Mengurai Teori Effectiveness of Law Anthony Allot Oleh : Diana Tantri Cahyaningsih (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta) : 27 Maret 2020 : 102637 Rating :
Hukum Tata Negara

Professor Anthony Allott (Allot) yang terkenal dengan teorinya Effectiveness of Law adalah ahli hukum dari Universitas London. Dengan bukunya yang berjudul, “Essays in African Law: (1960), Allot menjadi pionir ahli hukum pertama yang menilai dampak penerimaan hukum Eropa pada sistem hukum lokal. Kondisi tersebut merupakan hasil penelitiannya di Afrika.

Salah satu bukunya yang hingga saat ini masih menjadi rujukan dalam penelitian hukum adalah “The Limits of Law” yang tidak membahas apa yang dapat dilakukan hukum (dalam konteks Afrika) tetapi apa yang tidak  bisa dilakukan oleh hukum. Pemikiran tersebut juga Allot tuangkan dalam artikel yang berjudul “The Limits of Law: A Reply” yang dipublikasikan oleh Journal of Legal Pluralism pada tahun 1983.
 
Secara garis besar, pemikiran Allot dapat kita baca dalam tulisannya yang berjudul “The Effectiveness of Law” pada tahun 1981 yang diterbitkan oleh Valparaiso University Law Review. Dalam tulisan tersebut kita dapat mengetahui pandangan Allot mengenai bagaimana hukum bekerja dan apa yang tidak dapat dilakukan oleh hukum.
Menurut Allot, tujuan hukum adalah untuk mengatur atau membentuk perilaku anggota masyarakat, baik dengan menentukan apa yang diperbolehkan atau dilarang melalui pembentukan lembaga dan proses dalam undang-undang, untuk melaksanakan fungsi hukum agar lebih efektif. Allot menyatakan sebagai berikut:
 
The purpose of the laws is to regulate or shape the behavior of  the members of the society, both by prescribing what is permitted or forbidden, and by enabling them, through the establishment of institutions and processes in the law, to carry out functions more effectively (Anthony Allot, 1981: 233).

Efektivitas hukum menurut Allot adalah bagaimana hukum dapat merealisasikan tujuannya atau dengan kata lain bagaimana hukum dapat memenuhi tujuannya. Namun, untuk menilai atau mengukur efektivitas hukum sulit dilakukan. Allot menyatakan:
 
A general test of the effectiveness of a law (a particular provision of a legal system) is therefore to see how far it realizes its objectives, ie. fulfills its purposes. There are two difficulties here. The first is that, even in a society with express law-making (through legislation or otherwise),  the purpose of a particular law may not be clearly stated by its maker or emitter. What is more, as the law acquires a history, those who apply it, follow it, or disregard it re-shape both the law and its purposes to correspond to their power and their influence. A law lives and develops. Most normative statements are not originated by those who propound them; but to the recipient of the legal message, what counts is not what the originator of the norm may have intended, but what the current emitter of it intends (Anthony Allot: 1981:233).


Alasan pertama, sulitnya menguji efektivitas hukum adalah bahwa dengan proses pembuatan produk hukum dalam masyarakat yang dibuat secara cepat (melalui undang-undang atau bentuk lainnya), terkadang tujuan undang-undang tidak secara jelas dinyatakan oleh pembuat atau perancangnya. Oleh karenanya, keefektivan itu akan sulit untuk diukur. Terlebih ketika hukum tersebut dibuat pada masa lampau, namun diterapkan pada masa depan, akan mengalami kesulitan dalam penerapannya. Hal ini karena hukum itu hidup dan berkembang, mereka yang menerapkannya, mengikutinya, atau mengabaikannya, membentuk kembali hukum maupun tujuannya untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan dan pengaruh nya. Hukum hidup dan berkembang. Kebanyakan pernyataan normatif tidak berasal dari mereka yang mengemukakannya, tetapi kepada penerima pesan hukum, apa yang diperhitungkan bukanlah apa yang dimaksudkan oleh si penemu norma, tetapi apa yang dimaksudkan oleh legislator saat ini.
 
Alasan kedua, sulitnya menguji efektivitas hukum dikarenakan ada masyarakat yang memiliki hukum namun tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan tertulis atau hanya diatur sebagian karena sudah diatur dalam hukum adat. Kondisi tersebut akan sulit diukur keefektivannya karena tujuannya tidak secara tegas dinyatakan. Bagaimana mengukur efektivitas dari hukum adat? Sangat sulit dilakukan. Allot menyatakan sebagai berikut:
 
Secondly, there are societies and laws (both of them highly significant juristically and numerically in the perspective of comparative law) which place little or no emphasis on expressly promulgated law, and which are claimed to be regulated by customary law. How can laws which apparently develop from the habitual practices of the people be said to have a purpose, or indeed to achieve such a purpose effectively?
 
