Kemajuan atau kemunduran demokrasi seringkali dikaitkan dengan kebebasan setiap warga untuk berpartisipasi dalam berpolitik (Civil Rights), dan kebebasan berekspresi (Civil Liberties). Kedua aspek tersebut memang merupakan salah satu aspek fundamental dari demokrasi, sehingga dapat diperoleh kuantifikasi mengenai perkembangan demokrasi. Situs freedomhouse.org, mengkuantifikasi demokrasi di Indonesia dengan nilai 59/100, (bebas sebagian).(Redaksi Freedomhouse.org, 2022) Dengan nilai tersebut, dapat dikatakan demokrasi masih dalam kata wajar, meski tidak juga dikatakan baik sekali. Namun, cukupkah kuantifikasi tersebut untuk tidak membuat kita khawatir mengenai kemunduran demokrasi lagi? Apabila hanya mematenkan penilaian hanya pada indikator kuantitatif tersebut, sepintas memang demokrasi konstitusional Indonesia dapat dikatakan sedang baik-baik saja. Namun, hal tersebut akan berlaku kebalikan, ketika melihatnya secara kualitatif berdasarkan teori kemunduran konstitusional, dikaitkan dengan kondisi terkini demokrasi di Indonesia dari beberapa macam aspek. Aziz Huq dan Tom Ginsburg, memberikan 5 indikator kemunduran konstitusional yang apabila ditelaah secara mendalam, dapat mengungkapkan seperti apa wajah demokrasi Indonesia sebenarnya.(Aziz Z. Huq & Tom Ginsburg, 2018) 5 indikator tersebut diantaranya:
Pertama, amandemen konstitusi untuk kepentingan anti-demokratis. Konstitusi Negara, secara teoritik merupakan kesepakatan (kontrak sosial) tertinggi yang dibuat oleh warga dengan para pemimpinnya.(Jean Jacques Rousseau, 2007) Maka dari itu, mengubah/mengamandemen konstitusi sebenarnya merupakan hal yang wajar selagi mendapatkan persetujuan rakyat. Namun, perubahan konstitusi belakangan ini perlu menjadi kehati-hatian, atau justru kekhawatiran. Seperti yang terjadi di Rusia, perubahan konstitusi pada tahun 2020 mengarah pada tujuan non-demokratis, yang membuat Vladimir Putin dapat melanjutkan kekuasaannya hingga usia 83 tahun. Wacana perubahan konstitusi di Indonesia akhir-akhir ini, juga mengarah kepada kepentingan yang non-demokratis, seperti perpanjangan masa jabatan Presiden, penundaan pemilu. Hal ini perlu menjadi kekhawatiran kita bersama, terlebih apabila opini publik sengaja dikendalikan oleh elit-elit yang berkuasa untuk mendukung wacana anti-demokrasi.
Kedua, Distorsi terhadap lembaga penegak hukum (the elimination of institutional checks). Melihat perkembangan kondisi ketatanegaraan Indonesia saat ini, dapat dikatakan dalam fase yang cukup mengkhawatirkan. Distorsi terhadap lembaga penegakan hukum, akan mempengaruhi performa penegakan hukum tidak lagi ke arah yang positif. Kondisi terkini di Indonesia, dapat dilihat dari bagaimana upaya campur tangan elit melalui legislasi untuk mengurangi performa, serta independensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Distorsi terhadap independensi KPK, dimulai dengan melakukan revisi undang-undang KPK yang justru tidak melibatkan KPK. Terlebih lagi, penjaringan aspirasi mengenai perubahan undang-undang KPK dilakukan secara pilih-pilih, serta tidak melibatkan partisipasi publik secara luas. Pemecatan pegawai KPK juga dilakukan secara tidak humanis, dengan menggunakan instrumen Tes Wawasan Kebangsaan yang belakangan oleh Ombudsman dan Komnas HAM dinyatakan merupakan maladministrasi dan melanggar HAM.
Selanjutnya, distorsi kepada Mahkamah Konstitusi mula-mula dilakukan dengan cara merubah undang-undang, yang hanya terfokus pada penambahan masa jabatan Hakim. Perubahan masa jabatan Hakim Konstitusi ini, perlu dicurigai sebagai gratifikasi konstitusional, dan tukar menukar kepentingan antara Pemerintah, DPR, dan MK. Sulit untuk dipercaya, bahwa perubahan masa jabatan Hakim Konstitusi tersebut bebas dari kepentingan, terlebih perubahan undang-undang tersebut langsung berlaku untuk Hakim yang saat ini menjabat. Perusakan independensi MK, dapat dilihat pula dalam peristiwa pencopotan hakim konstitusi aswanto yang tidak dilakukan secara prosedural berdasarkan UU MK. Alasan penggantiannya pun cukup mengkhawatirkan, sebagaimana disampaikan oleh Ketua Komisi III Bambang Pacul, penggantian tersebut dilakukan karena menurutnya, hakim MK yang diusulkan oleh DPR harus merepresentasikan pandangan DPR.
