KEBIJAKAN FORMULASI DELIK MENERIMA GRATIFIKASI DALAM KETENTUAN UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) : 26 Juni 2020 : 102631 Rating :
Hukum Pidana

Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sebagaimana telah diformulasikan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, adalah terdiri dari beberapa ruang lingkup delik. Adapun menurut Hendarman Supandji, ruang lingkup tersebut terbagi dalam 5 (lima) kelompok yaitu (Supandji, 2009: 5):

1.     Kelompok delik yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara;

2.     Kelompok delik yang berkaitan dengan suap-menyuap dan gratifikasi;

3.     Kelompok delik yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan;

4.     Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan dalam jabatan;

5.     Kelompok delik yang terkait dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.

 

Bertitik tolak dari 5 kelompok delik sebagaimana tersebut di atas, menariknya adalah terdapat satu delik yang relatif baru jika dibandingkan yang lainnya. Serta menjadi sorotan dalam pembaharuan UU pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni ditegaskannya delik yang berkaitan dengan "gratifikasi" sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.

Secara yuridis, delik tersebut baru dimasukkan ke dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan dalam hemat penulis, hal ini sangat menarik untuk dikaji. Apalagi hal tersebut diperkuat dengan adanya Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa maksud diadakannya penyisipan pasal 12 B dan Pasal 12 C dalam UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam hal nilai yang dikorupsi relatif kecil (Wiyono, 2005: 107).

Dalam Ketentuan formulasi Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 telah ditegaskan bahwa Pasal 12 B:

(1)  Gratifikasi kepada Pegawai Negeri/Penyelenggara negara dianggap pemberian suap,apabila berhubungan dengan jabatannya, dan berlawanan dengan kewajiban/tugasnya dengan ketentuan:

a. nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih di mana pembuktian (sebagai bukan suap) ada pada penerima (terdakwa);

b.   nilainya kurang dari 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), maka pembuktian (sebagai suap) pada penuntut umum.

(2)        Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dilihat dari formulasi ketentuan pasal 12 B ayat (1), maka “gratifikasi” bukan merupakan jenis/kualifikasi delik. Namun demikian, perbuatan yang dapat dipidana atau tindak pidana (delik) menurut pasal 12 B ayat (1) tersebut bukan gratifikasinya tetapi perbuatan menerima gratifikasi itu.

Memperhatikan formulasi ketentuan pasal 12 B tersebut di atas, dalam hemat penulis pada hakikinya hanya berisi tentang 2 hal, yakni:

1.     Batasan pengertian gratifikasi yang dianggap sebagai suap, yakni apabila:

a.            diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dan

b.           pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya, dan

c.             berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

2.     Jenis-jenis gratifikasi yang dianggap sebagai suap, yakni:

a.            gratifikasi yang bernilai 10 juta Rupiah atau lebih dan

b.           gratifikasi yang bernilai kurang dari 10 juta Rupiah.

 

Mencermati formulasi ketentuan pasal 12 B tersebut di atas, nampak bahwa pasal tersebut tidak hanya berbicara mengenai ketentuan tindak pidana menerima gratifikasi saja tetapi juga memuat ketentuan mengenai pembuktian bagi tindak pidana menerima gratifikasi yang diuraikan dalam pasal 12 B ayat (1)huruf a dan b. Selanjutnya, dengan mencermati formulasi ketentuan pasal 12 B tersebut di atas, maka pembuktian menjadi diklasifikasikan menjadi 2 (dua) sistem yaitu:

1.          Sistem pembalikan beban pembuktian, di mana pembuktian dibebankan kepada terdakwa guna membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku untuk tindak pidana menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00 atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a).

2.          Sistem konvensional, di mana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana menerima gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (Pasal 12B ayat (1) huruf b).

Sementara itu, apabila didakwa Tindak Pidana menerima gratifikasi, maka objek dan cara pembuktian adalah (Chazawi, 2011: 83-84):

1.     Pertama, bahwa tidak ada gratifikasi yang diterima, atau bukan terdakwa yang menerima gratifikasi tersebut;

2. Kedua, bahwa jika terbukti ada sesuatu penerimaan (gratifikasi), maka terdakwa membuktikan bahwa penerimaan itu bukan berhubungan dengan jabatannya dan atau tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi mengacu pada unsur- unsurnya, tetapi kebalikan (negatif) yakni tidak ada unsur-unsur TPK tersebut;

3.     Ketiga, ia telah melaporkan pada KPK tentang penerimaan itu dalam waktu

30 hari kerja sejak menerimanya. Menurut Pasal 37 ayat (2) bila terdakwa dapat membuktikan seperti itu, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Oleh karena pembuktian (negatif) oleh terdakwa ini mengenai objek TPK (menerima suap gratifikasi) tentu harus diikuti dengan diktum pembebasan terdakwa. Disini letak sistem terbalik justru menguntungkan terdakwa. Karena hakim tidak perlu mempertimbangkan hasil pembuktian JPU.

