“Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imprealisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.” Kutipan tersebut berasal dari pidato Bung Karno saat menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologi, yaitu liberal dan komunis. Selanjutnya pidato itu ditanggapi oleh Bertrand Russel dalam sebuah harian di Inggris, dimana Russel menyebut Pancasila Bung Karno itu sebagai sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Bung Karno sebagai Great Thinker in the East. Namun sungguh ironi yang terjadi saat ini, maraknya kontroversi mengenai RUU Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah
Padahal sejatinya sejak disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligature (pemersatu) dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, mengarahkan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuannya.
Pancasila secara mutatis mutandis merupakan haluan keselamatan bangsa
Suatu keniscayaan bahwa Pancasila ini mengilhami seluruh norma yang berada di bawahnya atau Pancasila ini layaknya nyawa dari setiap Pasal demi Pasal dalam UUD dan menjadi nyawa dari setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Perlu dipahami pula bahwa
Pertama, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Mengenai Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme- Leninisme dalam konsideran RUU HIP ini, mengingat salah satu peran sentral Pancasila adalah dalam rangka mengawal kemurnian ideologi Pancasila termasuk untuk menghalau ideologi-ideologi lain yang dapat masuk di tengah-tengah masyarakat sehingga pencantuman TAP MPRS tersebut merupakan suatu yang ikhwal untuk dilakukan.
Kedua, Pasal 7 RUU HIP menyatakan ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme,sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan, dan Trisila sebagaimana dimaksud terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong- royong. Dianggap sebagai pengingkaran terhadap Pancasila yang mana sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan kausa prima sehingga sila pertama inilah yang mengindikasikan dan menegaskan bahwa kuatnya paham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat arus besar pendiri bangsa tidak bisa membayangkan ruang publik tanpa Tuhan dan inilah yang menjadikan bahwa Indonesia ini merupakan negara theis atau ber-Tuhan dan hadirnya RUU HIP ini seolah mendistorsi makna ketuhanan itu sendiri, dalam RUU HIP terdapat empat konsep “Tuhan”, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa"
Dalam perspektif historis sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi kultural dari ragam
Ketiga, kekhawatiran akan penguasa yang otoriter, Pasal 44 RUU HIP ini menyatakan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Hal ini memicu timbulnya monopoli tafsir Pancasila yang berpotensi menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan.
Jika ditilik dalam Undang-Undang Dasar 1945 tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab, sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003. Akan tetapi tujuan sistem
Sebagai Negara Hukum maka sesuai dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), semua UU di Indonesia harus mengacu pada Pancasila, termasuk pembangunan rencana jangka panjang dan jangka menengah, perlu diperhatikan apakah dengan menjadikan Haluan Ideologi Pancasila menjadi UU akan mempersempit pemahaman kita terhadap Pancasila sebagai dasar negara atau malah lebih mendetailkan bahwa Pancasila sebagai acuan yang harus digunakan? Apakah pada implementasi atau karena ketiadaan regulasi? Bagaimana dampak dari keberadaan RUU ini, apakah akan menjadikan Pancasilla sebagai ideologi terbuka atau ideologi tertutup?
Hal-hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para legislator sebelum mengusulkan RUU HIP ini karena sesungguhnya dalam ikhtiar menentukan konsep negara yang ideal, hubungan antara pemerintah dan rakyat bukanlah hubungan “sebagian dengan sebagian lainnya” melainkan hubungan “sebagian dengan keseluruhan”. Dengan kata lain, rakyat adalah keseluruhan dan pemerintah adalah sebagian dari keseluruhan itu. Untuk lebih mudahnya,