Pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal ini telah diatur dalam rumusan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung d idalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan pasal ini bukan sekadar memberikan petunjuk tentang susunan perekonomian dan wewenang negara, tetapi juga mencerminkan cita-cita dan suatu keyakinan yang dipegang teguh serta diperjuangkan secara konsisten oleh para pemimpin negara.
Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati oleh generasi masa kini dan masa depan secara berkelanjutan. Maka, pembangunan saat ini harus dilakukan secara optimal yaitu pemanfaatan sumber daya alam yang sebesar-besarnya untuk generasi sekarang tetapi tidak merusak lingkungan hidup, dan berkelanjutan kepada generasi berikutnya. Hal ini juga mengisyaratkan tujuan akhir dari pengelolaan sumber daya alam.
Dari persoalan inilah lahir konsep “Pembangunan Berkelanjutan” (Sustainable Development). Konsep ini diyakini dapat menjawab berbagai masalah dan tantangan perkembangan lingkungan dan pembangunan. Gagasan ini juga dijadikan sebagai pedoman dalam pengelolaan lingkungan hidup secara umum. Di Indonesia telah diupayakan dalam program dan strategi pengelolaan lingkungan semenjak ditetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) di dalam sidang umum PBB yang menjadi agenda global tahun 2030.
Sustainable Development Goals adalah kelanjutan, perluasan, improvisasi dari agenda MDGs yang diagendakan untuk pembangunan global di dunia yang diimplementasikan dalam kurun waktu 2015-2030 berdasarkan kesepakatan anggota United Nations. Terdapat 17 (tujuh belas) indikator dalam mencapai tujuan SDGs, yaitu: (1) tanpa kemiskinan; (2) tanpa kelaparan; (3) kehidupan sehat dan sejahtera; (4) pendidikan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) air bersih dan sanitasi layak; (7) bersih dan terjangkau; (8) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; (9) industri, inovasi, dan infrastruktur; (10) berkurangnya kesenjangan; (11) kota dan pemukiman yang berkelanjutan; (12) konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; (13) penanganan perubahan iklim; (14) ekosistem lautan; (15) ekosistem daratan; (16) perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh; (17) kemitraan untuk mencapai tujuan.
Negara Indonesia sendiri telah turut berkomitmen dalam agenda Sustainable Development Goals melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Berdasarkan peraturan tersebut, SDGs dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan, melindungi keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, melindungi kualitas lingkungan hidup, serta terlaksananya tata kelola yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan antar generasi mendatang.
TPB atau SDGs sebagai komitmen global dan nasional dalam upaya menjaga kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya mencakup 17 tujuan. Dengan 17 tujuan tersebut, maka ada hak-hak yang harus diterima masyarakat demi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
Setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu, landasan konstitusi juga memberikan jaminan pada Pasal 28H ayat (1) UUD NRI “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Keberadaan masyarakat akan efektif sekali jika perannya dalam mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada. Keterlibatan dan peran serta masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), yakni dalam Pasal 70.