 

Analisis selanjutnya, terkait subjek hukum pidana yang berkaitan dengan delik menerima gratifikasi yang dirumuskan dalam Pasal 12 B adalah pelaku tindak pidana itu sendiri yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pelaku penerima gratifikasi yang menjurus pada suap menurut ketentuan Pasal 12 B adalah “pegawai negeri atau penyelenggara negara” dan pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya serta berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pegawai Negeri menurut pasal 1 sub 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, meliputi:

a.     Pegawai negeri sebagaimana undang- undang tentang Kepegawaian ;

b.     Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;

c.     Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d.  Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau;

e.     Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

 

Sementara itu, bagi pemberi gratifikasi tidak diatur secara eksplisit dan hanya tersirat saja tercantum dalam formulasi Pasal 5, 6, dan 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini.

Analisis selanjutnya, bahwa penentuan ancaman pidana terhadap delik menerima gratifikasi adalah sebagaimana dimuat dalam Pasal 12 B ayat (2), yakni berjenis:

1.     Pidana penjara seumur hidup atau

2.     Pidana penjara selama waktu tertentu (minimal 4 Tahun dan maksimal 20 Tahun)

3.     Pidana denda (minimal 200 juta Rupiah dan maksimal 1 Milyar Rupiah).

 

Oleh karena itu, dalam hemat penulis adalah sejatinya tidak ada perbedaan substansi ancaman pidana bagi penerima gratifikasi jenis pertama (senilai 10 juta atau lebih) dan penerima gratifikasi jenis kedua (di bawah 10 juta Rupiah). Namun demikian, perbedaannya hanyalah justru terletak pada ranah prosesuil mengenai persoalan beban pembuktian sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kendatipun demikian, sejatinya Pasal 12 C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ini Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan pengecualian mengenai delik menerima gratifikasi itu sendiri, di mana ditegaskan bahwa:

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2)  Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3)Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4)   Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang- Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Jadi, setiap gratifikasi bukan dianggap suap, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lalu penyampaian laporan wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Serta Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

Maksud tersirat dirumuskannya ketentuan pasal 12 C ini, dapat dikatakan untuk mengarahkan pegawai negeri sipil atau penyelenggara Negara agar memiliki kesadaran bahwa pemberian yang diterimanya tersebut adalah suatu perbuatan yang dilarang undang-undang, dengan demikian akan membentuk moral penyelenggara Negara menjadi moral yang terpuji. Selain itu, ketentuan tersebut dibentuk agar adanya kepastian hukum tentang haram atau tidaknya obyek gratifikasi yang diterimanya tersebut.

Sehubungan dengan ketentuan formulasi Pasal 12 C tersebut, maka patut dikemukakanlah pandangan Barda Nawawi Arief yang mengatakan, bahwa penerimaan gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK tidak dianggap pemberian suap terkesan sebagai alasan penghapus pidana, lebih lanjut beliau nyatakan bahwa:

“secara substansial, hal tersebut dirasakan janggal karena seolah-olah sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima tergantung pada ada atau tidaknya laporan yang bersifat administratif prosedural …sekiranya korupsi dipandang sebagai perbuatan yang pada hakikatnya sangat tercela (rechtsdelict, mala per se, atau instrincally wrong) (Arief, 2003: 113).

Alasan penghapus pidana (umum) dalam KUHP, salah satunya dalam Pasal 50 KUHP adalah “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Namun menurut Sudarto, untuk dapat menggunakan Pasal 50 KUHP tersebut, maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar, dan masuk akal. (Sudarto, 2009: 257).

Walaupun pasal 12 C dibentuk dengan maksud dan tujuan positif, tetapi sebenarnya ketentuan pasal ini dapat berpotensi menghambat upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebab pasal 12 C dapat dijadikan tameng bagi pegawai negeri sipil yang menerima gratifikasi sebagai alasan untuk berlindung yang berujung dengan tidak dapat dipidananya pegawai negeri sipil tersebut padahal tindak pidana menerima gratifikasinya telah benar-benar terjadi secara nyata. Oleh karena itulah, pelaporan penerimaan gratifikasi kepada KPK (yang terkesan sebagai alasan penghapus pidana), adalah harus dinilai secara wajar, rasional, dan patut. Lebih-lebih dalam penentuan status gratifikasi tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, juga mesti dilakukan/diaplikasikan dengan sangat hati-hati.

ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329