Ide Permaafan Hakim (Rechterlijk Pardon) : Sebuah Konsep Baru dalam Rancangan KUHP Oleh : Ivan Lippu : 27 Mei 2022 : 102658 Rating :
Hukum Pidana

Embrio keberadaan rechterlijk pardon sebagai sebuah konsep merupakan kritik terhadap kekakuan/absolutisme hukum pidana selama ini yang bertolak pada asas “Tiada maaf bagimu”. Kendati dalam mengadili suatu perkara pidana, pertimbangan majelis hakim hanya mengarah pada perbuatan pidana (daad)dan pelaku tindak pidana (dader). Akibatnya, hukum pidana tidak secara kritis menyoal tentang bias keadilan (injustice). Hal inilah yang membawa tuntutan reformasi paradigma pemidanaan dari filosofi pembalasan menjadi filosofi integratif dengan bertolak pada pemikiran keseimbangan monodualistik, yaitu keseimbangan antara masyarakat dan individu/pelaku tindak pidana.

Kehadiran rechterlijk pardon sebagai sebuah konsep disatu sisi sejalan dengan realitas sosial kita yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Pada sisi lain, kedudukan kepentingan masyarakat dan kepentingan korban (victim's interests) tidak lagi dinegasikan dalam sistem peradilan pidana, inilah yang kemudian sebagai suatu determinasi dalam mendorong formulasi dan implementasi konsep rechterlijk pardon dalam sistem peradilan pidana moderen. Tentu disadari bahwa, konsep rechterlijk pardon hanya dapat membawa dunia peradilan ke arah yang lebih baik apabila sebagai sebuah konsep, rechterlijk pardon dilandasi dengan norma hukum yang kuat dan memadai.

 

Rechterlijk Pardon dalam Rancangan KUHP

Keberadaan ide rechterlijk pardon sebagai sebuah konsep didalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) membawa pengaruh positif terhadap konsep pemidanaan di masa yang akan mendatang. Nantinya, hakim dalam mengadili suatu perkara pidana, tidak sekedar bertolak pada perbuatan pidana (daad) dan pelaku tindak pidana (dader), namun hakim wajib untuk mempertimbangkan tujuan serta pedoman pemidanaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari syarat pemidanaan.

Munculnya tujuan dan pedoman pemidanaan sebagai keharusan yang harus dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, maka hakim diberikan suatu ruang untuk melakukan permaafan kepada pelaku tindak pidana yang apabila pemidanaan itu dijatuhkan, maka tidak sesuai dengan tujuan dari penjatuhan pidana itu sendiri. Permaafan yang dimaksud merupakan suatu bentuk pengampunan/pembebasan dari kesalahan yang dilakukan. Sebagai bentuk pengampunan, maka dengan adanya permaafan, seseorang yang bersalah tidak dijatuhi hukuman atau tidak perlu merasakan hukuman (Arief, 2011: 15).

Dalam RKUHP rechterlijk pardon biasa disebut dengan permaafan hakim. Hal ini tercantum dalam RKUHP, yaitu diatur dalam Pasal 54 ayat (2) yang berbunyi; “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Formulasi ide permaafan hakim di atas sebagai sebuah konsep terbentur pada kenyataan yang membawa sejumlah pertanyaan hukum (rechtsvragen), baik secara materil―R-KUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun secara formil―KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Secara materil, R-KUHP tidak mengatur secara explisit apakah ide permaafan hakim merupakan bagian tak terpisahkan dari alasan penghapus pidana (strafuiskutingsgrounden) yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Kendati secara formil, apakah ketiga jenis putusan hakim yang di atur pada Pasal 191 ayat (1) dan (2) maupun 193 ayat (1) KUHAP (Putusan bebas, lepas, dan pemidanaan) dapat dijadikan sebagai dasar bagi majelis hakim untuk menjatuhkan suatu putusan tanpa pemidanaan atau putusan permaafan.

Pertama, aspek materil, kehadiran rechterlijk pardon dalam R-KUHP  jika ditilik berdasarkan prinsip hukum pidana, maka harus dimaknai sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘alasan penghapus pidana’ (strafuiskutingsgrounden). Namun persoalannya adalah, formulasi alasan penghapus pidana dalam R-KUHP hanya terdiri dari ‘alasan pembenar’ dan ‘alasan pemaaf’ yang secara teoritik merupakan alasan yang dapat menghapuskan “sifat melawan hukum perbuatan” dan alasan yang dapat menghapuskan “sifat dapat dicelanya pelaku” (Hiariej, 2016: 253). Kedua alasan penghapus pidana tersebut tentu tidak dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan permaafan (rechterlijk pardon).