Ketiga, sentralisasi dan politisasi kekuasaan eksekutif (Centralizing and Politization Excecutive Power). Sudah menjadi hal yang rahasia umum, bahwa pemerintahan presidensial di Indonesia selalu merangkul koalisi gemuk di parlemen. Tujuan untuk merangkul koalisi pendukung pemerintah tersebut, adalah untuk mewujudkan pemerintahan presidensial yang efektif. Pada kondisi saat ini, mayoritas partai di parlemen adalah pendukung pemerintah. Bahkan, oposisi tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengimbangi kekuatan koalisi pemerintahan presiden Jokowi. Namun, koalisi dibangun tidak berdasarkan kesamaan tujuan-tujuan yang bernilai ideologis, melainkan pragmatis. Misalnya dengan pembagian jabatan menteri, serta jabatan komisaris BUMN, hingga jabatan politik lain yang ditunjuk langsung oleh Presiden. Mayoritas orang-orang yang ditunjuk sebagai pemegang jabatan politik adalah merupakan bawaan partai koalisi. Hal ini tentu merupakan sebuah kontrak politik yang wajar, namun yang perlu menjadi kekhwatiran adalah kesepakatan tersebut tidak dibangun atas dasar kesamaan visi dengan Presiden. Kesepakatan politik semacam ini hanya dibangun atas dasar alasan untuk mengamankan agenda pemerintah dari gangguan partai di DPR, daripada kesamaan visi-misi antara Presiden dan koalisinya. Kondisi tersebut tentu tidak baik untuk demokrasi, karena DPR yang seharusnya menjadi corong aspirasi publik justru berpihak kepada kepentingan pragmatisnya semata, dan mengabaikan nilai-nilai perjuangan, visi-misi, serta platform kepartaiannya. Bahkan kepentingan privat, serta kepentingan anti-demokrasi saat ini sangat mudah berhembus, tanpa ada kontrol seimbang dari parlemen seperti yang seharusnya diharapkan.
Keempat, menghancurkan kebebasan publik (Shrinking the Public Sphere). Pada aspek yang keempat ini, mungkin seolah-olah kebebasan publik untuk berekspresi tidak pernah dibatasi oleh pemerintah. Publik masih dibebaskan untuk menyuarakan ekspresinya terhadap pemerintah, berbeda halnya jika melihat negara-negara Cina dan Rusia yang bahkan media sosial pun diblokir, dilarang, hingga digunakan sebagai alat propaganda pemerintah. Indonesia membebaskan setiap warga negara untuk berekspresi di manapun tempatnya, dalam bentuk demonstrasi, ataupun mengkampanyekan ekspresinya di media sosial. Namun, beberapa hal yang dapat berpotensi menjungkir-balikkan nilai demokrasi di Indonesia adalah instrumen hukum seperti UU ITE yang seringkali menjadi ketakutan bagi sebagian besar orang untuk berekspresi. Pasal-pasal mengenai ujaran kebencian (hate speech) dalam UU ITE, yang bisa dikatakan pasal yang fleksibel seringkali disalahgunakan dan memakan korban yang seharusnya dilindungi atas nama demokrasi. Meski demikian, mengenai kebebasan berekspresi agaknya perlu menjadi apresiasi tersendiri kepada pemerintah Indonesia. Beberapa waktu lalu pasal-pasal kontroversial mengenai penghinaan kepada kekuasaan umum dalam RKUHP dicabut agar tidak terjadi disparitas penegakan hukum. Poin ini juga merupakan keunggulan dari pemerintah saat ini, dalam upaya untuk mengembalikan demokrasi pada tempatnya. Meskipun secara keseluruhan, kebebasan berekspresi di indonesia belum dikatakan sangat baik, setidaknya masih belum menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan untuk saat ini.
Kelima, eliminasi Persaingan Politik (Elimination Political Competition). Apabila ditinjau secara umum, persaingan politik di Indonesia saat ini tergolong wajar, terbukti dengan dipermudahnya syarat untuk membuat partai politik, dan aturan-aturan pemilu yang berlaku sama bagi seluruh partai politik. Namun, apabila ditinjau lagi secara khusus, persaingan politik di Indonesia cenderung tidak sehat. Khususnya dalam pencalonan presiden, yang menggunakan kebijakan Presidensial Treshold 20%. Meskipun telah berkali-kali diujikan ke MK, norma ini tetap dipertahankan oleh MK, dan kebijakannya (ada/tidaknya norma tersebut) dikembalikan lagi kepada DPR (bersifat Open Legal Policy). Kondisi saat ini, tentu pengaturan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai aturan yang adil dan sangat bertendensi kepentingan untuk partai-partai besar. Dengan adanya ketentuan Presidensial Threshold 20%, tentu akan membatasi kompetisi pencalonan presiden hanya untuk partai politik/gabungan partai politik yang memiliki 20% suara di DPR. Padahal, figur presiden yang berkualitas, dan didukung oleh masyarakat sebenarnya ditentukan dari mana partainya, atau sebesar apa partainya. Bisa jadi justru, figur Presiden pilihan masyarakat saat ini tidak memiliki partai politik, ataupun basis dukungan partai yang kuat. Seperti contoh, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, yang sampai saat ini belum memiliki dukungan yang cukup, untuk sekedar mencalonkan sebagai presiden. padahal, kedua figur tersebut memiliki dukungan masyarakat yang cukup masif.