisasi sebagai cita mutlak. Sebuah gejala dimana modernisme merasuk masif ke sumsum kesadaran dunia. Hingga abad mutakhir, peradaban hukum juga terus disempurnakan dalam status kompleksitas hukum modern, sebagai modern law system.
Hukum Dijalan Bersisian
Di negeri Timur, organisasi politik modern (Negara) didirikan sebagai refleksi atas fenomena kolonialisasi. Dalam kerangka kekuasaan negara, hukum modern beroperasi beriringan hukum tradisi. Namun hegemoni hukum modern sebagai produk negara, membuat hukum tradisi seperti bayangan timbul tenggelam. Sedemikian senyapnya, operasional hukum tradisi seringkali tak terpandang oleh mata.
Hukum modern menempati posisi dominan dalam model kebijakan negera, termasuk pada negera berbasis nilai adat ketimuran (tradisionalisme). Dimana pada sejarah lampau, hukum tradisi pernah menduduki tahta dalam kehidupan masyarakat. Hukum negara bercorak modern dalam praktiknya menimbulkan dikotomi. Corak tertulis dan tidak tertulis menjadi obyek dikotomis paling nyata diantara keduanya. Kekuatan politis negara sebagai dasar eksistensi hukum modern merupakan centrum fundamental pendorong dikotomi diametral terhadap hukum berkarakter tradisional.
Implikasi nyata keberadaan hukum modern adalah hegemoni. Kebijakan pemerintah bidang hukum, terutama negara yang mengusahakan kemajuan ekonomi, telah melumpuhkan hukum tradisi. Kebijakan developmentalism ‘mengharuskan’ negara mengeliminir peran-peran tradisional karena ‘diasumsikan’ menghalangi pembangunan ekonomi. Hukum modern difungsikan utuh sebagai intrumen rekayasa sosial, demi tujuan-tujuan bersifat materialistik, sebagai pengaruh gagasan modernisme.
Pada fase ini, menjadi awal bagi hukum tradisi mengalami ‘ketakberdayaan’, sebagai penyanggah peradaban masyarakat. Motif ‘tersembunyi’ kapitalisme disetiap lipatan kebijakan pembangunan, menjadi sumber kelumpuhan tradisi. Kebijakan negara ‘memandang sebelah mata’ aras peradaban masyarakat tersebut. Hal ini, karena paradigma pembangunan menekankan progresifitas perkembangan ekonomi. Sementara tradisi, baik sebagai paradigma maupun elemen fungsional, dianggap tidak mampu mendorong kemajuan sebagaimana dikehendaki gagasan dan motif modern.
Meski hegemonitas hukum modern masif, namun tradisionalisme hukum tetap bertahan hidup ditengah keterbatasan. Di beberapa wilayah hukum tradisional masih bekerja menyanggah prikehidupan masyarakat, terutama di lingkungan ‘masyarakat hukum adat’. Walaupun skala jangkauan keberlakuan hukumnya kecil, sebatas masyarakat yang memegang nilai kearifaan tradisi, dalam geo-yuris masyarakat Adat.
Pluralitas Hukum
Sejak modernisasi mengalami perlintasan cepat, efektif, efesien antar negara melalui jalur revolusi tehnologi diberbagai bidang, terutama transportasi, informasi dan komunikasi, globalisasi menjadi fenomena tak terelakkan. Globalitas kemudian menjelma globalisme.
Globalitas membawa konsekuensi terbangunnya sistem hukum tunggal. Walaupun menjadi harapan tak tentu. Kecenderungan globalisme ingin membangun keseragaman nilai bagi dunia, banyak mengalami tantangan dari keberadaan hukum tradisi dalam ‘meliu’ lokalitas bangsa-bangsa setiap negara.
Hukum-hukum tradisi terus membayangi hukum modern yang terglobalisasikan. Kehadirannya menjadi ‘saingan’ mengkawatirkan. Motif hukum global modern yang bermaksud pada penyeragaman menjadi terancam, ditengah kenyataan pluralitas hukum tradisi bangsa-bangsa dunia.
Bahwa, tidak semua elemen dasar kehidupan manusia dapat dimodernisasi, menjadi koreksi langsung sistem modernisasi hukum yang dibangun masyarakat global. Akar nilai hukum tradisi mampu bertahan di relung jiwa masyarakat tradisi. Karena sifat sublimitasnya mengandung spritualitas, moral dan etik tinggi dari akar nilai bersifat religius. Sementara tawaran nilai hukum modern global hanya menyentuh watak profan masyarakat.
Dua sisi paradigma nilai yang berbenturan secara diametral. Oleh karena itu, makna pluralitas hukum dalam posisi ini menjadi penting artinya. Pluralistas hukum merupakan kondisi dimana sistem hukum beragam tumbuh dan berkembang secara harmonis. Brian Z. Tamanaha (2008), menyebut legal pluralism is everywhere. Sebuah ungkapan yang meniscayakan, bahwa keragaman sistem normatif dalam kehidupan masyarakat, sesuatu yang bersifat pasti. Tidak ada satu sistem norma yang berlaku tunggal, mutlak.
Oleh sebab itu, tendensi penyeragaman motif ‘profan’ sistem hukum modern hanyalah lamunan ilmiah yang, akan memperburuk kondisi natural-plural kehidupan manusia. Karena hakikat keberadaan manusia, salah satunya adalah keberagaman.
Della (2013), menyatakan: pluralisme hukum memberikan penjelasan terhadap kenyataan adanya tertib sosial, yang bukan hanya bagian dari keteraturan hukum negara. Tetapi, pandangan sentralistik berpendapat bahwa satu-satunya institusi yang berperan menciptakan keteraturan sosial adalah negara melalui hukum. Pada realitanya, banyak terdapat ‘kekuatan lain’ yang tidak berasal dari negara. Diantaranya, hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan, perjanjian-perjanjian perdagangan lintas bangsa dan sebagainya.
Maka pluralitas hukum dapat diandalkan sebagai jawaban atas hasrat berhukum manusia, dalam kehidupannya. Selain pluralitas itu merupakan substansi kehidupan sosial, keberagaman hukum juga memiliki landas historis panjang; merentang dari jejak awal masyarakat tradisi itu sendiri, hingga di ambang senja sejarah post-modern, saat ini.