Oleh karenanya penulis berpandangan bahwa, permaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam Pasal 54 ayat 2 R-KUHP harus dipahami sebagai “alasan penghapus pidana khusus”. Hal ini sejalan dengan frasa “mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan” serta ketentuan didalam R-KUHP yang berbunyi “jika dalam menegakkan hukum terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan”. Dengan demikian, “primafacy” (keutamaan) dari permaafan hakim adalah keadilan (justice) itu sendiri. Berangkat dari uraian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa terdapat dua bentuk alasan penghapus pidana didalam R-KUHP, yang terdiri dari alasan penghapus pidana umum (alasan pembenar dan pemaaf) dan alasan penghapus pidana khusus (alasan keadilan).

Kedua, hakim pada sistem peradilan dalam mengaplikasi putusannya pada perkara pidana, sesungguhnya Ia (hakim) tidak memiliki pilihan untuk memberikan putusan yang bersifat permaafan. Artinya tidak terdapat jenis putusan hakim yang mengakomodir kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat dalam hal hakim mengadili suatu perkara pidana. Ketentuan Pasal 193 ayat (1) maupun 191 ayat (1) dan (2) KUHAPyang mengatur mengenai jenis putusan pemidanaan, lepas dan bebas hanya mengarah pada pertimbangan dan pembuktian perbuatan pidana (actus reus) dan pertanggungjawaban pidana (mens rea), yang sama sekali tidak menjiwai konsep rechterlijk pardon. Jenis putusan saat ini yang terdapat dalam KUHAP hanya membawa konsekuensi pada sebuah peristiwa mengadili yang sepihak— yang tak-lekang hanya mengarah kepada “pelaku” dan “perbuatan” tindak pidana (dader en daad strafbaar feit).

Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan formulasi jenis putusan baru ke dalam KUHAP yang tidak hanya bertolak pada pertimbangan perbuatan dan pelaku semata, namun juga mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan pelaku, korban, serta masyarakat. Adapun mengenai jenis putusannya adalah Putusan Permaafan Hakim (rechterlijk pardon).

Berpijak pada landasan di atas maka, benang merah konsep permaafan hakim dapat terlihat pada formulasi jenis putusan hakim sebagai berikut: (1) putusan Bebas (perbuatan pidana tidak terbukti, terdakwa diberikan alasan pembenar). (2) putusan Lepas (perbuatan pidana terbukti, namun terdakwa tidak ada kesalahan, terdakwa diberikan alasan pemaaf). (3) putusan pemidanaan (perbuatan pidana terbukti dan terdakwa mampu-bertanggungjawab, tidak ada alasan penghapus pidana. (4) putusan permaafan (perbuatan pidana terbukti dan terdakwa  mampu-bertanggungjawab,  namun ada alasan keadilan dan kemanusiaan).

Dengan model putusan di atas, hukum pidana kedepannya diharapkan tidak sekedar mencari kesalahan pelaku tindak pidana lalu menghukumnya, akan tetapi lebih menekankan pada aspek pemulihan kepada pelaku dan korban agar keduanya dapat diintegrasi seperti keadaan semula dalam lingkungan sosialnya. Konsep rechterlijk pardon bertujuan menghasilkan keadilan (justice), pemulihan (restoratif) kepada pelaku dan korban, dan perdamaian (peace) kepada semua pihak yang terlibat dalam lingkaran kausalitas kejahatan serta menempatkan pemidanaan sebagai alternatif terakhir (ultimum remedium). Inilah yang menjadi moral etik dari konsep permaafan hakim  (rechterlijk pardon). 

 

Kesimpulan

Bertolak dari bahasan di atas, penulis merekomendasikan beberapa hal tentang ide rechterlijk pardonsebagai sebuah konsep baru dalam Rancangan KUHP. Pertama, konsep rechterlijk pardon harus dipandang sebagai “alasan penghapus pidana khusus” dalam R-KUHP yang bertolak pada “alasan keadilan dan kemanusiaan”. Kedua, perlu adanya pengaturan jenis putusan permaafan hakim (rechterlijk pardon) dalam KUHAP sebagai jawaban atas kekosongan hukum (rechtvacum) perihal merespon konsep rechterlijk pardon. Keberadaan jenis putusan permaafan dimaksudkan untuk menjawab kekakuan hukum pidana yang berwajah pembalasan (retributive).

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329