Isu atau wacana jabatan presiden tiga periode kembali bergulir ditengah ruang publik. Istilah kembali dipakai mengingat saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai presiden di periode kedua (2009-2014), isu jabatan presiden tiga periode muncul. Sayangnya isu tersebut berhenti begitu saja tanpa ditindaklanjuti dengan kebijakan yang relevan. Saat ini, isu tersebut kembali muncul, tepat saat Presiden Joko Widodo menjabat untuk yang kedua kali (2019-2024). Isu yang muncul berulang seperti ini, mungkin tidak perlu ditanggapi secara serius oleh publik. Terlebih Presiden Joko Widodo sebagai orang yang akan diusulkan menjabat tiga periode, secara tegas menolak usulan tersebut. Artinya untuk apa memerdebatkan isu yang tidak direstui oleh Presiden. Tapi dalam kenyataannya, isu tersebut bergulir cukup deras di ruang publik. Tidak heran jika kemudian terjadi perdebatan yang cukup pelik di ranah publik terutama di ranah media sosial. Pro dan kontra di masyarakat terjadi dengan begitu liar. Pertanyaannya adalah? Akankan isu tersebut berhenti begitu saja seperti yang pernah terjadi sebelumnya? Biarkan publik yang menentukan dan biarkan waktu yang menjawab.
Isu jabatan presiden tiga periode yang memberikan ruang perdebatan bagi publik mencerminkan bahwa isu tersebut mendapat perhatian publik. Namun sesungguhnya ada yang perlu dikritisi terhadap substansi isu jabatan presiden tiga periode. Kritik yang perlu dilayangkan adalah terkait dengan ketidakkonsistenan dalam berkonsensus. Menilik sejarah jabatan presiden tidak akan lepas dari amandemen konstitusi yaitu amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Salah satu materi dari amandemen UUD 1945 adalah terkait dengan pembatasan masa jabatan presiden. Kita ketahui bersama bahwa sebelum adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945, masa jabatan presiden yaitu selama lima tahun dalam satu periode, tetapi dapat dipilih kembali tanpa adanya batasan. Setelah adanya amandemen UUD NRI Tahun 1945, Pasal 7 konstitusi memberikan batasan terhadap masa jabatan presiden yaitu selama lima tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali satu kali saja. Histori ini telah jelas dan kita sepakati bahwa masa jabatan presiden dari lima tahun dengan beberapa periode (tidak terbatas) menjadi lima tahun dengan dua periode merupakan upaya pembatasan terhadap masa jabatan presiden.
Publik saat itu melihat perlunya kekuasaan presiden untuk dibatasi terkait dengan masa atau waktu. Salah satu tujuan dari pembatasan kekuasaan adalah untuk mencegah dari adanya kesewenang-wenangan dalam presiden menjalankan jabatan. Ingat pernyataan Lord Acton yang sangat terkenal yaitu “power tends to corrupt, and abolute power corrupt absolutely”. Adanya pembatasan kekuasaan melalui pembatasan masa jabatan diharapkan dapat menghilangkan dan meminimlaisir tindakan kesewenang-wenangan ataupun tindakan korup dalam menjalankan jabatan. Bayangkan jika masa jabatan presiden tidak dibatasi, maka akan ada potensi penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan dalam durasi yang lama. Oleh karena itu tepatlah jika kemudian pembatasan masa jabatan presiden perlu dilakukan. Alhasil, hal tersebut berhasil terwujud melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan konstitusi adalah hukum tertinggi dari negara. Hal ini sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 7 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019. Artinya UUD NRI Tahun 1945 merupakan kesepakatan atau konsensus yang tinggi. Konsensus yang telah dimufakati secara bulat oleh Bangsa Indonesia.
Sebagai konsensus yang telah secara bulat disepakati, pembatasan masa jabatan presiden yang hanya dua kali periode, membawa beberapa konsekuensi. Salah satu konsekuensi yang terjadi adalah konsensus tersebut harus dikawal dan dijaga agar tetap berlaku sebagai bagian dari menegakkan kebersamaan. Sebaliknya yang tidak bersedia mengawal dan menjaga konsensus tersebut maka sudah tidak sepakat dengan konsensus yang pernah dibuat oleh Bangsa Indonesia.
Ide atau isu masa jabatan presiden tiga periode memang bukan merupakan hal yang tabu dan sah-sah saja menjadi wacana , karena demokrasi memperbolehkan hal tersebut dan Negara Indonesia menganut demokrasi. Terlebih UUD NRI Tahun 1945 juga pernah dan boleh diamandemen. Pertanyannya adalah apakah perlu masa jabatan presiden menjadi tiga periode? Jika masa jabatan presiden diubah atau ditambah menjadi tiga periode, maka esensi membatasi masa jabatan presiden jelas telah tereduksi. Kita seolah kembali kepada masa sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang mana masa jabatan presiden boleh lebih dari dua periode. Walaupun dalam isu ini lebih konkrit yaitu hanya sampai tiga periode. Tapi pada pokoknya terjadi reduksi pembatasan masa jabatan presiden.
Reduksi pembatasan masa jabatan tersebut memberikan kesan seolah terjadi maju mundur dalam kebijakan pembatasan kekuasaan. Hal ini menampakan terjadi adanya ketidakkonsistenan dalam berkonsensus. Ketidakkonsistenan dalam berkonsensus akhirnya juga patut untuk dipertanyakan. Untungnya masa jabatan presiden tiga periode masih hanya bersifat isu atau wacana. Artinya ketidakkonsistenan disampaikan dalam rangka merespon isu tersebut. Namun jika isu tersebut berubah menjadi kenyataan dalam hal ini menjadi kebijakan yang legal, maka ketidakkonsistenan dalam berkonsensus memang terjadi khususnya dalam hal pembatasan masa jabatan presiden. Publik yang konsisten terhadap perlunya pembatasan masa jabatan presiden dua periode tentu harus bersikap agar isu masa jabatan presiden tiga periode tidak menjadi kenyataan. Perlu tindakan pengawalan konkrit agar isu masa jabatan presiden tiga periode tidak menjadi kenyataan. Salah satu tindakan yang harus dilakukan adalah mengkampanyekan pembatasan presiden agar tetap dua periode seperti yang telah disepakati bersama dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945. Kemudian perlu juga dikampanyekan bahwa pembatasan jabatan presiden (dua periode) untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.