ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) : 09 Juli 2021 : 103329 Rating :
Hukum Tata Negara

Filsuf Perancis, Charles de Secondat de Montesquieu (1689-1755) alias Montesquieu dalam bukunya “De l esprit des lois” (1748) pada Bab IV alinea ke-2 mengatakan “Pour qu on ne puisse abuser du pouvoir, il faut que, par la disposition des choses, le pouvoir arrete le pouvoir” yang dalam terjemahan bebasnya adalah “agar seseorang tidak dapat menyalahgunakan kekuasaannya, maka perlu kekuasaan diawasi oleh kekuasaan.” Kalimat tersebut bersambung dengan penegasan “Une constitution peut etre telle que personne ne sera contraint de faire les choses auxquelles la loi ne leoblige pas, et a ne point faire celles que la loi lui permet”, yaitu sebuah konstitusi diperlukan sehingga tidak ada yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh hukum, dan tidak melakukan apa yang tidak diizinkan oleh hukum. Kekuasaan yang dimaksud dalam hal ini adalah konstitusi yang dibentuk untuk mengawasi kekuasaan. Konsep ini merupakan postulat dalam membatasi kekuasaan eksekutif dalam hubungannya dengan sistem ketatanegaraan moderen.

Konstitusi yang dimaksudkan dalam konteks ini merupakan konstitusi tertulis yang merupakan suatu dokumen yang disebut kontrak sosial (dalam bukunya yang berjudul “Du Contrat Social, Ou Principes Du Droit Politique”, sebagai hasil dari kesepakatan bersama masyarakat dalam membentuk kehidupan bersama dalam wadah negara yang mengandung muatan nilai-nilai fundamental dan norma-norma yang dituangkan secara tertulis dan/atau diberlakukan secara nyata dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Norma yang dimaksud merupakan norma hukum, yang disebut sebagai hukum konstitusi (constitutional law) dan norma yang terkandung di dalamnya merupakan norma etika, maka hal itu dapat dinamakan sebagai etika konstitusi (constitutional ethics) (Asshiddiqie, 2014).

Pengalaman Indonesia pra-reformasi, Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya disebut MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, yang terjadi adalah supremasi institusi, bukan supremasi konstitusi, sebagaimana yang pernah diulas oleh Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008) dalam bukunya yang berjudul “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi” (2014). Pasca reformasi, kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi sederajat dengan lembaga konstitusional lainnya. MPR diikat mekanisme “checks and balances” atau saling mengimbangi dan saling mengawasi satu sama lain dari sistem supremasi institusi menjadi supremasi konstitusi sebagai “rule of the game” yang tercermin dalam aturan-aturan hukum dan etikanya menurut konstitusi (the supreme rules of the constitution).

Konstitusi Sebagai Rule of The Game

Berbicara tentang periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden, konstitusi merupakan “rule of the game” yang mengatur pembatasan lamanya presiden dan wakil presiden dalam memimpin negara. Ketentuan ini diatur pada Pasal 7 UUD 1945 dan dipertegas pada Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI dan Pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sri Soemantri Martosoewignjo dalam tulisannya berjudul “Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan” (1996) menyebutkan bahwa pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi menyangkut dua hal, pertama pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan isinya, dan kedua, pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu. Pembatasan kekuasaan tentang isi berkaitan dengan tugas, wewenang serta, berbagai macam hak yang diberikan kepada masing-masing lembaga, sedangkan pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu berkenaan dengan masa jabatan yang diberikan kepada pejabat yang memegang jabatan serta berapa kali seorang pejabat dapat dipilih kembali. Sri Soemantri juga menyebutkan kepemimpinan presiden dan wakil presiden yang terus-menerus, selain menghambat regenerasi kepemimpinan, juga berpotensi untuk disalahgunakan. Di satu sisi presiden dan wakil presiden mempunyai (diberi) kekuasaan, namun di sisi lain kekuasaan mempunyai kecenderungan disalahgunakan apabila kekuasaan tersebut melekat pada jabatan (Soemantri, 2001).

