KAJIAN KRITIS ATAS KEWENANGAN PRESIDEN UNTUK MEMBATALKAN PERATURAN DAERAH DALAM OMNIBUS LAW
Abstract
Kebijakan Presiden Jokowi mengajukan metode omnibus law melalui RUU Cipta Kerja untuk menciptakan lapangan kerja patut diapresiasi. Namun demikian, harus tetap sejalan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional (negara hukum) yang kita sepakati. Penelitian ini membahas Putusan MK No. 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017 dan Putusan MK No. 56/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Juni 2018 terkait pembatalan Perda dan pengaturan kewenangan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana Pasal 166 angka 3 RUU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 251 UU Pemerintahan Daerah dikaitkan dengan kedua Putusan MK tersebut maupun menurut teori hukum. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan studi kepustakaan atau data sekunder. Hasil penelitian menyimpulkan kedua putusan MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pembatalan Perda dalam hal ini Perda Kabupaten/Kota dan/atau Perda Provinsi menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA). Pengaturan kewenangan Presiden untuk membatalkan Perda dalam RUU Cipta Kerja tidak tepat jika dianalisis dari teori hukum. Karena tidak sejalan dengan Putusan MK, ketentuan undang-undang terkait, dan kewenangan atributif yang dimiliki Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang berwenang secara konstitusional membatalkan Perda.
Keywords
Omnibus Law, Omnibus Bill, Peraturan Daerah
Full Text:
PDFDOI: http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v9i1.406
Refbacks
- There are currently no refbacks.