Selanjutnya, Anthony Allot, menyatakan sebagai berikut:
 
Effectiveness of a law, as I see it, is measured by the degree of compliance; in so far as a law is preventive, i.e., designed to discourage behavior which is disapproved of, one can see if that behavior is indeed diminished or absent. In so far as a law is curative, ie., operating ex post facto to rectify some failing or injustice or dispute, we can see how far it serves to achieve these ends. In so far as a law is facilitative, i.e., providing formal recognition, regulation and protection for an institution of the law, such as marriage or contracts, presumably the measure of its effectiveness is the extent to which the facilities are in fact taken up by those eligible to do so and the extent to which the institution so regulated is in fact insulated against attack. Disregard of the norms  of matrimony by a third party adulterer, for instance, indicates a partial failure in the protective mechanism of the law of marriage. (Anthony Allot, 1981:234-235)

Artinya, efektivitas undang-undang dalam sebuah negara diukur melalui tiga derajat penerapan undang-undang tersebut:
1. Ketika undang-undang menjadi pencegah (preventive), apakah undang-undang tersebut berhasil mencegah subyek hukumnya dari perbuatan yang dilarang.
2. Ketika undang-undang menjadi penyelesaian dari sengketa (currative) yang timbul antara subyek hukumnya, apakah undang-undang berhasil memberikan penyelesaian yang adil.
3. Ketika undang-undang menjadi penyedia kebutuhan subyek hukumnya untuk melakukan perbuatan hukum (facilitative), apakah undang-undang berhasil menyediakan aturan-aturan yang memfasilitasi kebutuhan mereka. Sebagai contoh dalam perkawinan atau kontrak, mungkin ukuran efektivitasnya adalah sejauh mana negara bisa memfasilitasi agar perbuatan hukum tersebut dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat untuk melakukannya dan sejauh mana lembaga yang diatur dapat menghindarkan para pihak atas ancaman atau gangguan. Melanggar norma-norma perkawinan oleh seorang pezina atau pihak ketiga, menunjukkan kegagalan tertentu dalam mekanisme perlindungan hukum perkawinan.
 
Menurut Anthony Allot terdapat tiga faktor yang menyebabkan hukum tidak efektif. Ketiga faktor tersebut yaitu:
 
1. Penyampaian maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut yang tidak berhasil atau komunikasi norma yang tidak tersampaikan kepada masyarakat. Bentuk dari undang-undang umumnya berupa peraturan-peraturan berbahasa baku yang sulit dimengerti oleh masyarakat awam serta kurangnya badan  pengawasan dari penerimaan dan penerapan undang-undang tersebut; Allot menyatakan sebagai berikut:
 
The first reason lies at the originating or transmitting end, in the equipment which formulates and "emits" a norm. All verbal formulations, legal as well as non-legal, are subject to the defects of every linguistic message. We need not press this point, which has been well explored by “Glanville Williams" and others. It may, however, be worthwhile pointing out that it is not only the inherent limitations of linguistic expression which get in the way of the efficient formulation of a legal message; it is also the fact that, in developed legal systems, the linguistic register and structure used for such messages is an artificial one (Anthony Allot, 1981:236).
 
Sistem hukum pada umumnya, memiliki kekurangan pada verbalnya. Bahasa yang terlalu kaku dan baku menjadi penyebab sulitnya amanat undang-undang itu untuk diterima masyarakat. Hanya, penegak hukum, pengacara dan orang yang memiliki pendidikan dan komunikasi paralel yang bisa menangkap amanat pesat undang-undang. Terkadang, legislator gagal untuk menyadari akan hal itu dan bahkan untuk mengkomunikasikannya secara efektif kepada subyeknya, tidak ada pemantauan penerimaan dan penerapannya atau tidak ada umpan balik.
 
2. Terdapat pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undang-undang dengan sifat dasar dari masyarakat. Sebagaimana penulis kutip argumentasi Anthony Allot sebagai berikut:
 
A second reason for ineffectiveness of laws lies in the possible conflict between  the aims of the legislator and the nature of the society in which he intends his law to operate. Here, the contrast between the customary society and the modern society is most acute. Even in customary-law societies where leadership roles are well defined (including those with centralized governments, such as chiefly societies), the people and their representatives have a much more active role in the making of laws. In many instances propositions for new laws only take effect after they have been put to and accepted by those who will be subject to them; though this may not be so in some instances, the legislator generally works within the presuppositions, practices, and limits  of acceptance of his community (Anthony Allot, 1981:237).