Terkait pengaturan dan pembatasan kekuasaan presiden dan wakil presiden ini, senada dengan Sri Soemantri, Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia” (2006) mengatakan, pembatasan dan pengendalian dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan merupakan prinsip konstitusionalisme moderen. Dituntut pengaturan dan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dirumuskan di dalam konstitusi.

Pembatasan Masa Jabatan

Menurut pandangan Sir Kenneth Clinton Wheare FBA (selanjutnya disebut KC Wheare), seorang ahli konstitusi Persemakmuran Inggris, dalam bukunya “Modern Constitution” (1975), pada bagian keempat tulisan tersebut memuat perihal bagaimana konstitusi berubah, yaitu melalui usage (kebiasaan) dan convention (tradisi), mengungkapkan pengalaman Republik Perancis ketiga dan Amerika Serikat (selanjutnya disingkat AS) dalam membatasi masa jabatan presiden. KC Wheare memaparkan bahwa Republik Perancis ketiga dan Amerika Serikat (AS) merupakan contoh menarik mengenai apa yang tampaknya menjadi pembatalan wewenang hukum yang diberikan dalam konstitusi. Hingga tahun 1939 tampaknya sudah menjadi tradisi yang mapan di Perancis bahwa presiden tidak boleh dipilih kembali, tetapi merasa cukup dengan satu kali masa jabatan (tujuh tahun) dan di AS presiden tidak boleh dipilih lebih dari dua kali. Tetapi pada tahun 1939 Presiden Republik Perancis, M. Lebrun, terpilih kembali untuk kedua kalinya atas dasar kondisi kritis yang menimpa Eropa, dan di AS pada 1940 terpilihnya Presiden Roosevelt untuk ketiga kalinya dibenarkan karena alasan kebutuhan akan kelanjutan arah kebijakan AS ketika bahaya perang menyebar, sebuah argumen yang pada 1944 masih kuat karena AS pada saat itu terlibat perang (Purwanto, 2017).

Pengalaman di AS, sebagaimana yang dipaparkan oleh Kristen McKie dalam tulisannya yang berjudul “Presidential Term Limit Contravention: Abolish, Extend, Fail, or Respect” (2019) yang dikutip oleh Elshan Yudhistira dalam tulisannya yang berjudul “Pembatasan Masa Jabatan Presiden Sebagai Upaya Menghindari Terjadinya "Abuse of Power” (Jurnal Ilmiah Hukum Al-Ishlah, Vol. 23 No. 2, November 2020), sebagai presiden pertama, George Washington, membuat kebijakan yang tidak tertulis dimana ia menolak untuk masa jabatan ketiganya pada tahun 1796. Namun, Franklin D. Roosevelt menggunakan “kekosongan hukum” mengenai masa jabatan presiden tersebut dengan menjabat sebagai presiden sebanyak 4 kali sepanjang tahun 1932-1944. Peristiwa politik Roosevelt ini dianggap sebagai pengingkaran terhadap etika konstitusi yang telah diyakini masyarakat AS sebelumnya, namun dengan dalih “tidak dilarang oleh hukum (konstitusi),‟ maka hal tersebut dianggap sah dan legal. Pasca Roosevelt, barulah tercipta batasan 2 periode jabatan presiden melalui kodifikasi Konstitusi AS melalui Amandemen XXII tahun 1951 (diatur dalam Section I Amandemen XXII Konstitusi AS) yang disahkan pada 27 Februari 1951. Dan ketentuan ini juga berlaku sebagai syarat pencalonan presiden (khusus bagi seseorang yang pernah menjabat sebagai presiden) (Ramadhan, 2015). Dengan demikian, AS dianggap lebih dulu menerapkan konstitusionalitas batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagai persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden yang kerap menjadi rujukan bagi negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan serupa.

