MEMBUMI (HANGUS) KAN PANCASILA? Oleh : Ummu Salamah (alumni Fakultas Hukum Universitas Bengkulu) : 04 Agustus 2020 : 102741 Rating :
Hukum Tata Negara

“Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imprealisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.” Kutipan tersebut berasal dari pidato Bung Karno saat menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologi, yaitu liberal dan komunis. Selanjutnya pidato itu ditanggapi oleh Bertrand Russel dalam sebuah harian di Inggris, dimana Russel menyebut Pancasila Bung Karno itu sebagai sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Bung Karno sebagai Great Thinker in the East. Namun sungguh ironi yang terjadi saat ini, maraknya kontroversi mengenai RUU Halauan Ideologi Pancasila (RUU HIP) telah menjadi sebuah polemik ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara, baik kalangan akademisi hingga praktisi hukum maupun di luar hukum turut andil mengomentari urgensi perumusan RUU tersebut dalam rangka melakukan diagnosa politik lahirnya RUU HIP ini. Hingga pada 16 Juni 2020 Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik,Hukum dan Keamanan Prof. Mahfud MD menyatakan terkait RUU HIP pemerintah menunda untuk membahasnya.

Padahal sejatinya sejak disahkan secara konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligature (pemersatu) dalam  peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis, mengarahkan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuannya.

Pancasila secara mutatis mutandis merupakan haluan keselamatan bangsa juga sebagai sumber jati  diri, kepribadian dan moralitas. Pancasila yang merupakan filosofiche groundslach atau menurut The Pure Theory of Law (teori hukum murni) Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, kedudukan sebuah grundnorm seperti Pancasila adalah bersifat abstrak atau meta yuridis yang ada dalam dunia ide sebagai cita negara untuk dasar bernegara Indonesia merdeka.

Suatu keniscayaan bahwa Pancasila ini mengilhami seluruh norma yang  berada di bawahnya atau Pancasila ini layaknya nyawa dari setiap Pasal demi Pasal dalam UUD dan menjadi nyawa dari setiap peraturan perundang-undangan di bawahnya. Perlu dipahami pula bahwa tertulis, kebiasaan yang tumbuh dan hidup di masyarakat, serta konvensi harus menjadi   barometer untuk setiap Hadirnya RUU HIP ini laksana mengabaikan hal tersebut dan menempatkan Pancasila seolah dapat dijabarkan mekanisme pelaksanaannya secara teknis melalui undang-undang atau disebut Formell Gezets. Hal ini tertera dalam konsiderans huruf  b RUU HIP yang setidaknya menyatakan untuk mencapai tujuan negara diperlukan kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam bentuk Haluan Ideologi Pancasila. Spirit nasionalisme berdasarkan historical yang terjadi agaknya metode pembumian Pancasila yang digandrungkan tidaknya   ada 3 alasan besar yang  ini.

Pertama, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Mengenai Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme- Leninisme dalam konsideran RUU HIP ini, mengingat salah satu peran sentral Pancasila adalah dalam rangka mengawal kemurnian ideologi Pancasila termasuk untuk menghalau ideologi-ideologi lain yang dapat masuk di tengah-tengah masyarakat sehingga pencantuman TAP MPRS tersebut merupakan suatu yang ikhwal untuk dilakukan.

Kedua, Pasal 7 RUU HIP menyatakan ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme,sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan, dan Trisila sebagaimana dimaksud terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong- royong. Dianggap sebagai pengingkaran terhadap Pancasila yang mana sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan kausa prima sehingga  sila pertama inilah yang mengindikasikan dan menegaskan bahwa kuatnya paham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat arus besar pendiri bangsa tidak bisa membayangkan ruang publik tanpa Tuhan dan inilah yang menjadikan bahwa Indonesia ini merupakan negara theis atau ber-Tuhan dan hadirnya RUU HIP ini seolah mendistorsi makna ketuhanan itu sendiri, dalam RUU HIP terdapat empat konsep “Tuhan”,  yaitu  “Ketuhanan Yang Maha Esa"

Dalam perspektif historis sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak pernah  terlepas   dari   prinsip Ketuhanan.Hal ini secara jelas dinyatakan Bung Karno dalam tulisannya di Suluh Indonesia pada 12 Agustus 1928 yang menyatakan bahwa “Nasionalisme” kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan” dan membuat kita hidup dalam “roh”. Dengan dimuatnya Pasal 7 yang merupakan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 akan tetapi itu bukanlah konsensus bersama bangsa Indonesia sehingga sangat    tidak    bijak    jika itu   dinyatakan bersama  tentang  Pancasila  sebagai dasar menggugah kesadaran kebangsaan kita. Pancasila telah menjadi common denominator (titik persetujuan) di antara seluruh elemen kelompok bangsa, karena karakternya sebagai falsafah yang mempersatukan perbedaan arus politik, agama, dan etnis yang sangat majemuk di negeri ini.

Ketiga, kekhawatiran akan penguasa yang otoriter, Pasal 44 RUU HIP ini menyatakan bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Hal ini memicu timbulnya monopoli tafsir Pancasila yang berpotensi menjadi alat penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan. Secara substantif RUU HIP dapat membuka jalan bagi monopoli tafsir atas Pancasila, sebuah pengalaman traumatik pada era rezim Orla dan Orba. Seperti halnya yang disampaikan oleh pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin yang mencontohkan perbedaan dari tujuan pendidikan nasional.

Jika ditilik dalam Undang-Undang Dasar 1945 tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab, sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003. Akan tetapi tujuan sistem mengarah ke sistem kapitalisme yang Jika tujuan RUU HIP ini salah satunya dalam upaya meningkatkan status landasan hukum kelembagaan BPIP dari yang semula Peppres  ditingkatkan menjadi UU, maka menurut penulis BPIP yang merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden terkait Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sudah selayaknya berstatus Perpres.

Sebagai Negara Hukum maka sesuai dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), semua UU di Indonesia harus mengacu pada Pancasila, termasuk pembangunan rencana jangka panjang dan jangka menengah, perlu diperhatikan apakah dengan menjadikan Haluan Ideologi Pancasila menjadi UU  akan mempersempit pemahaman kita terhadap Pancasila sebagai dasar negara atau malah lebih mendetailkan bahwa Pancasila sebagai acuan yang harus digunakan? Apakah pada implementasi atau karena ketiadaan regulasi? Bagaimana dampak dari keberadaan RUU ini, apakah akan menjadikan Pancasilla sebagai ideologi terbuka atau ideologi tertutup?

Hal-hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan para legislator sebelum mengusulkan RUU HIP ini karena sesungguhnya dalam ikhtiar menentukan konsep negara yang ideal, hubungan antara pemerintah dan rakyat bukanlah hubungan “sebagian dengan sebagian lainnya” melainkan hubungan “sebagian dengan keseluruhan”. Dengan kata lain, rakyat adalah keseluruhan dan pemerintah adalah sebagian dari keseluruhan  itu. Untuk lebih mudahnya, kita dapat mengibaratkan negara sebagai suatu rangka (badan) dan warga negara adalah himpunan organnya. Tidak masuk akal apabila pemerintah tetap memaksakan  kehendak  yang bertentangan dengan  kehendak rakyatnya.


ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329