Peran serta masyarakat didefinisikan sebagai usaha sistematik mengikutsertakan masyarakat dalam menyusun kebijakan dan mengambil keputusan. Peran serta masyarakat berarti melibatkan berbagai pihak dengan melaksanakan proses bersifat aktif dan inisiatif yang terwujud melalui upaya nyata yang mencakup aspek kehendak, kemampuan, serta kesempatan untuk ikut serta. Menurut Koesnadi, hakikat-hakikat perlunya peran serta masyarakat adalah sebagai berikut: memberi akses informasi kepada pemerintah; meningkatkan kesanggupan masyarakat untuk menerima keputusan; membantu dalam perlindungan hukum; dan mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Terdapat 14 (empat belas) instrumen yuridis dalam UUPPLH sebagai upaya mencegah pencemaran maupun kerusakan lingkungan hidup, yakni salah satunya analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Analisis mengenai dampak lingkungan pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diubah oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan yang selanjutnya diubah lagi melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pasca lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) terdapat pembatasan terhadap masyarakat yang terdampak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan, yang mana objek kajian dalam penulisan ini terdapat pada Pasal 26 UUCK, yang mengalami perubahan di dalam UUPPLH. Tabel: Perbandingan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2021
Sumber: Undang-undang 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang 11 Tahun 2020
Dengan perbandingan yang telah dijelaskan di atas, maka urgensi yang timbul adalah mengenai terhadap pengurangan peran serta masyarakat dalam proses pembentukan dokumen Amdal. Masyarakat di sini dibatasi hanya pada masyarakat yang berada dalam wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan saja. Sedangkan masyarakat yang berbatasan langsung atau bahkan masyarakat yang berada di luar wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dapat mengajukan saran, pendapat dan tanggapan. Padahal mereka juga berkemungkinan akan terkena dampak dari kegiatan. Ini berarti bahwa masyarakat yang terlibat dalam pengambilan keputusan semakin dibatasi. Termasuk juga pemerhati lingkungan yang akan mewakili kepentingan lingkungan hidup, karena dampak pencemaran tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga makhluk hidup lain dan lingkungan.
Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal merupakan tahapan yang berada di hulu dari suatu kegiatan, oleh karenanya dengan peran serta masyarakat dapat menentukan masa depan dari pembangunan wilayah yang ditinggali dengan memberikan saran, masukan dan tanggapan kepada pemrakarsa maupun pemilik usaha. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Diana Conyers, salah satu pentingnya partisipasi masyarakat adalah untuk mendorong adanya partisipasi umum dan merupakan hak demokratis masyarakat itu sendiri.
Peran serta masyarakat mengalami perubahan dengan dikeluarkannya UUCK yang mana sebelumnya telah diatur di dalam UUPPLH. Pada UUPPLH dijelaskan di Pasal 26 ayat (3), yang selanjutnya mengklasifikasikan ada 3 (tiga) keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal. Selanjutnya di dalam Pasal 26 ayat (2) sebagaimana diubah dengan UUCK terjadi pengurangan yang mana sebelumnya di dalam UUPPLH terdapat 3 (tiga) peran serta masyarakat, yang mana kemudian justru hanya menjadi 1 (satu). Ini menjelaskan terjadinya pengurangan keikutsertaan masyarakat terhadap penyusunan dokumen Amdal. Terhadap frasa “masyarakat yang terkena dampak langsung”, termasuk bagaimana menentukan masyarakat terkena dampak langsung yang umumnya tidak dapat didekati hanya dengan wilayah administrasi usaha saja.
Semua ini tidak ada penjelasan sama sekali di dalam PP-PPLH. Juga terkait penghapusan “pemerhati lingkungan hidup” sebagai anggota penyusun Amdal membuat posisi pihak ketiga menjadi lemah. Selanjutnya, keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal selalu dibutuhkan mulai dari tahap awal hingga akhir. Masyarakat yang dilibatkan adalah masyarakat yang tinggal dan/atau beraktivitas di sekitar lokasi rencana kegiatan, yang disebut sebagai masyarakat terkena dampak dan masyarakat yang tidak tinggal dan/atau beraktivitas di sekitar lokasi rencana kegiatan, namun peduli terhadap rencana kegiatan dan dampaknya, yang disebut sebagai masyarakat pemerhati.
Implikasi pasca lahirnya UUCK terhadap UUPPLH yaitu terdapat pembatasan peran serta masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal dengan jangka waktu yang terlalu singkat untuk menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan. Selain itu, PP-PPLH juga tidak menyebutkan pernyataan bagaimana jika masyarakat menolak karena tidak diatur mekanisme untuk penolakan. Ketentuan ini terkesan bahwa masyarakat harus menerima rencana usaha dan/atau kegiatan. Pentingnya mengembalikan pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas keputusan penyusunan dokumen Amdal karena pemerhati lingkungan juga berperan penting dalam melindungi dan membela kepentingan masyarakat yang kurang akan pengetahuannya dalam proses penyusunan dokumen Amdal.