Pengalaman di Amerika Latin, sebagaimana Gideon Maltz dalam tulisannya pada Journal of Democracy (2007) yang berjudul “The Case for Presidential Term Limits” menyebutkan bahwa kesadaran konstitusi tercipta pada negara-negara di Amerika Latin yang sukses menganut batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden pasca era kebangkitan diktator, yakni Argentina pada 1853 setelah Juan Manuel de Rosas, dan Mexico pada 1917 setelah Porfirio Diaz. Negara-negara di Afrika akibat kekecewaan terhadap konsep “Presidents of life”, akhirnya mengadopsi batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden pada awal tahun 1990.

Konsep dan Praktik Masa Jabatan Presiden

Menurut Elsan Yudisthira, dalam tulisannya yang berjudul “Pembatasan Masa Jabatan Presiden Sebagai Upaya Menghindari Terjadinya "Abuse of Power” (Jurnal Ilmiah Hukum Al-Ishlah, Vol. 23 No. 2, November 2020), terdapat 4 (empat) konsep masa jabatan yang sesuai pengalaman negara-negara yang menganut sistem presidensial, yakni konsep tidak ada kemungkinan untuk mencalonkan diri lagi sebagai presiden setelah masa jabatan pertamanya selesai (no re-election) contohnya Afrika Selatan, Brazil, Filiphina, Guatemala, Korea Selatan, Mexico dan Turki; konsep tidak diperkenankan seorang presiden untuk mencalonkan diri kembali ketika ia masih memegang jabatan, akan tetapi seorang mantan presiden bisa mencalonkan diri kembali setidak-tidaknya setelah satu periode presiden penggantinya menjabat sebagai presiden (no immediate re-election) contohnya Peru dan Venezuela; konsep seorang presiden bisa mencalonkan diri kembali satu kali lagi pada periode selanjutnya, sistem ini yang paling banyak digunakan negara dengan sistem presidensial (only one re-election) contohnya Amerika Serikat, Argentina, Bolivia, Belarusia, Madagascar, Malawi, Republik Kongo, Zambia dan Indonesia; dan konsep seorang presiden bisa mencalonkan diri lagi menjadi presiden tanpa ada batasan periode (no limitiation re-election) contohnya Benin dan Nikaragua.

Di luar keempat konsep tersebut, ternyata ada konsep lain yang digunakan negara dengan sistem pemerintahan presidensial, yaitu konsep seorang presiden bisa mencalonkan diri kembali sebanyak 2 (dua) periode setelah ia menjabat (only two re-election) contohnya Angola.

Pembentukan dan Amandemen Konstitusi

Perubahan konstitusi atau undang-undang dasar, menurut Widodo Ekatjahjana dalam bukunya yang berjudul “Negara Hukum, Konstitusi, dan Demokrasi: Dinamika Dalam Penyelenggaraan Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia” (2015), tidak hanya terjadi karena perubahan formal (formal amendment) sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, akan tetapi juga karena perubahan-perubahan yang bersifat non-formal atau ekstra-konstitusional. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Wheare, yakni “formal amendment” sebagai salah satu cara untuk mengubah konstitusi.

Secara historis, dinamika konstitusi di Indonesia (sejak 1945 hingga pasca reformasi) yang mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, dapat dilihat melalui beberapa perubahan konstitusi yang mempengaruhi pengaturan masa jabatan tersebut, yakni: pada periode pertama, pada 18 Agustus 1945-27 Desember 1949 dan periode kedua, pada 5 Juli 1959-19 Oktober 1999, diatur pada Pasal 7 UUD 1945 dengan menyebutkan presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali; masa Konstitusi RIS 1949 pada 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 yang tidak mengatur masa jabatan presiden dan tidak ada jabatan wakil presiden pada saat ini; masa UUD Sementara 1950 yang tidak mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden; dan terakhir, masa UUD 1945 pada 19 Oktober 1999 hingga saat ini yang terdapat ketentuan yang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dalam perjalanan amandemen UUD 1945 pasca Orde Baru, pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi salah satu agenda utama, yakni terhadap Pasal 7 UUD 1945 melalui Rapat Sidang Umum MPR ke-12 pada tanggal 19 Oktober 1999 secara eksplisit bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan pada zaman Orde Baru karena pemangku jabatan presiden sangat bergantung kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Dapat dilihat bahwa konstitusionalitas batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden dari perspektif konstitusi-konstitusi yang pernah dan/atau yang sedang berlaku (ius constitutum) di Indonesia mengalami dinamisasi yang juga turut dipengaruhi oleh faktor-faktor politis pada masa tersebut.

