Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama.
DUHAM adalah elemen pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia (HAM) internasional (International Bill of Rights), yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Dalam Pasal 18 DUHAM diatur mengenai kebebasan beragama atau berkeyakinan yaitu bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, yang dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. Berkenaan dengan kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 DUHAM tersebut, kasus pembakaran Masjid di Tolikara Papua yang belum lama ini terjadi sangat bertentangan dengan isi Pasal 18 DUHAM.
Hak-hak yang ditabulasikan dalam DUHAM pada akhirnya berkembang menjadi dua kovenan internasional yang mengikat secara hukum yaitu Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain dalam DUHAM, hak kebebasan beragama dan beribadah juga diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rigts (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18.
Sebagai negara peserta Kovenan, Indonesia wajib melaksanakan isi Kovenan dengan memberikan perlindungan kepada warga negara untuk menjalankan kebebasan beribadah.
Berkenaan dengan perlindungan hak anak, dalam Pasal 14 Konvensi Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak Anak), dinyatakan bahwa negara pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berfikir, hati nurani, dan beragama. Bahwa anak-anak mempunyai hak yang harus dilindungi dan di hormati dalam menjalankan ibadahnya. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia dan semua elemen bangsa untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak untuk beribadah.
Berkenaan dengan penghormatan hak untuk beribadah dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang- Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965), walaupun tidak secara eksplisit mencantumkan hak beribadah namun Konvensi tersebut mengadopsi prinsip dalam DUHAM yaitu menjamin pemajuan dan penghormatan serta pematuhan HAM dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Negara pihak melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial dan menjamin hak- hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul etnik atau kebangsaan untuk mendapatkan kesederajatan di hadapan hukum khususnya dalam menikmati hak-hak salah satunya hak atas kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan.
Demikian pula halnya dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana di ratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia) meskipun tidak dicantumkan secara eksplisit, namun pada dasarnya untuk memajukan penghormatan dan penaatan yang universal terhadap hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar salah satunya adalah hak beribadah. Segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia atas dasar agama, rasial, atau apapun tidak diperbolehkan.
Mempertimbangkan pentingnya pemajuan dan perlindungan hak orang-orang dari kelompok minoritas serta sumbangan dari pemajuan dan perlindungan terhadap stabilitas sosial dan politik. Deklarasi Vienna dan Program Aksi yang disetujui tanggal 25 Juni 1993 oleh Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia menegaskan kembali kewajiban negara untuk menjamin bahwa orang-orang dari keompok minoritas dapat menerapkan secara efektif dan seutuhnya, semua HAM dan kebebasan asasi tanpa adanya diskriminasi dan dengan kesamaan hak seutuhnya di mata hukum, sesuai dengan Deklarasi mengenai Hak Orang- Orang dari Kelompok Minoritas dari Segi Kebangsaan atau Etnis, Agama, dan Bahasa. Mereka yang merupakan anggota kelompok minoritas mempunyai hak untuk menikmati kebudayaan mereka sendiri, menganut dan mempraktekkan agamanya serta menggunakan bahasanya secara pribadi maupun di depan publik dengan bebas dan tanpa campur tangan maupun diskriminasi dalam bentuk apapun. Umat muslim di Tolikara Papua merupakan minoritas yang seharusnya dilindungi HAMnya dan tidak dilakukan secara diskriminasi dalam menjalankan hak beribadahnya.
Meskipun jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan telah diatur dalam DUHAM dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pengaturan kebebasan beragama atau berkeyakinan secara lebih rinci diatur di dalam deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama tahun 1981 ini.
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagaimana tercantum dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Negara Indonesia merupakan negara berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi HAM. Hak beragama dan menjalankan ibadah merupakan hak asasi yang termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia. Menjalankan ibadah merupakan hak konstitusional warga, dan hak beribadah tersebut tidak terkait dengan persoalan jumlah, baik mayoritas maupun minoritas. Keduanya mempunyai hak yang sama untuk di lindungi oleh negara. Dalam Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pembakaran masjid sebagai tempat beribadah umat muslim di Tolikara Papua merupakan hal yang bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang memberikan jaminan kebebasan beribadah pada warga negara.
Pengejawantahan jaminan kebebasan beragama dan beribadah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang di dalam Pasal 22 mengatur mengenai kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut.
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan tersebut. Terkait anak-anak yang yang pada saat kejadian pembakaran masjid di Tolikara Papua sedang berada di dalam masjid, dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut perlindungan yang dimaksud meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis. Adapun anak-anak yang pada saat kejadian pembakaran ada di dalam masjid, mereka merupakan korban yang sangat dirugikan karena hal tersebut sangat membahayakan anak baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu pelanggaran hak anak akibat pembakaran masjid tersebut bertentangan dengan Pasal 6 UU Perlindungan Anak. Anak-anak merupakan korban yang paling rentan seharusnya dilindungi hak beribadahnya.
Secara ideal pemenuhan HAM harus mencakup setiap individu dan tidak terpisahkan (inalieanable) dari individu. Hal ini sesuai dengan idiom yang ada dalam diskursus HAM “one is too many”, satu sudah terlalu banyak artinya pelanggaran HAM tidak menyangkut suatu kualifikasi kuantitas orang, cukup satu korban maka pelanggaran HAM sudah terjadi. Setiap hak asasi melekat pada individu mengandalkan adanya pihak lain yang memiliki tugas dan kewajiban (duty bearer) untuk memenuhi dan melindunginya, dalam hal ini adalah negara (state), sehingga di satu pihak individu adalah pemangku hak (rights holder) yang bisa menikmati HAM. Di lain pihak negara (state) menjadi pemangku kewajiban karena memiliki kewajiban atau tugas (duty bearer) untuk menghomati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfil) bagi setiap individu di bawah yuridiksinya. Kejadian pembakaran masjid di Tolikara Papua bagaimanapun dan apapun alasannya tidak dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut bertentangan dengan HAM yang telah dijamin dalam Konstitusi Negara Indonesia dan juga dalam berbagai undang-undang serta instrumen HAM internasional. Oleh karena itu merupakan kewajiban pemerintah Indonesia untuk memenuhi dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya dalam menjalankan agama dan ibadahnya masing- masing. Selain itu diperlukan rasa saling toleransi dan menghormati antar pemeluk agama di Indonesia sehingga insiden seperti yang terjadi di Tolikara tidak terulang kembali di masa mendatang.