Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda hampir seluruh negara di dunia telah menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan manusia. Tidak hanya dibidang kesehatan, pandemi Covid-19 juga berdampak serius bagi perekonomian masyarakat. Hasil laporan CSIS menyebutkan pandemi Covid-19 berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fenomena panic buying, terjun bebasnya indeks harga saham, terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) dan lesunya kegiatan industri pengolahan (manufaktur) menjadi representasi akibat pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia (Hasil Penelitian CSIS 26 Maret 2020).
Dalam praktik bisnis, pandemi Covid-
Analisis mengenai pandemi Covid-19 apakah dapat dikualifikasikan sebagai force majeure penting untuk menjaga situasi dan kondisi ekonomi agar tetap stabil. Pembatalan kontrak bisnis secara sepihak juga dapat dihindarkan apabila para pihak dapat memahami akibat
Pengaturan mengenai force majeure dapat dilihat dalam Pasal 1244 KUHPerdata, Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata. Dalam Pasal tersebut memang tidak menyebutkan definisi secara eksplisit apa itu force majeure, akan tetapi melalui Pasal tersebut kita dapat mengindentifikasi unsur-unsur suatu keadaan dapat dikatakan sebagai force majeure. Unsur-unsur force majeure menurut Pasal 1245 KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata apabila dikaitkan dengan pandemi Covid-19 yaitu:
Pertama, unsur “peristiwa yang tidak terduga”. Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai force majeure apabila keadaan tersebut tidak terduga akan terjadi atau tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh para pihak. Terkait dengan Covid-19, keadaan pandemi adalah peristiwa yang tidak terduga atau tidak diprediksi sebelumnya. Status pandemi Covid-19 sebagai bencana non- alam yang dipertegas dalam Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional semakin memperkuat bahwa pandemi adalah peristiwa yang tidak terduga sebelumnya.
Kedua, unsur “tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur”. Terjadinya pandemi Covid-19 adalah keadaan diluar kendali para pihak. Oleh karenanya, keadaan pandemi yang terjadi saat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Ketiga, unsur “tidak ada itikad buruk dari debitur”. Terhalangnya debitur untuk memenuhi prestasi bukan disebabkan karena kesengajaan, kelalaian maupun adanya iktikad buruk dari debitur melainkan karena keadaan pandemi. Pandemi Covid-19 adalah keadaan yang tidak diharapkan oleh semua pihak. Apabila tidak ada pandemi, para pihak tetap berkomitmen untuk memenuhi kewajiban kontraktual masing-masing dan melaksanakannya dengan iktikad baik.
Keempat, unsur “keadaan itu menghalangi debitur berprestasi”. Suatu keadaan dikatakan sebagai force majeure apabila terjadinya keadaan tersebut menghalangi debitur untuk berprestasi. Terkait dengan Pandemi Covid-19 apakah menghalangi debitur untuk berprestasi, hal itu bersifat kasusitis dan untuk menilainya perlu pendekatan komprehensif. Hal ini karena, tidak semua debitur dalam keadaan pandemi terhalang untuk memenuhi prestasi. Misalkan dalam perjanjian kredit perbankan, debitur yang bergerak di sektor usaha perhotelan memang terhalang untuk memenuhi prestasi karena mandegnya usaha. Namun, nasabah debitur yang bergerak di sektor usaha alat kesehatan justru semakin berkembang lantaran sektor usaha tersebut dalam kondisi pandemi justru mengalami peningkatan permintaan masyarakat. Dengan kata lain, unsur ini penting sebagai indikator untuk menilai apakah debitur dapat menyatakan mengalami keadaan force majeure.
Berdasarkan uraian unsur-unsur force majeure tersebut diatas, maka pandemi Covid-19 dapat dikatakan sebagai force majeure yang bersifat relatif. Artinya, terdapat debitur yang memang terhalang tetapi ada juga debitur yang tidak terhalang untuk melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Dengan kata lain, dalam force majeure relatif, pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi hanya untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, dimana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali. Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara waktu saja, yaitu selama terjadinya wabah pandemi Covid-19. Berbeda dengan force majeure yang bersifat absolut, dimana sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. Misalnya, jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah diluar kesalahan debitur (Subekti, 2002: 120).
Keadaan pandemi Covid-19 yang dapat dikualifikasikan sebagai force majeure tentunya menimbulkan implikasi hukum terhadap kontrak bisnis yang sudah dibuat oleh para pihak. Mengacu pada Pasal 1245 KUHPerdata, apabila debitur terhalang untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya karena force majeure maka debitur tidak diwajibkan membayar ganti rugi, biaya, denda, dan bunga. Debitur juga tidak dapat dinyatakan wanprestasi maupun lalai karena terhalangnya pemenuhan prestasi diluar kendali para pihak.
Selain itu, akibat hukum dari pandemi sebagai force majeure yang bersifat relatif adalah bahwa para pihak tidak dapat menjadikan keadaan pandemi sebagai alasan pembatalan kontrak. Force majeure yang bersifat relatif hanya menunda atau menangguhkan kewajiban kontraktual debitur untuk sementara waktu bukan membatalkan kontrak bisnis. Kontrak bisnis tetap sah dan mengikat para pihak. Terjadinya pandemi Covid-19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur dan tidak menghapuskan samasekali kewajiban debitur kepada kreditur.
Untuk melindungi kepentingan para pihak dan memastikan debitur untuk tetap memenui kewajiban kontraktualnya, maka renegosiasi kontrak penting untuk dilakukan. Para pihak dapat mengatur kembali hal-hal apasajakah untuk melindungi kepentingan para pihak guna menyikapi keadaan baru (pandemi Covid- 19). Tentunya, dengan tetap mengindahkan azas konsensualisme, azas kebebasan berkontrak, azas itikad baik dan azas proporsionalitas dalam renegosiasi kontrak maka akan melahirkan kontrak baru sebagai upaya sekaligus jalan tengah yang terbaik bagi para pihak.