Jika mengacu pada ius constitutum, maka konstitusionalitas batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden di Indonesia diatur dalam Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama. Namun, rumusan pasal tersebut dianggap memiliki kelemahan, yaitu, pertama, pasal ini memiliki rumusan yang membuka celah untuk ditafsirkan berbeda dari original intent pasal tersebut. Pendekatan original intent, menurut Anthony Mason yang dikutip oleh Muchamad Ali Safa’at dalam tulisannya yang berjudul “Penafsiran Konstitusi” (2011) merupakan penafsiran orisinil yang sesuai dengan pengertian asli dari teks atau istilah yang terdapat dalam konstitusi. Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks, konteks, tujuan, dan struktur konstitusi.  Apabila merujuk kepada original intent perumusan Pasal 7 UUD 1945 terkait batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden dimaksudkan untuk diberlakukan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut yang terpenting adalah orang tersebut setelah menjabat dua kali masa jabatan untuk selamanya tidak dapat menjabat kembali dalam jabatan yang sama tersebut.

Memang, pada prinsipnya tidak semua ketentuan dalam konstitusi harus dituangkan eksplisit sebagaimana yang dimaksud dalam original intent ketentuan tersebut, akan tetapi sebaiknya rumusan pasal dalam Undang-Undang Dasar dihindarkan dari ambiguitas yang kemudian dapat menimbulkan perdebatan karena terdapat tafsir atau makna yang berbeda-beda terhadap bunyi pasal tersebut. Dengan demikian, ketentuan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden ini merupakan ketentuan yang erat kaitannya dengan ranah politik sehingga terbuka kemungkinan untuk dipolitisasi.

Bentuk kelemahan lainnya yaitu tujuan awal pembentukan Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, yang mengatur ketentuan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden bukanlah dimaksudkan sebagai pasal yang secara konstitusional mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden, namun pasal ini kemudian diterjemahkan sebagai ketentuan persyaratan tambahan pencalonan presiden dan wakil presiden yang secara ekspilisit tertuang dalam Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu, apabila pasal ini dalam perkembangannya dimaksudkan sebagai pasal yang secara konstitusional mengatur batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagai persyaratan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, maka diperlukan perbaikan rumusan sehingga pasal ini juga mampu menjamin konstitusionalitas pengaturan batasan masa jabatan presiden dan wakil presiden sebagai persyaratan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. Dengan demikian dibutuhkan suatu gagasan berupa hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) untuk menjadi solusi atas adanya kelemahan-kelemahan tersebut.

Guna menghindari multitafsir atas rumusan Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen pertama, dibutuhkan etika konstitusional yang berbasis pada ius constituendum, yaitu dalam bentuk hukum yang dicita-citakan, untuk menghentikan berbagai penafsiran tersebut, maka diperlukan amandemen kelima UUD 1945 sebagai wujud menjaga etika konstitusi dalam pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Sebagai anekdot, Jerremy Paul pernah mengungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “If it Quacks Like a Lame Duck, Can it Lead the Free World? The Case for Relaxing Presidential Term Limits” (Connecticut Law Review Association, University of Connecticut School of Law, 2011) bahwa keefektifan presiden dalam periode lanjutannya seperti “bebek lumpuh”, dengan alasan sejak tahun 1951 di Amerika Serikat ketika amandemen mengenai periode kedua presiden disahkan ada beberapa contoh pemimpin negara yang pada periode selanjutnya bekerja dengan sangat buruk.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329