Alasan kedua ketidakefektifan hukum terletak pada kemungkinan pertentangan antara tujuan legislator dengan sifat masyarakat di mana hukum akan dijalankan. Di sinilah, perbedaan antara masyarakat adat dan masyarakat modern yang sering terjadi. Dalam masyarakat hukum adat di mana peran kepemimpinan sangat berpengaruh, orang-orang dan perwakilan mereka memiliki peran yang jauh lebih aktif dalam pembuatan undang-undang. Dalam banyak contoh, undang-undang baru hanya berlaku setelah diterima oleh mereka yang akan tunduk pada hukum.
 
Menurut Anthony Allot, hukum yang bertentangan dengan adat istiadat dan aspirasi orang yang diperintah sangat berpengaruh pada efektivitas hukum. Apabila terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat undang-undang dengan sifat dasar dari masyarakat, mereka tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat.

3. Kurangnya instrumen pendukung undang-undang, seperti peraturan pelaksana, institusi-institusi atau proses yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penerapan undang-undang tersebut. Sebagaimana penulis kutip argumentasi Anthony Allot sebagai berikut:
 
Lastly, we note failures in implementation of laws. Very often there are no sufficient implementing norms, orders, institutions, or processes incorporated in the law, which is left to make its way, along with all the rest of the legislated and unlegislated law, as best as it can. The enormous volume of road traffic and vehicle legislation in Britain demonstrates this situation at its worst. It is no use enacting masses of regulations controlling vehicle construction and use if there are insufficient vehicle examiners and if the  police are too busy with other duties to carry out what to them are unimportant tasks. As the result, implementation of construction and use regulations is sporadic and ineffective.

Terakhir, Anthony Allot mencatat kegagalan dalam penerapan hukum disebabkan karena tidak adanya norma pengimplementasian, perintah, lembaga, atau proses yang dimasukkan dalam undang-undang. Anthony Allot memberikan contoh pada implementasi Undang-Undang Lalu Lintas di Inggris. Volume besar lalu lintas jalan dan undang-undang kendaraan di Inggris menunjukkan situasi ini pada kondisi terburuknya. Tidak ada gunanya memberlakukan peraturan yang mengatur konstruksi dan penggunaan kendaraan jika tidak ada pemeriksa kendaraan yang memadai dan jika polisi terlalu sibuk dengan tugas lain untuk melaksanakan tugas yang tidak penting bagi mereka. Akibatnya, penerapan peraturan konstruksi dan penggunaan bersifat sporadis dan tidak efektif.

Kesimpulanya, bahwa efektivitas penegakan hukum dalam suatu negara adalah tanggung jawab pembuat Undang-Undang dan bukan merupakan kewajiban dari masyarakat yang diatur oleh undang-undang tersebut.

Artinya, ada kecenderungan alami di pihak pembuat undang-undang untuk menyalahkan atas penolakan terhadap undang-undang pada masyarakat yang harus mematuhinya. Jika pembuat undang-undang hanya berpikir bahwa dengan dipatuhinya hukum itu sangat penting untuk kelancaran fungsi masyarakat dan pencapaian tujuan sosial yang ditetapkan, tetapi mereka tidak menyadari bahwa dengan demikian para pembuat undang-undang hanya menempatkan masyarakat pada posisi yang selalu disalahkan apabila fungsi hukum tidak tercapai. Dalam pandangan Anthony Allot, pembuat undang-undang adalah mereka yang membuat hukum. Tugas mereka, tidak hanya menjaga atau mengawasi pelanggaran undang-undnag itu melainkan juga harus bertanggung jawab atas kegagalan itu. Kontrol atau pemeriksaan internal oleh para pembuat hukum tentang apa yang mereka lakukan, dan tentang sifat instrumen hukum yang mereka gunakan sangat penting dan pada saat yang sama jarang sekali pemeriksaan semacam itu dilakukan.
 

 


ARTIKEL TERPOPULER

1
UUD 1945 ADALAH KONSTITUSI BERNILAI NORMATIF BUKAN NOMINAL ATAU SEMANTIK Oleh : Ayon Diniyanto (IAIN Pekalongan) Dilihat : 110322
2
HAK KEKEBALAN DAN HAK ISTIMEWA PERWAKILAN DIPLOMATIK DARI PRESFEKTIF KONVENSI WINA 1961 Oleh : Abdhy Walid Siagian (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas) Dilihat : 106676
3
PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA (EKSISTENSI & PROSPEKNYA) Oleh : Muhamad Mahrus Setia Wijaksana (Analis Penuntutan (Calon Jaksa) pada Cabang Kejaksaan Negeri Tojo Una-una di Wakai) Dilihat : 104003
4
Hak Beribadah di Indonesia Oleh : Yeni Handayani (Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia Sekretariat Jenderal DPR RI) Dilihat : 103398
5
ETIKA KONSTITUSIONAL SEBAGAI PEDOMAN PEMBATASAN MASA JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Oleh : Pardomuan Gultom (Mahasiswa STIH Graha Kirana) Dilihat : 103329